MOJOK.CO – Jamaah haji Indonesia harus diakui sangat kreatif. Saking kreatifnya, urusan ibadah tawaf saja bisa ditentukan oleh jumlah karet gelang.
“Kenapa ya biaya haji di Indonesia selama bertahun-tahun mahal sekali, Gus? Urusan ibadah lho ini padahal, hambok negara itu tombok-tombok dikit gitu lho,” kata Mas Is di kediaman Gus Mut.
“Ya biaya haji di Indonesia itu mahal jadi ada hikmahnya,” kata Gus Mut.
“Hikmah? Lah, orang mempersulit orang ibadah kok jadi ada hikmahnya tho, Gus,” kata Mas Is.
“Ya hikmahnya, orang haji Indonesia kalau ibadah, jadi serius banget begitu sampai Mekah sana. Nggak main-main. Bawa surat doa macam-macam dari rumah, pokoknya khusyuk sekhusyuk-khusyuknya,” kata Gus Mut.
Mas Is bingung.
“Ma-maksudnya, Gus?”
“Lah iya tho. Kalau misalnya salat lima waktu itu disuruh bayar kayak haji, kira-kira orang kalau salat di sini dikhusyuk-khusyukin nggak?” tanya Gus Mut.
“Ya kalau bayarnya semahal itu ya eman-eman tho, Gus, kalau ibadahnya nggak serius. Ya pasti mau nggak mau harus khusyuk,” kata Mas Is.
“Ya itu lucunya. Khusyuk itu kadang-kadang motifnya bukan spiritual, tapi karena ada kebutuhan duniawi. Ya kayak haji itu tadi. Bayar udah mahal-mahal gini, masak nggak maksimal ibadahnya,” kata Gus Mut.
Mas Is tertawa.
Gus Mut melanjutkan, “Lah, makanya itu, Mas Is, jamaah haji Indonesia itu adalah jamaah haji paling hebat, karena bayarnya termasuk paling mahal, tapi jumlah yang haji tiap tahun malah nggak pernah turun. Naik terus malah. Antrean makin panjang. Itu apa nggak keren?”
“Ya tapi kelakuan jamaah haji Indonesia juga nggak semua keren, Gus,” kata Mas Is.
“Iya, itu bener. Namanya juga jamaah. Banyak orang. Sudah pasti nggak terus bagus semua. Yang nakal-nakal juga ada. Tapi aku ada cerita, Mas Is, betapa ajaib dan hebatnya jamaahnya haji Indonesia kalau sampai tanah suci sana. Ini aku yakin, setan yang goda juga pasti puyeng,” kata Gus Mut.
“Cerita gimana, Gus?” Mas Is antusias mendengarnya.
“Jadi beberapa tahun lalu, waktu aku haji ada kejadian lucu. Jadi waktu rombonganku tawaf, ketua reguku waktu itu bilang tawaf sudah 7 kali. Nah, tapi terus dari belakang ada suara-suara tak setuju. Dari ibu-ibu yang di belakang, kata mereka baru 6,” kata Gus Mut.
“Hah? Kok itungannya beda?” Mas Is bingung.
“Ya itu, gara-gara itungannya ada beda, debat lah kita satu regu. Ini tadi tawaf udah 7 apa baru 6 ya. Semua jadi bingung akhirnya. Aku waktu itu juga ngerasa udah yakin aja sama ketua regu, tapi karena debatnya cukup alot, aku juga jadi ragu sendiri,” kata Gus Mut.
Mas Is sudah tertawa mendengarnya.
“Terus, Gus?”
“Kalau pakai cara pandang fikih, kan ambil yang paling sedikit, ya 6 itu, tapi ketua regunya nggak mau kalah, katanya, ‘Bu, sampean itu kok nggak percaya itunganku. Coba buka bukunya!’” kata Gus Mut menirukan.
“Emang buku apa itu, Gus?” tanya Mas Is.
“Itu buku doa sama doa panduan gitulah buat jamaah haji. Begitu dibuka bukunya, tulisannya ‘doa putaran ketujuh’. Jadi aku juga baru tahu kalau jamaah-jamaah itu pakai buku panduan itu buat panduan itungan. Aku aja nggak sampai kepikiran punya cadangan doa buat itungan itu. Di saat itu aku kagum sama kesalehan jamaah haji Indonesia. Meski nggak ‘alim banget, salehnya keren-keren,” kata Gus Mut.
“Sebentar, Gus, sebentar. Berarti yang benar di situ itungan ketua regunya dong?” kata Mas Is.
“Tunggu dulu. Nah, ini bagian yang menarik. Ibu-ibu yang protes itu nggak mau kalah,” kata Gus Mut.
“Lah kok tetep ngeyel? Kan jelas-jelas doanya sudah masuk ke halaman doa putaran ketujuh,” kata Mas Is.
“Kata ibu-ibu yang di belakang ini, ‘Nggak bisa gitu, Pak. Ini aku punya karet gelang 7. Kalau satu putaran aku pindah dari kiri ke kanan. Lah ini nyatanya yang pindah baru 6,’ satu regu di situ pada ketawa semua dengernya,” kata Gus Mut.
“Ini jadi karet versus doa dong, Gus, hahahaha,” Mas Is tertawa ngakak mendengarnya.
“Debat itu bikin jamaah yang lain pada bingung. Si ketua regu pun jadi ragu, tanya dia ke jamaah di dekatnya, ‘Sudah berapa ini tadi ya, Pak?’ Jawab yang ditanya, ‘Wah nggak tahu, Pak. Sampean kan ketua regunya. Pokoknya saya ngikut aja.’ Aku yang lihat waktu itu ya senyum-senyum aja,” kata Gus Mut.
“Terus, terus, Gus? Itu ketua regunya nggak tanya Gus Mut?” tanya Mas Is.
“Ya mungkin tahu itu ketua regunya. Kalau tanya aku, sudah jelas aku milih 6, meski tadinya sempat yakin sudah 7 kali tawaf. Kan ikut prinsip fikih. Kalau ragu, ya pilih itungan paling sedikit,” kata Gus Mut.
“Akhirnya gimana terus itu, Gus?” tanya Mas Is.
“Ya akhirnya ketua regu bilang, ‘Oke, ulangi sekali lagi yok!’ ke jamaah haji lainnya,” kata Gus Mut.
Mas Is tertawa.
“Itu pasti setan kalau godain jamaah haji Indonesia pusing, Gus. Udah coba dibikin ragu begitu, ternyata karetnya jauh lebih akurat,” kata Mas Is yang disambut tawa Gus Mut.
“Setelah tawaf itu, aku lalu bilang ke ketua regunya, ‘Pak, jangan-jangan sampean waktu buka kena dua lembar sekaligus.’ Si ketua regu langsung mendelik melihatku. Kayaknya dia ngerasanya ya begitu,” kata Gus Mut.
“Oh iya juga ya? Bahaya juga ya kalau lembar-lembar gitu. Kalau lengket kan bahaya ya. Iya kalau cuma dua halaman, lah kalau tiga halaman kan ruwet itu,” kata Mas Is sambil menahan tawa.
“Iya, tapi itu bukti hebatnya jamaah haji Indonesia. Untuk urusan ibadah, kreatif sekali menjaga kesalehan. Ada buku panduannya, ada karet gelang pula,” kata Gus Mut yang makin bikin Mas Is ngakak.
*) Diolah dari cerita yang disampaikan Gus Baha.
BACA JUGA Pak Haji, Bu Puasa… Mbah Syahadat dan kisah-kisah Gus Mut lainnya.