MOJOK.CO – Doa Jokowi di dalam Kakbah yang didengar guru ngajinya, Gus Abdul Karim, Pengasuh Ponpes Al Quraniy Azzayadiy, Solo.
Selama bulan Ramadan ini, kebetulan saya dipasrahi untuk jadi penanggung jawab safari sowan kiai di daerah Yogyakarta dan sekitarnya oleh Mojok dan teman-teman Gusdurian Jogja.
Awalnya, rencana sowan ini akan dilakukan sebanyak 30 kali sepanjang 30 hari bulan Ramadan. Namun karena kami nggak mau ambil lapaknya islami.co dan nu.or.id jadi kami putuskan beberapa kali saja biar nggak kemaruk.
Lagian Mojok kan media abangan, jadi biar lah urusan santri-santri itu jadi lapak islami dan Nuonline, Mojok biar urusannya kiai-kiai. Huehehe.
Meski begitu, harus diakui, beberapa kiai yang kami pilih untuk disowani mungkin bukan yang reputasinya paling mentereng di dunia santri.
Haya jelas, kalau mau yang maqomnya tinggi bagi para santri lulusan pesantren di Yogyakarta ya harus ke KH. R. Muhammad Najib Pengasuh Ponpes Krapyak Yogyakarta atau KH. Mu’tashim Billah Pengasuh Ponpes Sunan Pandanaran. Ini dua destinasi wajib sudah.
Masalahnya, ya, situ tahu lah, saya nggak punya cukup keberanian untuk sowan. Kalau sowan biasa sih ya nggak apa-apa, tapi kalau sowan jadi liputan terus disyuting begitu ya kagol juga saya. Apalagi kalau pertanyaannya nakal-nakal begini. Wah, takut kualat nanti.
Oleh sebab itu, diputuskan lah untuk sowan ke kiai-kiai yang lebih “muda”. Meski kata muda di sini masih bisa diperdebatkan. Jiwanya yang muda, umurnya yang muda, atau istrinya yang muda?
Yang pasti, patokan muda di sini, adalah beliau-beliau yang masih asyik untuk kami ajak ngobrol. Pada kenyataannya kiai-kiai yang kami pilih dan berhasil kami sowani ini jebul malah lebih akrab dipanggil “Gus” ketimbang “Kiai” meski sudah secara harfiah mengelola pondok pesantren besar-besar.
Tak terkecuali Kiai Abdul Karim atau yang lebih akrab dipanggil sebagai Gus Karim. Sosok yang sudah lama dikenal sebagai “guru ngaji”-nya Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Meski ya harus diakui, nama beliau jauh “tidak dikenal” ketimbang ustaz-ustaz kondyang tanah air lainnya yang sering nongol di Yutup. Jangankan sama ustaz beneran, sama Sugik Nur aja kalah populer og.
Agak dilematis memang ketika memutuskan Gus Karim untuk menjadi salah satu kiai yang akan saya dan teman-teman sowani. Sebab, meski rencana kami adalah untuk tahu bagaimana pengalaman beliau masuk ke dalam kakbah dan bisa begitu dekat berziarah ke makam Kanjeng Nabi Muhammad, namun kami tidak mungkin tidak memasukkan nama Jokowi di pembicaraan ini.
Lha ya jelas, Gus Karim memang mendapatkan kehormatan itu karena diajak sahabat karib sekaligus murid ngajinya. Persoalannya, yang mengajak itu kebetulan Presiden Republik Indonesia.
Padahal sejak awal, saya dan teman-teman sih rencana nggak ingin terlalu mengaitkan sowan kiai kami dengan kontestasi politik. Tapi ya mau bagaimana lagi? Pengalaman Gus Karim ini bisa didapatkan justru karena beliau dekat dengan orang nomor satu di negeri itu, kalau kami menghilangkannya, hayaa jelas bakal ada missing-link-nya.
Meski belakangan mulai dikenal kembali—terutama ketika foto beliau viral saat rambutnya dipotong sama Jokowi—saya sudah tahu beliau sejak kecil. Sejak dulu, saya mengenalnya dengan panggilan Gus Dul Karim. Orangnya ramah, jenius, dan lucunya setengah mati kalau sedang ceramah. Dalam ingatan saya, saya yang anak-anak saja bisa tertawa dengar beliau ceramah, apalagi sekarang.
Ketika saya harus bertemu kembali setelah bertahun-tahun berlalu, beliau tak pernah berubah sejak dulu. Selalu rendah hati dan benar-benar tak gila hormat. Berulang kali saya jadi saksi, ketika Gus Karim datang di acara-acara besar, entah itu kondangan atau selametan, beliau selalu duduk di belakang. Duduk bersama tamu undangan jelata kayak saya.
Asal kamu tahu, butuh tenaga ekstra untuk meminta Gus Karim mau duduk di deretan tamu kehormatan (biasanya di deret depan). Meski beliau benar-benar jadi tamu kehormatan—atau bahkan sosok keynote speaker acara sekalian. Hal yang tak berubah sekalipun murid ngaji beliau, Jokowi, sudah menjadi Presiden Republik Indonesia.
Barangkali itu yang bikin Jokowi begitu cocok dengan Gus Karim. Bukan semata-mata cocok metode ngajinya, namun juga cocok secara kepribadian. Sama-sama sederhana, sama-sama santai, dan sama-sama luwes.
Lalu di antara obrolan panjang lebar sebelum kami diizinkan untuk mengambil gambar beliau, Gus Karim sempat sejenak menceritakan bagaimana beliau bisa masuk ke dalam Kakbah karena diajak Jokowi. Umrah beberapa hari sebelum coblosan.
Nah, di dalam kakbah itulah Gus Karim menceritakan kepada saya ketika beliau mendengar doa Jokowi secara lirih. Kira-kira satu bulan sebelum Aksi 22 Mei yang berakhir ricuh itu.
Kata Gus Karim, Jokowi cuma berdoa, “selamatkan Indonesia,” yang diulang berkali-kali. Tanpa sedikit pun meminta doa, “menangkan saya.”
Ini cuplikan saat Gus Karim bercerita sambil berkaca-kacahttps://t.co/GUm8gP2DxH https://t.co/I5KOHUKc6q pic.twitter.com/XFG8QUulBH
— Mohammad Ali Ma’ruf (@alimvnati) 23 Mei 2019
Cerita itu tentu saja sempat bikin saya terkejut. Namun sebenarnya bukan itu yang paling menarik dari kisah Gus Karim saat umrah, yang jauh lebih berkesan bagi saya adalah ketika Gus Karim bercerita saat berada begitu dekat dengan makam Nabi.
Ingat betul saya, saat itu, mata beliau berkaca-kaca saat mengingat makam Kanjeng Nabi.
Dalam bayangan saya, ketika Gus Karim menceritakan itu, beliau seperti seorang santri yang masih kangen dengan ibunya saat mondok pada hari-hari pertama. Ada kerinduan yang luar biasa dan mungkin hanya bisa dirasakan oleh sosok yang betul-betul merindukan Nabi Muhammad.
Bahkan kalau boleh dibandingkan, ketimbang pengalaman salat di dalam kakbah atau mendengar doa Jokowi, pengalaman cuma beberapa sentimeter dengan makam Nabi ini jauh lebih berkesan bagi Gus Karim.
Padahal masuk kakbah itu udah luar biasa, ini beliau sampai punya pembanding yang setara. Apa nggak suangar sekali itu?
Namun saya sih yakin, kehormatan ini benar-benar layak Gus Karim dapatkan. Sebab, saya tahu betul beliau merupakan salah satu pencetus JAMURO, Jamaah Muji Rosul. Sebuah komunitas shalawatan di Solo sejak awal 2000-an dan masih eksis sampai sekarang.
Bisa jadi, karena aktivitasnya menggiatkan shalawat di Solo sejak dulu, Gus Karim akhirnya betul-betul “diundang” oleh Kanjeng Nabi ke makamnya. Berdiri cuma beberapa senti, ketika seribu Raja atau Ulama yang belum tentu punya kehormatan seperti ini.
Pada adegan itu lah saya yakin, Jokowi cuma perantara beliau saja. Perantara agar Gus Karim bisa bertemu dengan sosok yang selalu dirindukannya dan diperjuangkan namanya selalu dikumandangkan di setiap pelosok.
Tak peduli meski perantara itu merupakan Presiden Republik Indonesia bernama Joko Widodo.