MOJOK.CO – Ada sebuah siasat untuk menaklukkan seorang profesor ahli agama dan di Papua, Indonesia hampir saja ikut Piala Dunia. Seperti apa MOP yang terucap. Mari sudah.
Pagi di muka kantor Kampung Purwahab Tonggoh, Fakfak Barat, saya sedang ngobrol dengan Kepala Kampung Abdurrahman Patiran, ketika Sekretaris Distrik (Sekdis) melintas dan berujar: “Selamat pagi Pak Mualaf.” Saya terkejut mendengar sapaan itu.
Pak Sekdis dan Pak Kepala Kampung tertawa. “Nanti minta dong kasih cerita asal-usul dorang dipanggil Pak Mualaf,” kata pak Sekdis. Mualaf berarti orang yang akan atau baru pindah ke Islam dari agama lain. Makanya saya terkejut. Setahu saya, pak Kepala Kampung adalah seorang muslim.
“Jadi begini, Pak. Dulu saya kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi. Semester empat, saya berhenti kuliah. Nah, karena mau nyalon jadi anggota DPRD, yang salah satu syaratnya adalah pendidikan tamat kuliah, minimal S1, maka saya kuliah lagi di STAIN Fakfak. Nah, ketika mau selesai, saat ujian akhir, saya diuji oleh seorang profesor ahli agama. Saya ditanya: “Ko bisa baca Alquran?” Saya bilang tidak bisa! Profesor ahli agama bingung dan tanya lagi: “Sudah mau selesai dari STAIN, kok tidak bisa baca Alquran?” Saya bilang saja: Saya seorang mualaf, Pak. Baru masuk Islam. Pak profesor tersenyum dan kelihatan senang. “Wah, bagus kalau begitu. Saya kasih kau nilai A.”
“Tapi apa Bapak memang tidak bisa baca Alquran, kah?”
“Ah, saya bisa, Pak. Itu cuma siasat tipu-tipu saja, Pak. Karena kalau saya bilang bisa, saya akan diminta baca Alquran. Dan, ini yang berat, setelah baca Alquran saya pasti ditanya-tanya pengetahuan lain terkait Alquran seperti ilmu tafsir, sejarah turun ayat-ayat, dan lain-lain. Jadi panjang urusan, to? Kasihan saya. Profesor ahli ilmu agama yang saya hadapi ini, Pak. Jadi saya pakai siasat kasih tunduk Profesor.”
“Sejak itu saya dipanggil Mualaf. Jadi, nama lengkap saya Abdurrahman Mualaf Patiran SAg,”
“Bukan main. Mestinya kasih satu gelar lagi, AsN. Ahli Siasat Ngeles. Su berapa lama jadi Kepala Kampung Purwahab?”
“Tiga tahun, Pak. Su tiga kali ulang tahun Kampung.”
“Tanggal berapa ulang tahun Kampung?”
“Sama persis dengan ulang tahun sa pu maitua.”
“Wah, kebetulan kapa?”
“Tidak. Itu memang saya yang atur. Saya pernah dipanggil Pak Kepala Distrik. Dorang ada tanya-tanya alasan saya buat HUT itu sama. Saya bilang ke Pak Distrik: setuju tidak setuju, barang itu su jadi. Su tiga kali ulang tahun Kampung dibuat pada hari sama dengan sa pu maitua tercinta. Jadi, salahkah saya menunjukkan cinta pada Kampung yang saya pimpin, seperti saya mencintai istri saya?”
“Subhanallah. Semangat pengabdian kepada kampung dengan aroma kegenitan yang mulus.”
“Mari hisap Mahituninya, Pak,” pak Abdurrahman menyodorkan tembakau Fakfak dan Pandoki (daun Nipah).
Indonesia ikut Piala Dunia jugakah?
Putaran Piala Dunia 2018 di Rusia kemarin baru berjalan. Beberapa pertandingan sudah digelar, dengan beberapa kejutan. Dan orang Papua bisa membuat perebutan piala Jules Rimet itu, paling berbeda karena kemeriahannya.
Di sebuah beranda di Kota Sorong, bersama beberapa teman dari Nabire, Manokwari Selatan, Fakfak, Lani Jaya, Distrik Makbon Sorong, dan lainnya kami terlibat perbincangan “panas.” Ada pendukung Jerman, Brasil, Prancis, dan Belanda yang serba salah karena tidak lolos kualifikasi. Tidak mungkin perbincangan model begini di Papua tanpa gelak tawa.
Pendukung Jerman: “Brasil curang! Dorang pu pemain itu pakai nama gabungan Malaikat dan Tuhan: Gabriel Jesus. Siapa berani berhadapan tekel laki-laki dorang? Wasit berani hukum pace kase kartu? Mo kualat kapa? FIFA seng benar buat aturan, ini. Mustinya pemain dengan nama begitu tidak bole main. Atau pace diminta ganti nama dolo.”
Pendukung Brasil: “Masuk neraka paling bawah, mo ko? Ko pikir tim-tim dari Arab dan Afrika tra ada nama-nama seperti Mohammad?”
Pendukung Belanda: “Sa sebenarnya dukung mati Holland. Tapi Holland tra masuk Piala Dunia kali ini. Sa dukung Prancis sudah!”
Pendukung Argentina: “Kenapa ko pindah Prancis?”
Pendukung Belanda: “Dorang pu warna bendera sama, to? Tiga warna: merah, biru, putih.”
Urusan bendera timnas yang didukung ini, mungkin hanya di beberapa tempat di Papua, yang betul-betul fenomenal.
Sepertinya memang orang Papua yang paling siap dan paling bergairah dalam menyambut Piala Dunia. Masyarakat lain malu-malu atau, kalau istilah politisnya berada di wilayah abu-abu, untuk tak menyebutnya oportunis. Apalagi para penjudi yang mikirnya hanya menang taruhan.
Para pendukung sebuah timnas Piala Dunia mengibarkan bendera timnas di muka rumah, atau bahkan di atas pohon tertinggi di halaman rumah. Sebuah kawasan jadi betul-betul seperti kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan bendera negara-negara anggotanya. Yang ketiban untung adalah para penjahit karena mendapat banyak order membuat bendera. Tapi di sini jugalah masalah itu terjadi.
Seorang anggota polisi yang diminta komandannya untuk membuat bendera Merah Putih yang baru, pergi ke seorang tukang jahit memesan dibuatkan bendera Merah Putih.
Tukang jahit: “Jadi Indonesia ikut Piala Dunia juga, kaka?”
Polisi: “Ko menghina, ya?” Plak. Plok, tukang jahit kena tampiling.
Piala Dunia 2018 berjalan dengan sejumlah kejutan. Beberapa timnas non unggulan ternyata menunjukkan permainan solid dan rapih dengan serangan-serangan balik berbahaya, katimbang timnas-timnas unggulan.
Argentina yang bertabur bintang tapi mempunyai pelatih selevel KW 5, ditahan imbang timnas pasukan Thor dan Odin, Islandia, dan lalu dikalahkan Kroasia 3-0! Meksiko menjungkalkan sang juara dunia Der Panzer, 1-0. Brasil susah payah dan penuh drama untuk bisa mengungguli Kosta Rika.
Ketika Jerman melawan Swedia dan gawang Der Panzer dibobol Swedia di babak pertama, seorang teman (jelas bukan pendukung Jerman) di grup medsos Papua berkomentar: “Panser Jerman rante talapas. Kurang oli, kapa?”
Ketika gawang Jerman dibobol Swedia, seorang teman Papua langsung mengaplod foto seorang perempuan suporter Jerman yang sedang berurai air mata dengan gambar bendera Jerman di pipinya. Keterangan foto yang penting: “Adik, jan ko manangis sayang. Nanti sabantar kaka akan menang. Kaka akan mangamuk, adik! Ko duduk bae-bae sudah!”
Tiba-tiba pak Domy, penyuluh kesehatan dan HIV/AIDS yang baru selesai memfasilitasi diskusi kelas, ikut nimbrung di obrolan beranda itu. Dia langsung mensleding fokes perbincangan lintas negara itu.
“Mace orang Manokwari dorang punya istilah bagus. Dorang bilang celana pendek, jadi celana dekat. Celana panjang dong bilang celana jauh. Jantung dorang bilang pusat kehidupan. Lalu dorang ada tanya apa itu free sex. Sa bilang itu disingkat BNS, Baku Naik Sambarang.”
Pesan moral buat para linguistik, bijaksanalah.