Semakin masifnya barisan pemuda-pemuda pembela Islam di media televisi dan media sosial, sedikit banyak membuat ujaran-ujaran semacam “kafir, liberal, munafik, dan sebangsanya” semakin mudah ditemui di mana saja. Bagi saudara-saudara di barisan pembela Islam, penyebutan kata-kata ini—terutama pada kata “kafir”—harus diakui bukanlah sesuatu yang istimewa.
Itu biasa saja, Bung. Tuhan menyebutnya demikian juga (setidaknya menurut mereka), jadi kenapa harus cari kata ganti yang lain?
Nah, karena penyebutan kafir dianggap sebagai kewajaran dan kebenaran, maka perkara orang lain merasa tersakiti disebut demikian, itu bukan urusan. Yang penting, mereka sudah menyampaikan dan tunduk pada kebenaran. Titik. Itu.
Masalah muncul kemudian. Di status Facebook yang sempat viral, bersumber dari sebuah pesan di grup whatsapp, ada bahaya akan pembiasaan ujaran “kafir” di kehidupan sehari-hari. Saya kutipkan sebagian kalimatnya:
Pagi ini hati saya sangat sedih sekali mendengar anaknya Lila yang bernama Sasi, anak kelas 2 SD Negeri di Jakarta Selatan, bertanya, apa artinya kafir, apa artinya najis.
“Kata teman2, aku tidak boleh ditemenin karena aku Kristen. Katanya aku kafir. Aku najis. Ih Sasi Kristen … Ih Sasi kafir … Jangan temenin, Sasi najis ….. Nanti kalau aku ulang tahun, aku enggak undang Sasi soalnya Sasi Kristen …..” .
Astaga, anak SD kelas 2….!! Bagaimana propaganda liar melalui media sosial sudah meruntuhkan nilai2 Bhineka Tunggal Ika. Sudah menghancurkan nilai2 persatuan Indonesia …. Betapa anak2 SD sudah diracuni sedemikian rupa.
Ini mengerikan sekali di mata saya. Terutama karena saya pernah sekolah di SD Negeri dengan beberapa kawan masa kecil yang berbeda keyakinan, ada Kristen maupun Hindu, dan saya berkawan baik dengan semuanya.
Siapapun yang mengajarkan pada teman Sasi di sekolah (seperti cerita di atas) bahwa kata “kafir” merupakan kata biasa saja adalah orang-orang yang menggemaskan dan menyebalkan. Sebab, bahkan dalam pikiran paling liar saya saat berusia sama dengan Sasi sekalipun, tidak pernah sedikit saja terbesit untuk memanggil teman saya sendiri dengan sebutan “kafir”.
Bagi saya, mereka sama halnya dengan saya. Keluarga mereka, sama saja dengan keluarga saya. Bahkan, ketika saya melihat lambang salib di kamar kawan saya yang Kristen, saya membayangkan itu sama saja saat dia melihat tulisan Allah dan Muhammad di kamar saya. Sama saja.
Agama adalah sebenar-benarnya urusan masing-masing, karena sekolah saat itu memang mengajarkan toleransi yang demikian. Untung, dulu tidak ada media sosial, beda dengan sekarang.
Yang harus jadi sasaran tembak tentu bukan teman-teman Sasi, tapi orang tua teman-teman Sasi. Dipikirnya mungkin yang penting anak-anaknya bisa baca Alquran yang benar dan hafal beberapa doa. Beres urusan. Ealah, tentara ISIS juga ciamik kalau cuma baca Alquran, Pak, Bu, tapi lihat sendiri kelakuannya macam begitu.
Awalnya, penyebutan kata kafir semacam ini mungkin cuma dianggap sebagai lucu-lucuan saja. Lambat laun anak-anak ini bakal meniru. Digunakan ke teman-temannya sendiri sebagai bahan ejekan, sebagai bahan ketawa-ketiwi. Sampai pada titik tertentu, sebutan kafir ini akan menjadi kebiasaan. Menciptakan kelompok-kelompok eksklusif yang berdasar hanya pada agama orang tuanya masing-masing. Duh, membayangkannya saja sudah ngeri sekali.
Memang betul interpretasi untuk diksi kafir adalah sebutan untuk orang bukan Islam. Hal yang benar juga jika kemudian kebenaran harus disampaikan walaupun rasanya pahit. Namun jika hanya dasar itu yang digunakan, maka jelas ada yang bermasalah dengan nalar etika kita.
Bahkan di kitab Riyadhus Shalihin karya Imam Nawawi, Nabi sendiri membolehkan berbohong di tiga perkara. Untuk mendamaikan sebuah perseteruan, menyelamatkan nyawa (dalam peperangan), dan kebohongan (pujian) suami atas istri atau sebaliknya. Artinya, tidaklah benar bahwa apapun mengenai kebenaran harus disampaikan begitu-begitu saja.
Ada pertimbangan-pertimbangan yang harus dikaji di mana dan kapan waktu yang tepat untuk mengatakan kebenaran tersebut. Terlebih dalam menyebut orang lain sebagai kafir.
Ini seperti pengertian amar ma’ruf nahi munkar yang sejatinya tidak boleh kita telan mentah-mentah begitu saja. Amar ma’ruf bil ma’ruf walaisa nahi mungkar bil mungkar. Mengajak kebaikan haruslah dengan kebaikan, dan tidak bisa menjauhi kemungkaran dengan menciptakan kemungkaran baru.
“Pelabelan” kata kafir memang sebuah kebenaran, tapi “penyebutan” kata kafir di hadapan orang yang tidak seiman adalah perkara lain. Ini bukan lagi soal nahi mungkar, namun sudah mengarah pada nahi mungkar bil mungkar. Niat hati mengajak menjauhi kemungkaran tapi malah dengan cara kemungkaran juga.
Menyebut orang lain yang tidak seiman dengan panggilan “kafir” laksana memanggil orang yang tidak punya kaki atau orang yang tidak bisa melihat dengan panggilan; “pincang” atau “buta”. Iya itu semua benar, betul-betul fakta. Namun masak iya mau nyebut begitu?
Seorang dokter menghadapi pasien yang menderita kanker, pada faktanya si pasien sulit sekali untuk sembuh. Masak iya si dokter akan bilang, “Pasrah wae mas, bariki yo modar,”
Penyebutan kafir atau bukan merupakan pilihan manusia. Sedangkan dilahirkan dari orang tua muslim atau tidak, bukanlah pilihan manusia. Hal semacam ini terjadi di luar kehendak. Situ bisa saja dilahirkan dari rahim seorang ibu beragama Hindu, Buddha, Agnostik, bahkan mungkin Atheis.
Jangan terlalu bangga dulu dengan ke-Islam-an kita. Bisa jadi Islam kita ini karena memang ikut-ikutan agama orang tua saja. Dan hanya karena dilahirkan dari keluarga muslim, kita seenak sendiri menyebut kafir di depan muka anak orang lain yang kebetulan lahir dari garis keturunan yang bukan Islam. Kebiasaan kafir-mengkafirkan ini seolah-olah menganggap bahwa setiap manusia bisa memilih dilahirkan dari keluarga mana saja saat masih jadi ruh.
Lebih menyebalkannya lagi, ketika ajakan macam ini makin sering muncul: Tidak mau dipanggil kafir? Makanya masuk Islam. Ha ndasmu mlocot.
Bukanlah tugas kita memberi hidayah. Tugas kita adalah menampilkan wajah Islam yang baik. Kalau memang yakin Islam benar, ya sudah jangan dibenar-benarkan secara terus-menerus. Yang berlebihan itu ndak baik. Ingat apa kata mas Freddie Mercury, “Too much love will kill you.”
Lagipula, sekuat apapun berusaha, seseorang tidak akan menjadi Islam jika memang bukan pilihannya sendiri. Dan di tahap ini, manusia sudah tidak lagi punya kuasa apa-apa. Yang bisa dilakukan ya hanya mendoakan saja.
Sebab tidak ada yang tahu juga, takdir siapa yang nanti mati khusnul khotimah dan siapa yang su’ul khotimah. Bisa jadi, orang yang situ sebut kafir sepanjang hidupnya mendadak mendapat hidayah di akhir nafasnya, dan orang yang situ anggap saleh sepanjang hidup, jebul mati tepat ketika melakukan maksiat terbesarnya.
Berat poro rawuh, berat…