Opa Marlon dan Oma Maria pasutri yang tinggal dan menua di Dumoga. Dumoga adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara.
Mereka berdua hingga usia senja dikenal paling suka bercanda oleh warga sekitar. Meski banyak masalah, rumah tangga mereka awet. Pasutri ini memegang teguh tagline tandingan Pegadaian: mengatasi masalah dengan bercanda.
Ada banyak cerita yang beredar tentang perjalanan hidup Opa Marlon dan Oma Maria, hingga salah seorang dari mereka berpulang lebih dulu menghadap Yang Maha Kuasa. Semuanya akan dirangkum dalam enam mop berikut.
Opa Nae Kalapa
Opa meski sudah 70 tahun, raganya sehat dan jiwanya sentosa. Suatu hari Oma ingin sekali minum air kelapa muda. Oma lalu meminta Opa memanjat pohon kelapa setinggi tiang listrik di samping rumah. Tentu saja Opa tidak bisa menolak. Tidak ada anak atau cucu pula di rumah yang bisa disuruh, semuanya telah hidup masing-masing.
“Hati-hati mo ciri,” kata Oma.
“Jangan pandang enteng, biar tua bagini mar Opa masih kuat bapanjat. Apalagi bapanjat pa Oma,” canda Opa.
Oma tertawa mendengar pernyataan bodoh Opa barusan meski dalam hatinya tetap khawatir. Apalagi melihat celana Opa kedodoran saat memanjat.
“Eh, Opa! Ngana pe calana somo ta lucur. Ngana pe bolpoin so mo kaluar!” teriak Oma.
“Bekeng kage jo ngana ini. Ndak lama kita turung kong coret-coret pa ngana deng ni bolpoin!” sahut Opa.
Oma yang merasa diserang balik, membalas, “Stel le ngana. Tinta so kering le!”
Opa Minta Susu
Karena ada urusan mendadak, Opa harus berangkat ke Kota Kotamobagu. Opa ketika itu naik mikrolet.
Di dalam mikrolet, di sebelah Opa ada seorang ibu yang sedang menyusui anaknya.
“Capat jo basusu. Kalo ndak Mama’ mo kase pa Opa di sabalah,” bujuk ibu itu.
Tapi anak itu tetap enggan menyusu.
“Oh, kase biar, Mama’ so mo kase pa Opa jo,” ancam ibu itu.
Wajah Opa memerah. Rambut peraknya seakan ikut tersemir menjadi merah. Jantung Opa deg-degan, sebab sebentar lagi mikrolet akan memasuki kota, tapi ibu dan anak itu masih terlibat adu tolak-bujuk.
Saking tidak tahannya, akhirnya Opa bersuara, “Maaf, Ibu, coba cepat ambil keputusan ne. Soalnya Opa so mo turung ini.”
Lubang Buaya
Suatu hari Opa ketahuan selingkuh. Di hape Opa ada beberapa SMS dari selingkuhannya yang luput dihapus. Oma membacanya saat Opa terlelap.
Oma akhirnya memutuskan pisah ranjang dengan Opa. Oma mengungsi ke rumah anaknya.
Saat berada di rumah anaknya, Oma mengirim SMS berisi pantun kepada Opa.
“Buah matoa jatuh di kebaya. Biar so tua mar buaya.”
Opa menerima SMS tersebut, “Oh, mo baku balas pantun dang.”
Opa membalas SMS-nya Oma dengan pantun juga.
“Keladi tua rasa pepaya. Biar so tua, mar kita le so bosan deng lubang buaya.”
Oma naik pitam setelah membaca SMS dari Opa. Ia segera membalas SMS dari Opa.
“So ini lubang buaya ini yang makang korban jendral-jendral. Satu kali deng ngana pe kopral kacili itu.”
Nama Sapa?
Setelah rujuk dan tinggal bersama lagi, Opa dan Oma kembali merajut benang-benang kasih sayang.
Suatu malam, baru saja mereka berdua melangkah menuju kamar, tetiba mereka dicegat oleh dua pria bertopeng di depan pintu. Ternyata kedua perampok itu sudah lebih dulu masuk kamar dengan mencungkil jendela.
“Dudu situ ngoni dua!” bentak salah satu perampok, sambil menunjuk kasur dengan sebilah parang.
Dengkul Opa dan Oma bergetar seirama ketika melangkah menuju kasur.
“Ngana pe nama sapa?” tanya perampok kepada Oma.
“Maria,” jawab Oma.
Tetiba perampok yang ternyata kakak beradik itu berkata, “Adoh, Oma pe nama sama deng torang dua pe Mama’ pe nama. Oma kaluar jo sana.”
Kedua perampok itu lanjut bertanya kepada Opa, “Kong ngana pe nama sapa?”
Opa dengan pelan dan gemetar menjawab, “Marlon … mar anak kompleks biasa pangge Maria.”
Nama Sayang-Sayang
Setelah selamat dari perampokan malam itu, Opa dan Oma dikunjungi semua anak dan cucunya. Rumah jadi ramai.
Setiap kali ada anak atau cucu berkunjung, Opa pasti memanggil Oma dengan sebutan darling, honey, dan my love. Itu untuk menunjukkan aura kasih sayang dalam rumah tangga mereka.
Salah seorang cucu perempuan berusia 18 tahun mendekati Opa lalu bertanya, “Opa, kiapa Opa jaga pangge pa Oma dengan nama darling, honey, deng my love? Romantis skali Opa ini. Apa de pe rahasia dang?”
Opa lalu mengajak cucunya itu mendekat.
“Badiam ne … Jaga ni rahasia. Sebenarnya … Opa so lupa Oma pe nama sapa,” kata Opa Marlon yang sudah mulai pikun.
Pinjam Hape
Tahun demi tahun berlalu. Opa mulai sakit-sakitan, begitu juga Oma. Tapi ternyata fisik Oma masih jauh lebih kuat tinimbang Opa.
Sore. Hujan mewarnai lanskap desa menjadi abu-abu. Oma kala itu sedang berteduh di salah satu rumah anaknya, tak jauh dari rumahnya. Oma baru saja dari apotek, membeli obat untuk Opa. Ia menitipkan Opa kepada salah seorang cucu laki-lakinya.
Saat menunggu hujan reda, dari kejauhan Oma melihat cucu laki-lakinya berlari di tengah deras hujan. Ada yang janggal di hati Oma.
“Omaaaaaa! Opa so ndak bangon-bangon. Birman so banya di rumah. Dorang bilang Opa so meninggal!”
Bungkusan obat di genggaman Oma terlepas. Anak dan cucu lainnya di rumah itu segera memeluk Oma.
“Sapa yang ada hape? Oma mo pinjam dulu,” pinta Oma terisak-isak.
“Mo bekeng apa so Oma? Pake hape ini jo,” kata salah seorang cucunya sambil menyodorkan hape android.
“Oma mo buka pesbuk. Mo ganti status dari menikah jadi lajang.”