MOJOK.CO – Menghukumi babi haram dengan menghukumi vaksin yang ada babinya merupakan dua hal yang berbeda. Semua hal bisa jadi haram, tapi pada waktu yang berlainan bisa jadi wajib.
“Jadi baiknya gimana Gus Mut, apa sebaiknya saya tidak ikut saja suntik vaksin itu saja? Katanya ada kandungan babinya lho,” kata Ibu Dyah kepada Gus Mut.
Ibu Dyah adalah salah satu warga di kampung Gus Mut yang menolak imbauan pemerintah untuk vaksinasi atau imunisasi. Menurut Ibu Dyah, baru-baru ini tersiar kabar kalau vaksin yang akan digunakan itu ada kandungan babinya. Padahal jelas, dalam Islam, babi itu haram.
“Kalau menurut Kiai Kholil, bapaknya panjenengan, penggunaan vaksin itu mubah karena darurat. Sementara ini belum ada vaksin lain yang ampuh untuk melawan penyakit itu, jadi diperbolehkan agar penyakitnya nggak menular. Tapi kan sekali babi ya tetap babi kan, Gus?” tanya Ibu Dyah.
Gus Mut terkekeh saja sedari tadi. Tidak mencoba memotong atau menyanggah pendapat Ibu Dyah.
Diamnya Gus Mut ini tentu semakin bikin jengkel Bu Dyah yang merasa tidak mendapat jawaban apa pun. Tidak membenarkan, tidak juga menyalahkan. “Kalau menurut Gus Mut, hukumnya vaksin yang ada babinya itu gimana?”
Gus Mut tidak langsung menjawab, diambilnya dulu sebatang rokok, lalu disulut dalam-dalam.
“Wah, ya tidak tentu,” kata Gus Mut.
Bu Dyah heran mendengarnya.
“Tidak tentu gimana, Gus? Hukum kok tidak tentu, hukum apa itu? Ini agama lho, Gus. Jangan main-main ya,” kata Bu Dyah semakin sewot.
Melihat Bu Dyah semakin sewot, Gus Mut malah semakin terkekeh sampai tersedak asap rokok.
“Ya tidak tentu memang hukumnya. Bisa mubah, bisa sunah, bisa wajib, bisa makruh, bahkan bisa haram.”
“Lho kok begitu. Setahu saya nggak begitu. Kalau yang namanya babi kok bisa jadi sunah sampai wajib, itu jelas pandangan yang berbahaya lho, Gus. Hati-hati ya,” Bu Dyah semakin mbesengut.
“Sabar Bu Dyah. Santai saja dulu. Maksud saya begini lho, menghukumi babi haram dengan menghukumi sesuatu sebagai babi lalu otomatis jadi haram, itu dua hal yang berbeda lho,” kata Gus Mut.
“Maksudnya, Gus?”
“Hm, contoh begini. Bu Dyah lihat ada laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim lagi mesra-mesraan misalnya. Secara sekilas itu perbuatan zina. Padahal jelas, zina itu diharamkan oleh agama. Dan sebagai seorang muslim yang baik, mencegah perbuatan mungkar memang dianjurkan. Tapi ternyata Bu Dyah nggak tahu, kalau pasangan itu sudah nikah siri—misalnya. Nah, menilai zina sebagai hal yang diharamkan dengan menilai seseorang berbuat zina, itu dua hal yang berbeda,” kata Gus Mut.
“Lho tapi kan ini beda, Gus. Soal babi ini ada banyak data memang ada unsur babi yang dimasukkan sebagai salah satu bagian komposisi pembuatan vaksin, Gus,” sanggah Bu Dyah.
“Maksud saya, jangan sampai Bu Dyah menilai, Abah saya, Kiai Kholil, jadi otomatis me-mubah-kan babi serta merta gara-gara urusan vaksin ini. Yang difatwa mubah itu vaksin, bukan babinya. Itu dua hal yang berbeda,” jawab Gus Mut.
Bu Dyah manggut-manggut. “Tapi kan vaksinnya memang ada babinya, Gus. Gimana tuh?”
“Nah, soal itu saya tak tahu betul. Apakah vaksinnya benar-benar ada babinya atau tidak. Maklum, saya ini bukan lulusan farmasi atau kedokteran, jadi tidak begitu paham sama yang begituan. Tapi kalau memang mau hati-hati ya sudah kita anggap saja vaksin itu ada babinya betulan,” kata Gus Mut.
“Begitu dong. Jadi kan jelas nih, Gus Mut menilai vaksin itu haram,” kata Bu Dyah serta merta.
“Lho kata siapa?” tanya Gus Mut.
“Lha itu barusan tadi?” tanya Bu Dyah.
“Saya nggak ngomong vaksin haram lho, Bu. Saya cuma ngomong, kalau mau hati-hati ya sudah kita anggap saja vaksin itu ada babinya. Sekarang, tinggal bagaimana menghukumi vaksin yang terindikasi ada babinya. Nah, soal perkara vaksin ini jadi tidak tentu hukumnya,” jelas Gus Mut.
“Ah, pusing saya, Gus. Muter-muter aja,” Bu Dyah semakin sewot, Gus Mut malah tertawa.
“Sekarang saya tanya, Bu Dyah. Hukumnya orang pakai songkok itu apa?” tiba-tiba Gus Mut bertanya.
“Hubungannya sama babi dan vaksin apa ini? Wah, kok semakin ruwet begini sih. Tinggal jawab, haram; soalnya begini. Sunah; soalnya begini. Beres kan, Gus? Kenapa pakai balik tanya sih?” tanya Bu Dyah.
“Ya biar Bu Dyah paham apa yang saya maksud hukum yang tidak tentu itu. Coba sekarang apa hukumnya orang pakai songkok?” tanya Gus Mut sambil tersenyum.
“Ya sunah dong, Gus. Gimana sih? Songkok kan dipakai biar waktu salat rambut nggak nutupin dahi waktu sujud,” jelas Bu Dyah.
“Emang nggak bisa jadi wajib?” tanya Gus Mut.
“Ya bisa sih jadi wajib. Tapi karena apa ya…” Bu Dyah bingung.
“Ya kalau misalnya songkok itu harus dipakai salat, padahal waktu salat sudah mau habis, terus kebetulan nggak ada alat lain yang bisa bikin dahi jadi terbuka untuk sujud. Kalau nggak pakai songkok orang itu nggak sempurna salatnya, padahal waktu salat bentar lagi lewat,” Gus Mut tiba-tiba memberi jawaban.
“Nah, itu, Gus. Bisa wajib juga,” kata Bu Dyah.
“Terus, bisa mubah juga dong?” tanya Gus Mut.
Kali ini Bu Dyah berhenti sejenak. Ada korelasi yang nyambung soal “hukum tidak tentu” yang disebutkan Gus Mut tadi.
“Baik, Gus. Jadi mubah ya memungkinkan sih. Oke, saya paham maksudnya,” kata Bu Dyah, “tapi kan perubahan dari sunah, wajib, ke mubah itu kan masih dalam kategori dianjurkan sampai diperbolehkan. Nggak mungkin dong pakai songkok jadi makruh apalagi haram.”
“Ah, kata siapa, Bu Dyah,” kata Gus Mut.
“Masa iya pakai songkok digunakan untuk maksiat sih, Gus. Ada-ada saja Gus Mut ini,” kata Bu Dyah.
“Ya nggak perlu sampai perbuatan maksiat. Perbuatan biasa saja itu bisa jadi makruh kalau pakai songkok,” kata Gus Mut.
“Coba misalnya apa, Gus?” tanya Bu Dyah nantang.
“Kalau misal, ini misal lho ya, ada orang yang baru saja beli songkok baru, terus songkoknya dipakai di kamar mandi. Terus orang ini keramas, tapi songkok barunya masih dipakai di kepalanya. Lha itu makruh lah. Mubazir. Cenderung goblok mungkin. Masa baru beli malah langsung dirusak begitu. Dosa sih juga nggak, songkok juga punya dia sendiri. Tapi kan eman-eman,” kata Gus Mut yang disambut tawa Bu Dyah.
“Gus Mut ini ada-ada saja,” kata Bu Dyah.
“Oke, kalau mau dicari-cari, jadi makruh mungkin juga. Tapi mustahil jadi haram. Masa iya alat ibadah seperti songkok bisa jadi haram?” tanya Bu Dyah.
“Ya bisa. Kalau songkok itu dipakai waktu rukun haji, waktu thawaf ifadhah yang diwajibkan mengenakan pakaian ihram, ya jelas pakai songkok itu haram hukumnya,” kata Gus Mut yang lagi-lagi disambut tawa Bu Dyah.
Sampai kemudian tawa dari Bu Dyah berangsur-angsur pudar lalu muncul lagi suara dari tamu Gus Mut itu.
“Terus kesimpulannya, hukum vaksin tadi jadinya gimana, Gus?”
Mendengar itu, Gus Mut membanting songkoknya, lalu gantian yang tertawa.