Tanya
Dear, Mas Agus. Begini, Gus. Saya punya pacar, sebut saja namanya Yuni. Dia temen satu organisasi di kampus. Kami sudah pacaran sekitar dua tahun. Dia perempuan cerdas. Seorang penulis. Hanya butuh beberapa kali membaca tulisannya bagi saya untuk segera menyadari bahwa saya jatuh cinta kepadanya.
Dasar mujur, ternyata dia kok ya juga suka sama saya. Ya sudah. Jadiin lah.
Rencananya, setelah saya lulus (semoga tahun ini), kami akan langsung menikah. Kebetulan saya sudah punya pekerjaan sebagai pengelola sebuah toko online onderdil sepeda, jadi setelah lulus nanti, Insya Allah saya sudah punya bekal buat membangun keluarga bersama Yuni.
Nah, kegelisahan yang saya rasakan ini terkait dengan kebersamaan kami selama ini.
Begini, saya punya kawan sepermainan, Wawan namanya. Saya dan Wawan ini sejak sudah berteman sejak SMP. Dan sejak SMP pula kami menjadi fans tim sepakbola kota kami. Hampir setiap dua minggu sekali saya dan Wawan pasti menyempatkan diri untuk datang ke stadion untuk menonton tim kesayangan kami.
Nah, Wawan ini punya pacar, namanya Indri. Ketika melihat hubungan antara Wawan dan Indri, saya merasa ada semacam kecemburuan. Bukan cemburu dalam arti saya suka sama Indri lho ya. Tapi cemburu karena Wawan dan Indri dalam pandangan saya selayaknya pasangan yang benar-benar sevisi. Hal yang selama ini entah kenapa tak bisa saya temukan dalam hubungan antara saya dan Yuni walau saya yakin kami saling mencintai.
Wawan dan Indri, misalnya, sama-sama suka bola. Jadi kalau nonton bola ke stadion, Wawan selalu mengajak Indri. Rasanya bahagia sekali bisa menonton bola bersama kesayangan. Hal yang tentu saja tak bisa saya rasakan sebab Yuni tak suka bola.
Wawan dan Indri juga satu nafas dalam dunia yang mereka geluti saat ini: seni. Baik Wawan maupun Indri sama-sama aktif dalam sanggar seni. Wawan aktif sebagai salah satu penulis naskah drama, sedangan Indri adalah pemainnya.
Nggak cukup di situ, dalam dunia bisnis pun, keduanya selaras. Sejauh yang saya tahu, mereka membikin semacam usaha bersama di bidang cetak offset, Kebetulan keduanya sama-sama bisa mendesain. Wawan ngelayout sedangkan Indri lebih dekat ke ilustrasi.
Rasanya enak betul melihat dua orang ini.
Nah, kecemburuan itu entah kenapa semakin membesar seiring dengan makin dekatnya tanggal pernikahan saya dan Yuni.
Saya ingin sekali bilang sama Yuni agar dia mau mencoba untuk menyukai sepakbola, atau setidaknya mencoba menyukai dunia sepeda agar bisa dekat dengan pekerjaan saya. Namun saya masih bingung bagaimana cara memulainya.
Barangkali Sampeyan ada saran, Gus.
~Indra.
Jawab
Dear, Indra.
Langsung saja, ya. Saya nggak ingin berbasa-basi dengan curhatanmu ini.
Kamu bisa mendapatkan perempuan yang mau sama kamu saja itu sudah sangat beruntung. Nggak banyak lelaki yang bisa mendapatkan perempuan yang, setidaknya menurutmu, cerdas kayak Yuni. Jadi, kamu nggak perlu mencemburui hubungan “indah” antara kawanmu Wawan dengan Indri.
Kamu juga nggak punya hak untuk meminta Yuni agar menyukai sepakbola atau sepeda. Memangnya kamu ini siapa? Kamu itu secakep apa? Setajir apa? Sesaleh apa? Kok sampai berani-beraninya mengatur perempuan agar menyukai hal yang juga kamu sukai.
Begini. Sepasang kekasih itu nggak harus selalu punya selera yang sama. Justru adanya perbedaan itu menjadi bumbu yang bagus dalam hubungan. Apalagi kalau hubungannya level pernikahan.
Pernikahan seharusnya bisa menjadi ajang untuk saling membebaskan pasangan menyukai apa yang ingin diraih oleh pasangan. Bukannya malah saling memaksakan. Jangan egois. Bayangkan, Yuni nggak suka bola, trus kamu mengajaknya nonton bola. Betapa dia akan bosan dan tersiksa selama berada di stadion karena ia tak bisa menikmati apa pun. Apa ya kamu tega?
Wawan dan Indri boleh jadi memang punya beberapa kesamaan, namun saya yakin, ada titik-titik yang lain di mana mereka berdua punya perbedaan. Cuma kebetulan yang kamu lihat adalah yang melulu sama saja.
Jangan pernah mengatur selera kekasihmu. Kamu tidak berhak.
Biarkan perbedaan itu tetap ada dalam hubungan kalian. Justru dengan itulah kalian bisa belajar untuk mengatur toleransi, mengatur waktu, juga mengatur perasaan.
Ingat, kamu bukan siapa-siapanya Yuni. Kamu cuma pacar yang sebentar lagi menjadi suaminya. Tidak lebih. Camkan itu.
Kalau kamu ingin menikah dengan seseorang yang suka bola, suka nonton di stadion, suka sepeda dan menguasai banyak hal tentangnya, nggak usah nikah sama Yuni. Nikah saja sama dirimu sendiri. Nanti pas ijab kabul, biar kamu duduk sebelahan sama ari-arimu sendiri.
Ah, bedebah. Emosi sendiri saya jadinya.
~Agus Mulyadi