MOJOK.CO – Ada yang menuntut hak suami, ada yang menuntut hak istri. Jadinya konflik, karena masing-masing menggunakan dalil agama untuk minta hak, bukan kewajiban.
Seorang ibu berkunjung ke Gus Mut. Sambil menangis, si ibu menceritakan betapa anak laki-lakinya baru saja membuatnya marah.
“Gus, bukan kah benar seorang anak laki-laki itu sampai kapan pun harus berbakti ke ibunya?” tanya si ibu.
“Betul itu,” kata Gus Mut.
“Bahkan sekali pun si anak laki-laki sudah dewasa kan, Gus?” tanya si ibu lagi.
“Iya, benar. Bahkan Nabi Muhammad menjawab bahwa bakti kepada ibu harusnya lebih banyak tiga kali lipat ketimbang bakti untuk ayah,” jawab Gus Mut.
“Nah, itu lah, Gus. Anak laki-laki saya baru saja bikin saya sakit hati. Ia ingin melamar gadis yang saya tak restui,” kata si ibu.
Gus Mut sedikit terkejut mendengarnya. “Maksudnya gimana, Bu?”
“Jadi, anak laki-laki saya ingin menikahi seorang gadis pilihannya. Saya padahal sudah mencarikan gadis lain yang lebih cocok dengannya. Secara bibit, bebet, bobot sempurna lah untuk anak saya, tapi anak saya ini tetap menolak,” kata si ibu. Masih sambil menangis.
“Memang kekurangan gadis yang ibu tak mau restui itu apa? Agamanya bagus?” tanya Gus Mut.
Si ibu mengangguk pelan.
“Orangnya cantik?” tanya Gus Mut lagi.
Si ibu lagi-lagi mengangguk pelan. “Tapi gadis pilihan saya juga nggak kalah cantiknya kok, Gus,” kata si ibu.
“Lalu apa alasan ibu tidak mau merestui calon menantu pilihan anak ibu itu?” tanya Gus Mut.
Si ibu terdiam sejenak. Seperti mencari jawaban.
“Saya tak mau anak saya menikahi gadis yang dari luar Pulau Jawa, Gus. Kebetulan gadis pilihan anak saya itu orang luar Pulau Jawa. Kan budayanya beda, Gus. Bisa ribet. Apalagi besanan dengan keluarga beda pulau begitu kan merepotkan. Saya nggak mau. Pokoknya saya nggak sudi,” kata si ibu ngotot.
Gus Mut cuma terdiam. Lalu geleng-geleng kepala. Melihat itu, si ibu merasa tersinggung.
“Jangan lupa ya, Gus. Ibu itu punya hak mengatur hidup anak laki-lakinya sampai kapan pun. Kalau si anak nggak dapat restu dari ibunya, hidupnya bisa susah nanti,” kata si ibu.
Gus Mut makin tenggelam. Rasanya malah ingin menangis mendengar kalimat barusan.
“Bu, saya tanya…” kata Gus Mut.
“Iya,” jawab si ibu.
“Apakah sebagai ibu, panjenengan tidak merasa sedih ketika melihat hidup anak ibu susah?” tanya Gus Mut.
Si ibu terdiam sejenak.
“Tentu saja merasa sedih, Gus. Makanya itu, agar hidup anak saya tidak susah, saya arahkan dia untuk menikahi gadis pilihan ibunya. Agar dia bisa hidup dengan penuh restu ibu yang melahirkannya. Sembilan bulan, Gus, saya mengandungnya, bertahun-tahun pula dia saya rawat,” kata si ibu berapi-api.
“Lalu kenapa ibu lebih sudi anak ibu menjadi anak durhaka? Bukan kah pedih sekali siksa yang akan dialami anak ibu kalau sikap panjenengan tetep kukuh begini?” tanya Gus Mut.
“Tapi, Gus, saya kan berhak. Saya kan ibu kandungnya, Gus,” kata si ibu.
“Memang benar, sebagai ibu panjenengan berhak. Tapi jangan lupa ibu juga punya kewajiban,” kata Gus Mut.
“Kewajiban saya sebagai ibu sudah saya jalankan semua, Gus. Saya merawatnya jadi anak yang baik, mengerti agama, punya pendidikan tinggi, apa yang kurang dari itu semua?” tanya si ibu.
“Lalu kenapa anak ibu tetap kukuh sama pilihan anak gadisnya dan melawan perintah ibunya?” tanya Gus Mut.
“Nah, itulah kesalahannya,” jawab si ibu.
“Memang siapa ibu kandung dari anak yang melawan ibunya itu?” tanya Gus Mut.
Si ibu sedikit terkejut. “Ya, saya ibunya…”
“Berarti ada kewajiban ibu yang tidak sepenuhnya berhasil. Ibu yang berhasil adalah ibu yang bisa mendidik anak saleh yang tak pernah membantah perintah ibunya. Sebab melawan perintah ibu itu neraka ganjarannya. Dan tak ada satu pun ibu di dunia ini yang menginginkan punya anak durhaka,” kata Gus Mut.
“Kalau memang itu kesalahan si anak, ya kenapa itu jadi kesalahan ibunya, Gus?”
“Karena panjenengan menggunakan dalil hak seorang ibu. Bukan dalil kewajiban seorang ibu,” kata Gus Mut.
Si ibu tersentak mendengarnya.
“Maksudnya, Gus?”
“Dalil soal anak yang harus menghormati ibunya itu dalil untuk sesama anak, Bu. Bukan dalil untuk sesama ibu. Dalil yang harus diberikan untuk ibu adalah dalil kewajibannya merawat anak agar jadi anak yang saleh, mengerti agama, berpendidikan, tidak melantarkannya, dan lain-lain,” kata Gus Mut.
Si ibu masih merasa tak terima dengan penjelasan itu. “Lho kok Gus Mut malah membela keinginan anak saya untuk membantah perintah ibunya sih? Apa Gus Mut ini tidak merasa harus selalu tunduk sama ibu panjenengan?” tanya si ibu.
Gus Mut terkekeh.
“Bu, kalau anak ibu yang mengunjungi saya hari ini. Lalu menceritakan hal yang sama dari sudut pandang seorang anak yang terkekang oleh restu ibunya, maka dalil surga di telapak kaki ibu akan saya berikan. Ketentuan seorang anak yang harus tunduk pada restu ibunya akan saya tegaskan. Bahkan saya akan memaksanya untuk ikut perintah panjenengan tanpa pikir panjang. Tapi…”
Si ibu masih menyimak.
“Tapi, karena ibu yang datang ke saya. Bertanya soal anak ibu yang begini-begitu, maka saya memberitahukan dalil yang berbeda. Dalil itu bukan untuk membenarkan hak kita sebagai seorang hamba, Bu. Dalil itu sebaiknya digunakan untuk mengingatkan kewajiban kita. Dalil untuk seorang anak adalah menghormati ibunya, sedangkan dalil untuk seorang ibu adalah merawat anaknya dengan penuh kasih sayang dan penuh keikhlasan,” kata Gus Mut.
Si ibu lagi-lagi merasa tersinggung.
“Jadi Gus Mut menuduh saya tidak ikhlas merawat anak saya?” tanya si ibu sedikit jengkel.
“Bukan, bukan begitu maksudnya, Bu. Saya cuma heran, kalau ibu merasa ikhlas merawat anak, ikhlas dengan pilihan kehidupan anak ibu, kenapa ibu tidak bisa ikhlas dengan pilihan calon istri anak ibu yang—ternyata—tidak bertentangan dengan agama sama sekali kecuali soal restu?” kata Gus Mut.
Mendengar itu, si ibu terdiam.
Gus Mut lalu kembali bersuara, “Bu, perpecahan itu selalu terjadi karena hamba Allah itu cenderung sama-sama menuntut hak. Sama seperti perpecahan yang terjadi dengan Islam belakangan ini. Semua ulama masing-masing menuntut haknya. Dalil yang digunakan adalah dalil yang digunakan untuk melegitimasi hak, bukan dalil-dalil yang digunakan untuk melegitimasi kewajiban.”
Si ibu kembali menyimak.
“Ibu kan tahu, masing-masing dari kita selalu berupaya mendapatkan hak dengan legitimasi dalil agama. Ada yang menuntut hak poligami, ada yang menuntut hak tidak dipoligami. Yang satu menuntut hak suami harus dilayani istri kapan pun, yang satu menuntut hak istri harus digauli dengan ma’ruf. Masing-masing pakai dalil yang kebalik posisinya. Jadinya ya konflik, masing-masing tidak mau kalah. Sama seperti posisi ibu sekarang. Kalau ibu sekarang menuntut hak menggunakan dalil baktinya seorang anak, ya kasihan anak ibu nanti,” kata Gus Mut.
“Tapi, tapi, Gus. Hal seperti itu kan tidak salah. Tidak ada larangannya,” kata si ibu.
Gus Mut bersandar dari kursinya, mengambil nafas sejenak.
“Benar itu tidak salah. Tapi sama sekali tidak bijak. Sebab selain penguasaan ilmu menafsirkan dalil, kita juga harus bisa bijak menempatkan dalil. Karena kebijaksanaan itu sangat dekat dengan keadilan,” terang Gus Mut. Si ibu masih menyimak. Kali ini ia tertunduk mendengar kata-kata Gus Mut.
“Ingat, Bu. Islam itu artinya tunduk. Kalau dalil agama tidak membuat kita tunduk tapi malah mendongak sombong, lalu selalu menuntut hak sampai melupakan kewajiban, lalu buat apa kita jadi orang Islam?”