MOJOK.CO – Siapa bilang perempuan salehah tidak bisa menolak poligami dengan cara-cara syar’i? Berikut sebuah cara yang nggak perlu pakai rumus kesetaraan gender dan khawatir dicap antek asing.
“Jadi begitu, Gus,” kata Fanshuri kepada Gus Mut.
Gus Mut cuma manggut-manggut saja sambil menyalakan rokok.
Baru saja Fanshuri bercerita soal saudara perempuannya yang akan dinikahi oleh saudagar kaya dari kampung sebelah. Malam itu, kehadiran ke rumah Gus Mut bukan mau bicara soal pesta pernikahan atau minta Gus Mut untuk memimpin ijab qobul nanti, melainkan karena muncul ketakutan dari Fanshuri soal calon suami sepupunya itu.
Soal kekayaan luar biasa si calon suami jelas tidak membuat Fanshuri jadi takut, akan tetapi Fanshuri baru saja tahu bahwa calon adik sepupu iparnya ini sering sekali aktif menghadiri pengajian-pengajian ustaz-ustaz yang gemar menyerukan untuk poligami. Apalagi dalam salah satu pengajian dengan tema poligami di kabupaten, si calon suami malah jadi salah satu penyandang dana.
Mengetahui informasi seperti itu, Fanshuri jelas tidak terima sepupunya dinikahi orang yang dalam dugaannya punya agenda poligami. Fanshuri cuma takut, jika nanti suatu saat, sepupu perempuannya ini akan dipoligami.
“Tapi kan, sepupumu itu—maaf tadi siapa namanya?”
“Munaroh,” jawab Fanshuri.
“Iya, si Munaroh tidak masalah kan menikah dengan si saudagar itu?” tanya Gus Mut.
“Ya jelas, Gus. Namanya sudah cinta. Tapi kan gimana? Aku sudah bilang ke Munaroh ini, juga sudah bilang ke si calon suaminya. ‘Awas lho ya kalo sampai berani-beraninya poligami sepupuku!’,” kata Fanshuri.
“Memangnya kenapa kalau nanti benar-benar poligami?” tanya Gus Mut.
“Ya itulah, sebelum semua terlanjur, ya Munaroh aku bilang pikirkan dulu sama si orang itu. Bener nggak orang itu benar-benar pas dengan pilihannya. Kalau masih bisa pindah ke lain hati, ya udah tinggalin aja,” jawab Fanshuri.
“Sebentar, Fan, aku tanya serius ini. Memangnya apa yang salah dengan poligami?” tanya Gus Mut lagi.
Ditanya begitu, Fanshuri agak terkejut. Pikirnya malam itu, Gus Mut akan sependapat dengannya.
“Ya jelas dong, Gus. Nggak adil sekali dong. Seorang perempuan pasti merasa sakit hati kalau sampai diduakan sama suaminya. Apalagi si suami berlindung dari tafsir-tafsir Al-Quran begitu,” kata Fanshuri.
Gus Mut, masih mencoba mencerna kalimat demi kalimat Fanshuri.
“Gini, Fan. Aku nggak lihat satu pun alasanmu kenapa menolak poligami jadi sesuatu yang harus dilakukan. Kalau ini terkait sama sepupumu okelah, itu keluargamu, kamu khawatir—itu wajar. Tapi kok nada-nadanya kamu jadi benci pada poligami apapun bentuknya gitu?” tanya Gus Mut lagi.
“Soalnya sekarang ini makin gencar, Gus, seminar-seminar poligami. Seolah-olah kalau poligami itu bakal lebih saleh daripada yang tidak poligami. Malah jadi kebanggaan gitu. ‘Istriku dah 3 ini, kamu berapa?’. Seolah-olah mereka menganggap seorang perempuan begitu rendah saja. Dan aku nggak suka,” kata Fanshuri.
“Oalah, jadi ini cuma perkara suka dan nggak suka?” tanya Gus Mut.
“Iya, sih, tapi sekarang coba kalau Gus Mut yang jadi istri yang dipoligami. Bagaimana coba rasanya?” tanya Fanshuri.
“Ya jelas tidak tahu dong, Fan. Aku ini nggak pandai bernadai-andai jadi orang lain,” kata Gus Mut.
“Nah, sudah jelas sakit. Padahal ayat soal poligami kan tafsirnya bisa macam-macam kan, Gus?” kata Fanshuri yang kelihatan malam itu agak sedikit marah.
“Tapi kamu harus ingat, Fan, tidak ada satu pun tafsir dari ayat poligami yang menyatakan poligami itu diharamkan lho,” kata Gus Mut meminta Fanshuri hati-hati.
Fanshuri cuma terdiam.
“Hukum itu memang bukan perkara kita suka atau tidak suka, Fan. Apalagi soal agama. Tidak ada apapun yang disukai manusia di dalamnya. Coba soal salat saja, memang kamu suka salat? Coba sekarang aku tanya, lebih suka mana kamu? Mancing ikan di sungai apa salat?”
“Ya kalau waktunya salat ya harus salat dong, Gus, walau sedang mancing,” kata Fanshuri.
“Itu yang kau bilang ‘harus salat’. Tapi jika misalnya tidak ada kewajiban salat dari Allah, kira-kira kamu lebih suka mana?”
Fanshuri cuma terdiam. “Ya mancing sih, Gus,” kata Fanshuri pelan-pelan.
“Yang namanya kewajiban itu nggak ada yang enak, Fan. Kalau kewajiban dalam agama sampai pada tahap enak dikerjain, itu bisa jadi bukan kewajiban lagi, tapi sudah nafsu yang bermain. Jadi perlu dipertanyakan juga kalau misalnya ada ustaz, yang ceramah ke sana kemari. Lalu ketagihan, bilangnya kewajiban dakwah, tapi diam-diam dalam hatinya sudah menikmati dan bahkan terikat sampai pada tahap ketagihan. Ya harus hati-hati, bisa jadi yang tadinya niat berdakwah, berubah jadi ujub, takabur, dan malah nafsu yang dominan. Lalu jadi kenikmatan yang nggak bisa dilepas-lepas,” kata Gus Mut.
Fanshuri masih terdiam.
“Dalam ayat poligami pun kita juga harus hati-hati, Fan. Jangan sembarangan menuduh orang lain tidak layak melakukan poligami. Menuduh orang tidak bakal bisa berlaku adil. Itu urusan rumah tangga mereka, bukan hak kita mencampuri. Kalau memang tidak suka dengan itu, ya sudah cukup niatkan hati untuk tidak akan poligami saja. Jangan mencela mereka yang poligami,” kata Gus Mut.
“Ta, tapi, Gus, poligami kan bukti ada yang timpang,” kata Fanshuri. “Masa laki-laki seperti kita dibolehkan punya sampai 4 istri, sedang perempuan harus satu. Mereka pun kena berbagai macam aturan yang lebih memberatkan daripada laki-laki kayak kita,” lanjutnya.
“Nah, itu kalau orang yang lihatnya cuma dari sisi laki-laki saja, Fan. Dipikir Islam itu nggak adil apa ya sama perempuan. Sekarang begini, kamu pikir setiap laki-laki di bumi ini kena kewajiban dari Allah untuk tunduk, takluk, hormat, bahkan sendiko dawuh pada siapa?” tanya Gus Mut.
“Pada Allah?”
“Ya jelas kalau itu. Maksudnya tunduk pada sesama makhluk,” jelas Gus Mut.
“Siapa? Kiainya? Gurunya?” tebak Fanshuri.
“Bukan, tapi pada satu perempuan,” jawab Gus Mut.
“Istri?” tanya Fanshuri lagi.
“Bukan.”
“Lha terus siapa?”
“Ibu.”
Dijawab begitu, Fanshuri terdiam.
“Seorang anak laki-laki, punya kewajiban tunduk pada ibunya seumur hidupnya. Seumur hidup si anak lho ya, bukan sepanjang hidup si ibu. Bahkan ketika si ibu sudah meninggal pun, doa anak adalah salah satu yang bisa sampai langsung ke ibunya. Ini beda dengan anak perempuan, tunduknya pada ibu akan berakhir ketika dia nanti menikah. Ikut sama suami. Tapi suami yang diikuti oleh si anak perempuan ini pun tunduk pula pada ibunya, seorang perempuan. Artinya, setiap kepala laki-laki yang pernah hidup di dunia ini—kecuali Nabi Adam—punya utang bakti pada satu perempuan, yaitu ibu mereka masing-masing,” jelas Gus Mut.
Fanshuri terdiam. “Tapi, tapi, Gus…”
“Iya aku tahu. Rasanya memang adil kalau seperti itu cara pandangnya. Tapi memang ada banyak yang meningkatkan hukum poligami yang tadinya mubah, jadi seolah-olah sunah muakkad pada berbagai situasi dan kondisi. Dan, yah, itu memang bikin geregetan bagi kebanyakan orang,” kata Gus Mut.
“Tapi masa selemah itu kedudukan perempuan di dalam Islam jika di hadapan suami? Apalagi kalau misalnya menghadapi suami yang mau poligami?” tanya Fanshuri.
Gus Mut mendadak terkekeh.
“Fan, aku punya tips untuk sepupumu. Bagaimana caranya agar dia tidak akan bisa dipoligami nanti ketika sudah resmi jadi suami istri. Cuma aku pesan ini jangan sampai kamu ceritakan ke siapa-siapa kecuali ke sepupumu,” kata Gus Mut.
Fanshuri langsung bungah. “Nah, ini dia Gus, maksud kedatangan saya kemari.”
Gus Mut celingak-celinguk sebentar, lalu mendekatkan kepalanya ke kuping Fanshuri.
“Jadi jika sepupumu nanti—misalnya—benar-benar kejadian akan dipoligami. Coba tanya pada ibu mertuanya, alias ibu dari suaminya. Apakah rela jika anaknya melakukan poligami? Aku sih yakin, seorang perempuan lebih bisa berempati kepada sesamanya, ibu mertua ke menantu perempuan misal. Nah, kalau misalnya si ibu nggak kasih restu poligami. Gugur sudah hukum poligami yang sunah itu,” kata Gus Mut.
“Lha kok bisa, Gus?” tanya Fanshuri.
“Ya iya dong, mengikuti perintah ibu itu wajib. Jelas jauh di atas hukum poligami. Kalau sampai si suami nekat mau poligami padahal ibunya nggak merestui, wah Malin Kundang itu berarti,” kata Gus Mut yakin.
“Tapi, Gus. Kalau ibu si suami sudah meninggal gimana?”
Air muka Gus Mut berubah mendadak.
“Berarti pakai cara yang kedua.” Mendadak muncul suara dari Ning Fathonah, istri dari Gus Mut. Suara yang mengejutkan Fanshuri dan Gus Mut di teras depan rumah.
Ning Fathonah keluar sambil membawa dua buah kopi panas. “Ini ngomongin poligami sampai seru begini, aku di belakang sampai kedengeran lho, Mas,” kata Ning Fathonah.
“Ini diminum dulu, biar bahtsul masail-nya tambah asyik,” sindir Ning Fathonah sambil ikut duduk.
“Lha ini lho, si Fanshuri ini sepupunya…” kata Gus Mut mau menjelaskan.
“Iya aku tahu, aku dah denger, Mas Mut. Kalian cerita kayak lagi di hutan aja, kenceng banget,” kata Ning Fathonah.
“Lha tadi cara berikutnya apa Ning?” tanya Fanshuri. “Cara biar nggak bisa dipoligami.”
“Waduh.” Gus Mut mendadak seperti teringat sesuatu yang memalukan. Lalu ingin menghentikan Ning Fathonah bicara, tapi tak berdaya.
“Ini cara yang aku pakai waktu dilamar Mas Mut,” kata Ning Fathonah.
“Hah? Cara apa?” tanya Fanshuri penasaran.
“Jadi sebelum sepupumu dilamar, masukkan dulu prasyarat tidak boleh dipoligami dari keluarga si perempuan untuk dimasukkan pada akad ijab qobul nanti. Jadi, ijab qobul itu selain mensahkan hubungan suami-istri juga mensahkan larangan poligami di antara keduanya. Jadi poligami jadi sesuatu yang haram dari hubungan suami-istri tersebut, karena sudah ada akadnya,” kata Ning Fathonah.
Fanshuri seperti mendapat pencerahan luar biasa. Tapi, di saat hampir bersamaan juga muncul pertanyaan.
“Eh, berarti dulu Gus Mut waktu ijab qobul, ada syarat begitu juga dong, Ning?” tiba-tiba Fanshuri penasaran, “Emang Gus Mut ada potongan mau poligami dulunya?”
Ning Fathonah cuma cekikikan sambil beranjak berdiri, Gus Mut sudah kehabisan kata-kata.
“Ya nggak ada sih, cuma buat jaga-jaga aja,” kata Ning Fathonah langsung ngacir ke dalam rumah.