Dalam kesedihan yang menyundul awan gemawan dikarenakan tak dapat dolan ke perayaan ulang tahun ke-2 Mojok di Malang, saya membuka-buka buku primbon. Salah satu alasannya: Saya sedang mencari hari baik demi cabang warung makan saya yang, dikarenakan masih dalam masa babat alas, sesungguhnya belum akan buka waktu dekat ini.
Barangkali karena tak tega (atau bisa pula tak jenak) melihat saya bermuka masygul, istri saya bertanya penyebabnya. Saya menjawab, warung makan belum bisa ditinggal-tinggal, maka jarak antara Salatiga – Malang seperti Jakarta – New York: Begitu jauh. Lalu ketika saya mingkem, istri saya langsung menyahut: Daripada gundah kenapa saya tidak membuat tulisan sebagai kado ulang tahun Mojok saja?
“Nggak punya ide,” jawab saya.
“Primbon di tanganmu bisa jadi ide,” usulnya.
Cemerlang! Batin saya. Dan untuk kesekian kalinya, saya merasa beruntung menjadi suaminya. Kegagalan saya menikahi Ladya Cheryl pun makin tak bermakna.
Saya pun mulai menulis.
Mojok lahir pada tanggal 28 Agustus 2014. Kalau dalam penanggalan Jawa, itu hari Kamis pasaran Wage.
Menurut primbon yang saya baca, bocah yang lahir di hari Kamis Wage memiliki watak banter budine, saguh ing gawe, kuwat sabarang pakewuh, dan yen wadon pikire ora lilan. Dalam pemahaman saya yang sekalipun orang Jawa tapi, jujur saja, tak akrab dengan sastra Jawa, banter budine barangkali bisa bermaksud “baik budinya”.
Mojok dengan tagline ‘sedikit nakal banyak akal’, di artikel-artikel yang diturunkannya getol mengritisi pemerintah, kabar hoax, bahkan pemikiran yang bagi publik dianggap lazim. Kritik tentu saja berbeda dengan fitnah. Kritik memiliki dasar, sedangkan fitnah mengada-ada.
Dan kritik, segalak apa pun, saya rasa termasuk budi baik. Entah bagaimana kalau menurut orang-orang yang berkepala fasis.
Budi baik lain yang dilakukan Mojok adalah dengan membuka pintu yang lebarnya sama kepada naskah siapa pun. Entah itu penulis ternama mau pun penulis pemula. Dan, jangan lupa, bahasa serta sudut pandang tulisan-tulisan di Mojok yang kerap jenaka bakal membuat para pembacanya tertawa. Membuat orang tertawa pastinya dekat dengan pintu pahala.
“Rajin bekerja” mungkin merupakan terjemahan untuk saguh ing gawe.
Penurunan satu tulisan saban harinya merupakan satu penanda bahwa Mojok telah bekerja keras. Bahkan konon, sampai lewat tengah malam, di saat saya sedang memimpikan tahu campur saus mayones, organ-organ tubuh Mojok (dalam hal ini para redakturnya) masih terjaga demi menyanggong naskah.
Kuwat sabarang pakewuh atau tak punya rasa sungkan rasanya berhubungan dengan tafsir saya terhadap watak yang pertama tadi. Siapa pun, entah itu Pasha ‘Ungu’, Ridwan Kamil, Ahok, Ryamizard Ryacudu, Luhut Panjaitan, Jokowi, Erdogan, Mike Tramp eh Donald Trump, Tempo, Jonru, Felix Siauw, atau Tere Liye, bakal kena sentil sepanjang pantas disentil.
Kalau yang terakhir, yakni yen wadon pikire ora lilan atau “kalau perempuan pikirannya tidak terimaan”, menurut saya sebaiknya kita lewati. Sebab saya tak tahu persis jenis kelamin Mojok. Sumpah, kami belum pernah mandi bareng sekali pun.
Hari Kamis memiliki neptu 8, sementara Wage 4. Kalau dijumlah, setahu saya sampai saat ini hasilnya masih sama, yakni 12. Jumlah neptu 12 kata primbon, berwatak kurang panarima ing titah, akeh pangarahe, kasmaran ing kasinggihan (dhemen kaluharan), gampang golek sandhang pangan, sring kelangan, tetepunganne kurang manis.
“Sulit diperintah” barangkali adalah maksud kurang panarima ing titah.
Setahu saya Mojok tak punya hubungan dengan lembaga lain yang seperti hubungan antara Mister Rigen dengan Pak Ageng dalam kolom Umar Kayam di harian Kedaulatan Rakyat dulu; Basuki dengan Tarzan di panggung-panggung Srimulat; atau Gareng, Petruk, dan Bagong dengan Pandawa dalam pewayangan.
Jadi, siapa pula yang akan memberi perintah kepada Mojok?
Atau, taruh kata, trending topic adalah tuannya media daring. Mojok, sepengamatan saya, tak selalu menuruti trending. Memang ada saatnya Mojok menurunkan dua-tiga artikel yang sejalan dengan trending. Tapi ada pula masanya Mojok menyepi dari kebisingan trending. Tak usah jauh-jauh, tulisan-tulisan saya sendiri misalnya, hampir semua tak seturut dengan trending.
Kemudian akeh pangarahe alias “banyak keinginan”.
Mojok selain media daring yang membabat isu apa pun, juga memiliki lini penerbitan berupa Buku Mojok dan, belakangan, marketplace bernama Mojok Store. Bahkan konon Mojok juga bakal membangun stasiun televisi. Rasanya kita tinggal menunggu waktu Mojok membentuk grup band, kesebelasan sepakbola, atau bahkan partai politik untuk mewadahi kerja-kerja anak muda.
“Mengejar kementerengan” agaknya merupakan terjemahan dari kasmaran ing kasinggihan (dhemen kaluharan).
Ini menurut saya kurang pas. Sebab Mojok memberi tempat para penulis menye-menye, kurang kerjaan, beselera rendah, kuminis, liberal, kafir, antek Yahudi, dan sebagainya yang berkonotasi buruk. Pendek kata, Mojok menyediakan diri menjadi laknat. Laknat, tentu saja, sama sekali tak mentereng, bukan?
Bagian gampang golek sandhang pangan atau “lancar rejeki” sebaiknya kita lewati lagi. Karena sedang sibuk mendalami ilmu menggoreng tempe agar awet renyah (eh, ada yang tahu caranya?), mohon maaf saya belum sempat belajar ilmu menilik rekening bank. Kelak, kalau saya sudah bisa, pasti kalian saya kabari. Kalau perlu saya ajari.
Sring kelangan atau “sering kehilangan” mungkin sudah dialami Mojok dengan tidak nongolnya lagi penulis-penulis generasi awal seperti Arlian Buana, Arman Dhani, dan Nuran Wibisono karena ketentuan profesionalisme kerja mereka. Kelak, mungkin saja Mojok juga bakal kehilangan sebagian dari penulis generasi yang sekarang. Kemudian muncul yang baru lagi. Lalu kehilangan lagi. Muncul lagi. Kehilangan lagi. Dan seterusnya.
Namun, ini adalah kehilangan yang manis, saya rasa. Karena akan makin banyak penulis yang tulisannya jenaka dibaca dan perlu, yang pada akhirnya akan menyemarakkan dunia literasi kita.
“Kurang luwes bergaul” mungkin merupakan terjemahan tetepunganne kurang manis.
Jujur, saya kesulitan menilai hal ini. Sebab, di satu sisi Mojok memiliki kumpulan penggemar yang saban pagi, entah sambil ngopi atau berak, serentak mengecek tulisan terbaru di Mojok. Sementara di sisi lain juga memiliki barisan pencibir. Yang jelas, ini wajar. Sudah risiko. Kian tinggi tower dipanjat, kian semilir sekaligus kencang pula angin yang mendamprat, bukan?
Sesungguhnya dari weton masih ada beberapa dugaan watak yang bisa digelar di sini. Seperti berdasar sisa dari jumlah neptu hari dan pasaran yang dibagi 7, dibagi 8, serta dibagi 9. Ada pula yang berdasar tanggal dan bulan, wuku, perbintangan, huruf depan dan belakang nama, letak tahi lalat dan toh (tanda lahir); bahkan berdasar luas dan ciutnya jidat, bentuk mata, mulut, hidung, telinga, gigi, dagu, dan sebagainya.
Tapi sebaiknya main-main soal dugaan watak kita sudahi di sini. Saya ogah kalian panggil “Ki” atau “Mbah”. Apalagi sampai kalian kirimi kembang dan kemenyan demi meminta nomor buntut yang ke luar esok hari. Wegah!
Akhir kata, selamat ulang tahun yang ke-2, Mojok! Jayalah selalu di udara dan serat optik!