MOJOK.CO – Seorang perempuan yang telah bekerja bercerita tentang pengalamannya harus menghidupi pacar yang belum berpenghasilan dan masih kuliah.
TANYA
Hai Mojok….
Saya Ratih, seorang wanita berusia 25 tahun dan saya sudah bekerja di salah satu perusahaan swasta di Yogyakarta, sama toh dengan kantor Mojok. Hehehe.
Begini Mylov, saya mengalami kerisauan kurang lebih satu bulan ini dan saya tidak tahu bercerita dengan siapa. Pasalnya, ini menyangkut nama baik orang yang saya cintai, yaitu pacar saya. Pacar saya ini masih kuliah usianya 24 tahun, dari awal saya memutuskan untuk menjalin hubungan dengan dia, saya sadar betul bagaimana kondisi dia. Ya, anak kuliahan yang uangnya sangat pas-pasan.
Sebetulnya saya tidak berharap banyak ketika pacaran sama dia. Semisal dikirimin bukti screenshoot transferan dengan kata-kata, “Sayang barusan aku transfer, shopping dulu, gih.”
Oh, nggak. Saya cukup tahu diri dan nggak berani berekspektasi setinggi itu. Ekspektasi saya cukup, pulang kerja dia menjemput saya. Lalu kami makan nasi goreng di Kota Baru sambil berbagi cerita dan bercanda ria tentang apa yang terjadi hari itu.
Tapi, berjalannya waktu nampaknya ekspektasi saya itu juga terlalu tinggi. Nyatanya memang ketika pulang kerja saya dijemput dan diajak makan, namun saya yang bayar. Sebenernya saya nggak masalah jika perempuan juga membayar makan atau jalan. Tapi ya nggak tiap hari.
Bulan ini sudah 3 bulan saya menjalani hubungan dengannya. Tiga bulan ini juga nyaris saya yang menghidupi dia. Kenapa saya bilang menghidupi, karena dari uang makan, sabun mandinya, utang dia ke temenny, bahkan kekurangan bayar kuliah, saya yang bayar. Bilangnya sih minjem, tapi dari dalam lubuk hati ini nggak yakin bakal dibalikin.
Begini Mojok andalan que, saya sebenernya sudah berkomitmen akan menemani dia berproses dan menemani dia menapaki anak tangga satu persatu mencapai kesuksesan bersama sama. Tapi baru saja, saya diutangi (lagi) buat bayar cicilan hapenya.
Nggak imbang rasanya kalau saya hanya menceritakan hal yang kurang baik dari dia. Toh setiap manusia pasti ada bagusnya. Yang membuat saya bimbang, salah satunya adalah saya merasa begitu dicintai olehnya. Hal ini saya rasakan betul-betul sampai ke dalam hati saja. Bagaimana cara dia memerlakukan saya, berkata, dan baru ini saya merasakan bahwa kehadiran saya begitu diharapkan oleh seseorang.
Jadi, Mojok, apakah salah hubungan seperti ini? Apakah saya harus tetap bersabar dan semangat menemani dia terus berproses? Ataukah selama ini justru saya sudah dibutakan oleh yang namanya cinta? Inilah kerisauan terbesar saya, kiranya ada masukan untuk kaum risau seperti saya.
Terimakasih, Mylov. Salam.
JAWAB
Hai, Ratih yang sedang dalam usia—yang disebut-sebut sebagai—quarter life crisis. Pertama, saya ucapkan selamat karena kamu mampu menjadi seorang perempuan yang tangguh dan mandiri. Tentu tidak banyak perempuan yang sanggup menjadi sepertimu.
Yang jamak ada, justru kaum perempuan yang, “Capek kerja/kuliah dan penginnya nikah aja.”
Maka saya kagum dengan kamu yang cukup kuat dalam proses yang tidak mudah tersebut. Tidak menyerah. Sanggup menghidupi pacar dan merasa bertanggung jawab terhadap hidup seseorang, di masa-masa—baru mendapatkan penghasilan—yang sebetulnya kita sedang ingin egois dan fokus dengan diri sendiri.
Terkadang sebuah hubungan asmara memang tidak dapat diduga. Kita tentu selalu menginginkan seseorang yang sempurna untuk mendampingi kita. Namun pada kenyataannya, memang tidak semudah itu, Ferguso. Kita sering harus dihadapkan dengan hal-hal yang tidak pernah kita perkirakan sebelumnya. Seperti yang kamu alami misalnya…
…bertemu, jatuh cinta, dan berkomitmen sebagai pasangan dengan seseorang yang dapat dikatakan belum mapan secara ekonomi. Lantas dia—entah terpaksa atau justru memilih—menggantungkan hidupnya kepadamu yang sudah lebih mapan terlebih dulu.
Namun dari ceritamu tersebut, ada kesimpulan kasar dan singkat saya tentang si Mas Pacar ini, Meski selama ini kamu harus mencukupi kebutuhannya, tetapi saya kira dia bukanlah seseorang yang terlalu buruk amat. Seperti tipe laki-laki yang memilih bersamamu hanya untuk memanfaatkanmu saja.
Toh kamu juga mengakui bahsa sangat mencintainya dan tidak pernah merasakan perasaan tersebut sebelumnya. Sikapnya yang menyenangkan pun berhasil membuatmu mabuk omongan gombal asmara.
Meski begitu, kamu masih merasa ada sesuatu yang mengganjal mengenai sikapnya yang seakan hanya memanfaatkanmu saja dengan dalih sebagai kekasih. Jika kamu memang menginginkan hubunganmu tetap dapat berjalan dengan baik, sebaiknya ganjalan tentang keuangan ini harus segera diselesaikan.
Maka, hal pertama yang cukup penting untuk menyelesaikan hal ini adalah: membicarakan perihal keuangan dengan serius.
Mungkin kamu merasa tidak perlu membicarakannya, karena menganggap topik ini sebagai hal tabu untuk dibicarakan. Namun, tidak dapat dimungkiri, jika hal sensitif ini tidak berusaha dibicarakan dengan baik, dia justru dapat menjadi bumerang bagi hubungan kalian. Ataupun menjadi bom waktu jika terus menerus ditahan untuk dibicarakan.
Ratih, jika kamu merasa sikapnya yang terlalu menggantungkan kebutuhan hidupnya kepadamu itu mengganjal di hati, tak perlu ragu membicarakan mengenai hal ini. Tentang apa yang kamu rencanakan di masa depan dengan pendapatan bulananmu. Sebaliknya, meminta dia untuk bercerita tentang kondisi keuangannya saat ini dan apa yang sedang dia rencanakan dengan kehidupannya.
Mungkin kamu memiliki ketakutan jika dianggap sebagai seorang pasangan yang: pelit, terlalu itungan, dan nggak ikhlas dengan apa yang telah kamu beri untuknya.
Jika itu terjadi, tidak masalah. Terima saja anggapan tersebut. Kalau memang dia tersinggung, tidak perlu merasa bersalah. Justru dengan ini kamu memahami, bahwa dia masih belum cukup dewasa dan tidak berniat untuk merencanakan apapun mengenai masa depannya. Kalau diajak membahas tentang masa depan saja dia tersinggung, apakah kamu tetap rela bertahan dengan seorang lelaki yang mentalnya masih kekanak-kanakan nggak niat diajak serius?
Itu menurut saya loh. Kalau kamu memang punya kesimpulan berbeda, ya tidak masalah.
Sebaliknya, jika memang dia tidak berniat ‘hanya memanfaatkanmu’, tentu dia bakal mau diajak bekerja sama untuk membicarakan tentang perencanaan keuangan ini. Meski saat ini, dia memang masih belum memiliki penghasilan dan kondisi keuangan masih awut-awutan.
Ratih, bukan cinta namanya jika dia tidak buta. Jadi, kamu tidak perlu menyalahkan diri sendiri dan menyesal karena telah mencintainya bahkan tidak sanggup untuk melepasnya. Yang terpenting, berusahalah untuk mengkomunikasikan tentang apa yang mengganjal, terpendam, dan belum mampu dilampiaskan. Karena…
…yang namanya cinta harusnya membawa energi positif bagi hidup kita. Harusnya energinya dapat menjaga kewarasan kita. Bukan mengungkung dan membuat kita tersiksa.
Ratih, bertahan dengannya bukan berarti kamu diam saja. Bertahan pun tetap harus diikuti dengan keberanian-keberanian dalam setiap prosesnya. Semangat untuk membuka pembicaraan demi masa depan!