MOJOK.CO – Minggu lalu Mojok membalas curhat tentang seseorang yang menjadi beban bagi orang tua. Kali ini tentang seseorang yang merasa dibebani orang tua.
CURHAT
Assalammualaikum, nama saya Siti umur 23 tahun jalan 24 hehe. Sekarang saya kerja sebagai buruh migran di Taiwan.
Saya bingung sebenernya gimana sih cara yang bener buat berbakti sama orang tua? Saya sudah coba untuk ngelakuin apa aja biar orang tua seneng. Tapi beliau salah terima terus, termasuk masalah hutang.
Apa bener, kalau hutang orang tua itu jadi tanggungan kita sebagai anak? Sedangkan saya sendiri nggak tau orang tua saya ngutang buat apa. Selama ini saya hidup sebisa mungkin nggak membebani beliau. Sebab, saya sadar beliau single parent. Justru saya yang harusnya jadi tumpuan untuk beliau.
Berat sih, namun saya coba untuk menerima. Tapi kok makin ke sini, saya makin ngerasa justru dijadiin sapi perah sama orang tua. Saya semakin nggak ngerasa di anggep sebagai anak. Sekalinya nanya kabar, pasti ujung-unjungnya minta duit. Beliau selalu ribet sama masalah hutangnya, sampai-sampai lupa kalau saya juga punya masa depan.
Sebenernya saya cuma pengin di ngertiin, supaya saya ngerasa masih punya tempat cerita kalau ada masalah. Tapi justru saya yang jadi tumpuan beliau, jadi tempat tumpah ruah masalah beliau. Saya jadi ngerasa menjadi orangtua untuk orang tua sendiri.
Boleh kasih pencerahannya, nggak? Bagaimana sebaiknya saya bersikap? Karna jujur, sampai sekarang saya masih kecewa sama beliau.
Terima kasih….
JAWAB
Hai Siti, karena minggu kemarin saya membalas curhat tentang seorang anak yang berkeluh kesah karena dianggap sebagai beban oleh orang tuanya, maka untuk minggu ini, saya memilih curhatanmu yang merasa terbebani oleh kondisi orang tua. Biar impas. Biar seimbang. Biar kita memahami, bahwa peran apapun sama-sama bisa menjadi beban bagi peran yang lain.
Sebenarnya, dari cerita singkatmu itu, kamu dan orang tua—meski saya tidak dapat memastikan, itu ayah atau ibu—sama-sama saling membutuhkan satu sama lain. Kalian sama-sama merasa sendirian. Sepertinya yang terkesan dari ceritamu, kamu pun anak satu-satunya. Maka tidak salah jika kamu pun ingin hubungan kalian bisa saling menopang.
Semakin dewasanya kamu—apalagi ketika sudah berani merantau ke luar negeri untuk mencari nafkah—kamu telah dianggap sebagai seorang anak yang sudah mampu dan cukup kuat untuk menjadi tumpuan bagi beliau.
Ngomong-ngomong, sejak kapan beliau bersikap yang hanya berfokus pada dirinya sendiri dan seperti mengabaikan bahwa kamu pun punya masa depan? Sejak menjadi orang tua tunggal kah? Atau sejak kamu pergi bekerja ke Taiwan? Sayang sekali, hal ini juga tidak kamu jelaskan. Padahal, ini bisa menjadi bahan untuk refleksi pada diri sendiri.
Begini Siti, terkadang sebagai anak, ada sebagian dari kita yang ingin dianggap dewasa, namun ada sebagian dari diri kita yang ingin tetap dianggap sebagai seorang anak. Namun, mungkin tidak semua orang tua memahami dengan baik hal tersebut. Ada kemungkinan orang tuamu itu adalah seseorang yang benar-benar menganggap kamu sudah mandiri dan dapat menyelesaikan tanggung jawabmu sendiri. Mungkin beliau tidak berpikir terlalu jauh karena fokus dengan permasalahannya.
Saya rasa yang dapat kamu lakukan saat ini dengan berusaha mengkomunikasikan apa yang kamu rasakan kepada beliau pelan-pelan. Bisa jadi, beliau merasa apa yang dilakukannya tidak meninggalkan masalah, karena kamu tidak pernah protes.
Kamu bisa memulainya dengan lebih sering menelponnya untuk menanyakan kabar dan keadaannya yang jauh darimu. Saya yakin, dengan kamu terbiasa untuk menanyakan kabarnya, beliau pun akan melakukan hal yang sama. Ntah setelah telepon untuk yang kesekian kali. Tapi memang harus dicoba dan dilakukan terus menerus.
Ketika kamu sudah sering melakukan pendekatan tersebut, ceritakan pada beliau pelan-pelan apa yang sebenarnya kamu rasakan. Minta beliau untuk tidak mencela. Berusahalah bercerita dengan sejujurnya meski ada kemungkinan akan terdengar menyakitkan baginya.
Yang terpenting, berceritalah dengan tetap menggunakan kata yang santun. Bagaimanapun beliau adalah orang tuamu. Semarah apapun perasaanmu, berusahalah tetap bersikap dengan lebih tenang dan dewasa.
Di akhir, setelah kamu lega. Katakan pada beliau, bahwa kamu sangat menyayanginya. Cerita panjang yang kamu katakan tadi, karena kamu ingin hubungan kalian semakin kuat dan membaik.
Dengan keterbukaanmu pada beliau, semoga beliau pun dapat benar-benar terbuka dengan masalah yang sedang membelitnya padamu. Yang saat ini hanya memunculkan praduga saja.
Oh ya, Siti. Kalau memang melalui telepon dirasa kurang mantap. Kamu bisa menggunakan video call. Namun perlu kamu pastikan, sinyal di seberang sana juga lancar. Supaya ngobrol jadi nyaman dan nggak ada salah paham.
Begitu, ya, Siti. Semoga berhasil….