Tanya
Halo, Admin Mojok. Saya numpang curhat ya. Mohon maaf kalau curhatan saya nggak bermutu, tapi saya berharap, semoga Admin Mojok yang baik hati bisa memberikan sedikit, atau malah banyak, saran yang bisa saya lakukan.
Jadi begini, Min. Saya ini kebetulan adalah orang yang, alhamdulillah punya kelebihan rejeki. Saya punya penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawan-kawan sepermainan saya.
Hal tersebut, sedikit banyak membikin saya agak jumawa. Di sisi yang lain, hal tersebut membuat saya menjadi semacam “Bank Perkreditan Rakyat” yang sering dimintai tolong untuk memberikan pinjaman jika ada kawan-kawan saya yang sedang butuh uang.
Nah, celakanya, perasaan jumawa saya ini membuat saya merasa sangat senang tiap kali ada yang pinjam uang, semacam ada validasi kalau saya ini mampu. Jadinya, kalau ada temen yang pinjam uang, saya hampir selalu menyanggupinya.
Awalnya hal ini tampak tidak akan bermasalah, sampai kemudian saya menyadari, ternyata banyak sekali uang saya yang dipinjam oleh kawan-kawan saya, dan sialnya, banyak yang belum kembali.
Kalau ditotal, mungkin ada lebih dari 20 juta rupiah. Jumlah yang kalau sampai istri saya tahu, niscaya ia bakal marah besar.
Tapi entah kenapa, walau saya tahu betul kondisi saya yang seperti itu, saya masih tetap nggak bisa menolak kalau ada kawan saya yang meminjam uang.
Saya merasa perlu untuk tetap mempertahankan kejumawaan saya. Saya merasa kawan-kawan saya perlu tahu kalau saya orang baik yang akan selalu siap memberikan mereka pinjaman.
Nah, menurut Admin, apa yang harus saya lakukan, ya? Barangkali ada saran untuk saya.
~Ipul, 30 tahun, Salatiga.
Jawab
Dear Ipul yang baik.
Begini. Manusia itu memang seringkali butuh pengakuan. Pengakuan tentang apa saja. Pengakuan kalau ia cerdas, cantik, tampan, berwibawa, bertalenta, kaya, dan sederet pengakuan-pengakuan lainnya.
Itu hal yang wajar dan “normal”.
Nah, dalam kasus Anda, Anda merasa perlu mendapat pengakuan dari kawan-kawan Anda bahwa Anda adalah sosok yang punya keuangan yang bagus.
Dan sekali lagi, itu normal.
Namun ada satu hal penting yang harus diingat, bahwa kebutuhan akan pengakuan ini harus selalu punya batas toleransi. Batas yang harus diperhatikan dengan seksama.
Kita harus sadar bahwa tidak semua pengakuan itu harus kita dapatkan.
Misal begini. Ada seorang stand-up komedian yang orang-orang menganggapnya lucu. Video-videonya saat perform banyak tersebar di sosial media. Itu seharusnya sudah cukup bagi dirinya. Ia tak perlu kemudian harus selalu melucu saat ngobrol dengan kawan-kawan atau keluarganya pas ada acara keluarga atau reunian, misalnya.
Kalau ia memaksakan dirinya harus selalu lucu bahkan saat ia sedang berbincang biasa, maka itu justru akan menjadi beban tersendiri baginya. Beban yang ia peroleh karena ia merasa butuh mengumpulkan semua pengakuan kalau ia lucu.
Begitu pula dengan Anda. Dengan Anda bisa meminjami beberapa kawan-kawan Anda uang, itu seharusnya itu sudah cukup. Anda tak perlu terus membuktikan “kekayaan” Anda. lagipula, ketika ada kawan-kawan Anda yang meminjam uang pada Anda, itu berarti sudah merupakan pengakuan bahwa Anda kaya. Kalau nggak kaya, nggak mungkin kawan-kawan Anda pinjam uang sama Anda.
Anda tak perlu merasa wajib untuk memvalidasi pengakuan tersebut dengan memberikan pinjaman. Kalau memang Anda merasa berat untuk meminjami uang, ya tak perlu dipaksakan.
Kecuali kalau memang sejak awal, Anda mengikhlaskan semua uang uang sudah Anda pinjamkan. Anda menganggapnya sebagai biaya yang harus Anda bayar sebagai “ongkos” perkawanan. Itu lain soal.
Pengakuan itu penting, tapi ketenangan batin itu jauh lebih penting.
Ini sekaligus menjadi pengingat, bahwa pada titik tertentu, Anda juga punya sisi “miskin”. Nggak usah sok merasa kaya sendiri. Ingat, di atas langit, masih ada langit. Di atas Ipul, masih ada Hotman Paris. Di atas Hotman Paris masih ada Luhut Panjaitan. Di atas Luhut Panjaitan masih ada… Eh, ada siapa lagi ya di atas Luhut? Ah, entahlah.
Lain kali, kalau ada kawan Anda yang meminjam uang, jangan takut untuk menolak. Katakan bahwa Anda sedang punya kebutuhan mendadak, misalnya, sehingga tidak ada uang yang bisa dipinjamkan. Yakinlah, itu tidak akan mengurangi kewibawaan dan rasa hormat kawan-kawan kepada Anda.
Jangan terus menerus memberikan pinjaman. Misal dari 10 orang yang meminjam uang, ya setidaknya 3-4 saja yang dipinjami, pilih yang Anda merasa paling penting untuk dipinjami. Justru kalau semua dipinjami, itu akan menjadi hal yang merepotkan untuk Anda, sebab kelak jumlah kawan yang akan meminjam uang itu akan semakin bertambah banyak sebab mereka mengira kalai meminjam uang kepada Anda, pasti nggak bakal tertolak.
Jangan ragu juga untuk menagih kawan-kawan Anda yang belum mengembalikan uang. Ingat, ini bukan hanya tentang Anda, tapi juga tentang kawan-kawan Anda. Kasihan, mereka juga punya hak untuk diingatkan agar kelak tidak disiksa di akherat karena sengaja tidak membayar hutangnya.
Kadang masalah itu datang bukan karena orang lain, tapi karena kita sendiri yang menciptakannya.
Begitu, Mas Ipul.
~Agus Mulyadi