[MOJOK.CO] “Kompilasi kutipan pejabat negeri tentang judi hingga beras.”
Akhirnya vonis untuk Buni Yani dijatuhkan majelis hakim: 18 bulan alias 1,5 tahun penjara. Selisih enam bulan dari Ahok yang dijatuhi hukuman 2 tahun… tepat enam bulan yang lalu pula. Mungkin memang diatur begitu sama hakimnya, biar nanti keluarnya bareng. Sebab pangkal masalahnya semua orang tahu, mulut ember Ahok yang bilang, “Jangan mau dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51.” Lalu Buni Yani yang menyebarkan videonya. Klop. Cocok. Co cuit.
Kemungkinan mereka berdua akan bertemu kembali di Mako Brimob. “Kan tidak mungkin kita satukan mantan pejabat dengan para copet,” kata Pak Asdjudin Rana, mantan Kepala Kanwil Depkum HAM Jakarta, dulu. Lagian di sana mereka enak kok. Kalau kata mantan Menpora Andi Malarangeng, “Mereka ini tinggal nunggu bunyi klenteng-klenteng lalu sarapan, klenteng-klenteng lalu makan siang, dan klenteng-klenteng lalu makan malam.”
Tolong dicatat, itu kata-kata Pak Andi waktu ngomentari pengungsi Merapi, bukan waktu lagi bikin memoar pas beliau ditahan di tahanan KPK.
Ahok mungkin akan jadi gubernur pertama yang diingat orang sebagai gubernur penista agama, tapi pendahulunya, Bang Ali Sadikin, malah pernah dicap gubernur maksiat karena mengesahkan perjudian. Istrinya bahkan ikutan disebut Madam Hwa-Hwe alias nyonya judi. Kepada penentangnya Bang Ali berkata enteng, “Kalau masih mau tinggal di Jakarta, sebaiknya beli helikopter karena jalan-jalan di Jakarta dibangun dengan pajak judi.”
Beruntung mereka yang tidak setuju dengan Bang Ali tidak tersulut emosinya. Kalau tidak, ingatan kita hari ini mungkin akan diisi dengan tujuh juta helikopter yang melayang-layang di atas Monas untuk mendemo Bang Ali. Lha, mau demo di atas jalanannya, jalannya kan dibangun pakai uang judi….
Bagaimanapun, Ahok tidak bisa dibenarkan. Ngapain juga ngurusin ajaran agama orang lain, terutama agama yang sudah terbukti ilmiah. Kalau mau komentar soal agama orang lain, tirulah Pak Din Syamsuddin yang mengomentari Sunda Wiwitan karena itu bukan agama. “Bukan dalam pengertian agama yang secara ilmiah,” kalau kata Pak Din.
Malah seharusnya Mahkamah Konstitusi menuruti saran Mas Yandri Susanto, anggota DPR dari partainya Pak Amien yang barusan dirisak warganet karena kabar nggak jelas soal anaknya yang mau nyalon jadi wagub di Sumatera Utara. “Harusnya semua WNI diarahkan untuk memeluk agama-agama resmi negara,” kata Mas Yandri, “tapi sudah terlambat.”
Yah….
Karena sudah menyebut MK, maka saya pikir kita bisa memakai pendapat Pak Jimmly Asshiddiqie, Ketua MK pertama, ketika mengomentari para penganut Ahmadiyah: “Biarkan mereka menikmati kesesatannya.” Dinikmati… sumber daya alam kali, dinikmati.
Ngomong-ngomong soal melecehkan agama, tidak kurang Pak Harmoko, Menteri Penerangan jaman old, juga pernah kepeleset. Konon beliau memelesetkan Surah Al-Fatihah jadi “Wa ladl-dlol-lin-dulat-dulit-dulat-dulit-dulat-dulit.” Tapi, waktu itu juga nggak ada demo besar-besaran. Saya rasa bukan karena orang nggak punya helikopter atau takut sama Pak Harto, tapi lebih karena khawatir kalau-kalau harga cabe keriting, tomat gondol, dan kol gepeng jadi tidak stabil lagi.
Habis, gimana coba kalau sampai harga-harga kebutuhan pokok yang sering dilaporin Pak Harmoko malam-malam sehabis Dunia Dalam Berita itu jadi labil, mudah berubah pikiran, dan gampang galau kayak kids jaman now?
Kalau itu sampai terjadi, solusi terbaik mungkin akan datang dari Menteri Pertanian Amran Sulaiman. “Kalau ibu-ibu bisa mengurangi ngegosip lima menit sehari dan menanam cabai lima pohon, maka tuntas sudah persoalan cabai,” kata beliau. Itu baru mengurangi gosip lima menit dan nanam lima pohon cabai, bayangkan kalau ibu-ibu itu seharian tidak bergosip dan sebagai gantinya menanam tomat, kol, atau bahkan pohon jati. Bukan cuma kebutuhan pokok terpenuhi secara swadaya, bahkan bisa kaya raya.
Agak-agaknya sih Pak Amran ini cuma meneruskan program pendahulunya, Pak Suswono, yang pernah bilang, apabila petani banyak yang alih profesi, beliau malah senang. Mungkin dulu Pak Suswono sering nonton acara tivi Tukar Nasib, jadi beliau mau petani tukeran nasib sama ibu-ibu. Petaninya berubah jadi ibu-ibu gosip, dan ibu-ibu gosipnya—sekalian sama presenter-presenter infotainment di tivi juga, mungkin—jadi petani. Tapi, kalau ibu-ibunya sudah jadi petani kayak di Rembang, lahannya jangan dikonsesikan ke pabrik semen ya, Pak.
Tapi, kalau Anda merasa solusi dari duet Pak Suswono dan Pak Amran tidak menyelesaikan masalah, kita masih bisa mencoba solusi dari duet lain: Pak Hatta Rajasa dan Mbak Puan Maharani. Di panggung politik mungkin keduanya berseberangan, tapi soal ide sepertinya keduanya sejalan. Pak Hatta yang pernah jadi Menko Perekonomian pernah bilang kalau “Masyarakat kita kecanduan beras, padahal Indonesia kaya dengan sumber karbohidrat lainnya.”
Nah, ini dia masalah kenapa harga bahan pokok kita naik melulu. Pada kecanduan sih, beli terus, makanya naik.
Ide Mba Puan memang tidak persis dengan Pak Hatta, tapi asumsi soal akar masalahnya sama, karena konsumsi satu komoditas kebanyakan. Makanya, beliau menyarankan supaya orang miskin “Jangan banyak-banyak makanlah, diet sedikit nggak apa-apa.” Tolong diingat ya, kalian-kalian yang kecanduan beras, sama seperti para perokok yang bisa dipastikan masa tuanya akan dihabiskan di RS Harapan Kita karena sakit jantung dan kanker paru-paru, orang yang kecanduan beras masa tuanya juga diintai bahaya.
Ini valid. Berdasarkan penelitian saya, hampir semua orang Indonesia yang menjadikan produk olahan beras kayak nasi sebagai makanan pokok, memang pada akhirnya akan meninggal dunia. Dari situ saya berani mengambil kesimpulan, tidak bisa tidak, beras adalah penyebab kematian nomor satu di Indonesia. Makanya, kayak Pak M. Taufik yang wakil ketua DPRD Jakarta dong: jangan makan nasi, tapi makan lobster.
Jadi, jauhilah beras. Soalnya, kalau kita sampai sakit, nanti dimarahi Bu Nina Moeloek, Menteri Kesehatan. Apalagi kalau Anda peserta JKN-KIS. Belum tahu apa, BPJS Kesehatan baru saja dilaporkan defisit 9 triliun? Ini masalah lho. Dengar kata Bu Nina, peserta JKN-KIS jaga kesehatan, jangan sampai sakit karena kalau sakit, nanti pasti berbondong-bondong minta diobati. Dan supaya nggak sakit, nasinya dikurang-kurangilah, Bang, tapi rokoknya jangan. Cukai rokok kan perlu untuk menalangi defisit BPJS tadi.
Problem makan tadi memang kompleks, yang kena dampak bukan cuma BPJS. Dulu Pak Sudirman Said waktu jadi Menteri ESDM kan juga pernah menaikkan harga LPG. Alasannya: “LPG dinaikkan agar masyarakat tidak membebani APBN.” Tuh. Beban. Ditambah Pak Sofyan Basyir yang Direktur Utama PLN bilang, “Itu rice cooker, AC, lampu 24 jam nyala. Gimana nggak mau mahal listriknya? Terus kalau mahal, marah-marah.”
Makanya, makan nasinya dikurangi biar rice cooker-nya nggak nyala 24 jam dan LPG-nya nggak dinaikin harganya. Suami-suami kan ikut senang karena nggak perlu bolak-balik disuruh mengganti tabung gas sama istrinya. Lagian istri-istri itu, yang ngakunya sayang suami, logikanya agak aneh: nggak masang tabung gas sendiri karena takut meledak, lah apa nggak takut kalau meledaknya pas dipasang sama suaminya?
Inilah yang namanya istri nggak sesuai spek. Para suami bisa teladani contoh Aceng Fikri, mantan Bupati Garut. “Karena nikah itu kan perdata, perikatan, akad. Jadi kalau dianalogikan, tidak ada bedanya nikah dengan jual beli, kalau tidak sesuai speknya, ya nggak apa-apa dikembalikan,” ujarnya. Kalau dapat istri yang sayang di mulut, nggak sayang di perbuatan, balikin aja, Pak. Nggak sesuai spek.
Namun, yang Bapak-Bapak perlu ingat pula, perkawinan tidak cuma soal spek. Harus ada cinta juga. Perkawinan tanpa cinta itu sama dengan perkosaan lho, walau nggak semua juga sih. Untuk membuktikan perkosaan apa bukan, perlu ditanya dulu sama Kapolri Pak Tito Karnavian, “Jika Anda diperkosa, bagaimana perasaan Anda selama pemerkosaan, apakah nyaman? Jika nyaman, itu bukan pemerkosaan.”
Tambahan lagi, kalau kata mantan calon Hakim Agung Daming Sunusi, “Hukuman maksimal untuk pemerkosa itu nggak perlu. Alasannya sederhana: pelaku dan korban sama-sama menikmatinya.” Sayang ketiga tokoh ini tidak menjabat dalam satu tempo yang bersamaan, kalau iya, kan… remuk kita semua. Apalagi kalau ketemu Bupati Aceh Barat Ramli Mansur yang bilang, “Perempuan yang tidak mengenakan pakaian sesuai syariah Islam, layak diperkosa.”
Aceng Fikri kayaknya masih hidup di masa lalu, masih pakai analog. Ini jaman digital, semuanya online, bahkan kalau ada jual beli istri kayak kata Pak Aceng tadi, kemungkinan dia akan dijajakan secara online juga. Nanti musuhnya Pak Mahfudz Siddiq yang mantan anggota DPR dari partai kesayangan kita semua, PKS. Pasalnya beliau pernah mengultimatum supaya “Menkominfo harus bisa menutup situs Tokobagus dot com.” Waktu di situs itu ditemukan ada orang yang menjual bayi.
Ibaratnya kayak ada yang jualan narkoba di pasar, terus pasarnya yang ditutup. Tapi, ini cocok dengan rekan Pak Siddiq di PKS yang kebetulan pernah jadi Menteri Kominfo, siapa lagi kalau bukan Pak Tifatul Sembiring yang dengan santainya nanya, “Tweeps budiman, memangnya kalau internetnya cepat mau dipakai buat apa?” Pak Tifatul kayak nggak pernah muda aja. Ya buat mem-follow akun Toket Queen lah, Pak.
Makanya, ke depan penting sekali untuk memastikan bahwa calon pejabat negara kita sudah punya pasangan. Seperti Anggota DPR dari Golkar, Oheo Sinapoy, yang pas uji kelayakan dan kepatutan calon anggota Komisi Penyiaran Indonesia bertanya kepada Mba Agatha Lily, “Tolong dijawab serius, Anda sudah punya pacar?”
Dan kalau kalian sudah capek ditanya kayak gitu, capek ditanya “sudah punya pacar atau belum” atau “kapan kawin”, apalagi di acara resmi negara kayak Mba Agatha tadi, pinjam saja kata-kata Bang Ruhut, Si Raja Minyak dari Medan, waktu sidang pansus angket Bank Century:
“Diam kau, Bangsat!”