Kalau Membolos Mungkin Alasannya Habis Diculik, Bu Guru
Setiap SD selalu punya “don”-nya masing masing. Tak terkecuali sebuah SD di satu sudut kota Makassar, sebut saja SD Banna’. Di sana bersekolahlah seorang anak bernama Rahim, baru duduk di kelas 1 SD. Namun, karena lidah orang Makassar, bocah itu lebih akrab disapa dengan nama panggilan Irahing alias si Rahim.
Irahing adalah anak yang memenuhi kriteria bocah tukang bikin gara-gara. Coba saja lihat kelakuan kelakuannya ini.
Di sebuah pagi yang cerah di SD Banna’, Bu Guru sedang mempersiapkan kelasnya untuk memulai pelajaran. Tapi, Bu Guru tiba-tiba menyadari satu hal: bangku Irahing masih kosong.
“Ada yang lihat Irahing? Kenapa belum pi datang?”
Seisi kelas terenyak. Tak ada yang mengetahui keberadaan Irahing. Di saat itu pula muncullah sosok yang dicari-cari tadi. Irahing yang terengah-engah dan berleleran keringat masuk kelas, dan segera mendapat sambutan dari Ibu Guru.
“Kenapa ko terlambat?”
“Dicopet ka bu.”
Wajah Bu Guru seketika berubah dari yang tadinya akan marah menjadi berempati kepada Irahing.
“Terus ko dak apa apa ji?”
“Dak apa apa ja, Bu”
“Apa nu hilang?”
“Buku PR-ku, Bu.”
Atau Kata Anak Muda Sekarang: Move On
Seperti halnya kebiasaan di sekolah-sekolah lain, guru Irahing juga selalu melakukan evaluasi pelajaran setiap proses belajar-mengajar hendak dimulai. Hari itu, mereka akan memulai pelajaran Bahasa Indonesia.
“Hayo … siapa yang ingat ki pelajaran minggu lalu?” Ibu Guru melempar pertanyaan kepada murid muridnya.
Kelas hening. Para murid saling memandang satu sama lain. Lalu dengan satu gerakan tiba-tiba, Bu Guru menuding kepada Irahing
“Irahing, kamu ingat?”
“Sudah mi, Bu! Yang lalu, biarlah berlalu. Nabilang kakakku, semakin diingat makin menyakitkan,” jawab Irahing santai.
Suasana kelas semakin hening.
Itulah Kenapa di UN Soalnya Beda-Beda
Dalam sebuah ujian akhir semester, kelas Irahing mendapat sebuah musibah. Mereka kebagian pengawas ujian yang terkenal sebagai guru paling killer di sekolah itu.
“Rahing, jangan ko nyontek!” kata Pak Guru ketika mendapati Irahing sedang sibuk menyalin pekerjaan teman di sebelahnya
“Dak ji, Pak” Irahing menyangkal.
“Terus kenapa ko lihat-lihat ke Endang?”
“Ini soal-soalnya kayakna sama ji, Pak. Jadi, mau ji kukasih cocok jawabanna saja sekalian.”
Berhitung
Layaknya hari-hari kemarin, saban pelajaran Matematika, Ibu Guru selalu mengetes muridnya satu per satu. Setiap murid mendapat giliran menjawab.
Semuanya seperti akan baik-baik saja. Sampai pada giliran Irahing.
“Rahing, setelah angka 7 berapa?”
“8, 9, 10, Bu,” jawabnya tanpa keraguan.
“Bagus! Siapa yang ajar ko?”
“Bapakku, Bu.”
“Terus, setelahna 10 apa?”
“Jack, Queen, King, paling tinggi Joker, Bu!”
Bu guru Irahing yang penyabar itu, yang kualitas kesabarannya membuat Cikgu Jasmin guru Upin Ipin seperti tidak ada apa-apanya, hanya menarik napas panjang mendengar jawaban Irahing.
“Ya, sudah. Kalau begitu pertanyaan selanjutnya. Jika kamu dikasih tantemu 2 biji permen, terus dia tambahi lagi 7 permen, apa jawabannya?”
“Terima kasih, Tante ….”
Besarkan Suaranya, Bukan Hewannya
Sesabar-sabarnya seorang pengajar, pasti ada batasnya. Dan akhirnya, tembok pertahanan itu jebol juga. Bu Guru yang suatu kali sudah tak tahan dengan kelakuan Irahing, dengan segera memberi hukuman kepadanya. Sebuah hukuman yang masih penuh welas asih untuk anak sekaliber Irahing: Bernyanyi di depan kelas.
“Irahing! Ko ke depan sini, menyanyi!”
Irahing dengan langkah tegap berjalan ke depan kelas.
“Nyanyi apa, Bu?” tanyanya.
“Cecak-cecak di dinding mo.”
Permintaan yang tentu saja segera disanggupi oleh Irahing. Perkara receh, pikirnya.
“Cecak-cecak di dinding ….” Irahing mulai bernyanyi.
Namun, karena volume suara Irahing yang kecil, Bu guru menegurnya.
“Besari Irahing!” perintah Bu Guru.
“Tokek-tokek di dinding …,” nyanyinya dengan volume yang masih sama.
“Kubilang besari!” tegur Bu Guru.
Kali ini Irahing menambah volume bernyanyinya.
“Buaya-buaya di dinding!!!”
Seisi kelas terbahak. Bu Guru kesal sekaligus prihatin.
“Ya sudah. Ko nyanyi lagu nasional yang ko tahu mo saja.” Bu Guru masih mencoba memberinya hukuman. Setidaknya anak ini harus dibikin jera.
“Siaaap, Bu!”
Irahing lalu bernyanyi. “16 Agustus tahun ‘45 ….”
“Salah ko! 17 Agustus!” Irahing diinterupsi oleh Endang, teman sekelasnya.
Irahing hanya tersenyum tenang, lalu melanjutkan bernyanyi, “Besoknya hari kemerdekaan kita ….”
Seisi kelas kembali menangis.
***
Cerita-cerita di atas saya peroleh dari percakapan sekumpulan tukang ojek online yang sering berkumpul di dekat rumah saya. Sore itu, ditemani rokok dan kopi, mereka saling melempar cerita humor diselingi obrolan tentang lelucon baru paling lucu di Makassar tahun ini: Nurdin Halid menjadi calon gubernur Sulawesi Selatan.