Tujuh Agustus, Rambat mengawali harinya dengan suka-cita, maklum, tujuh Agustus adalah hari ulang tahunnya yang ke 40. Bagi Rambat, 40 adalah usia yang sangat penting dan istimewa. Ia selalu percaya dengan frasa “Life begins at 40”, hidup baru dimulai di usia 40.
Di usia yang sudah kepala empat itu tersebut, Rambat boleh dibilang sudah sangat moncer secara karir. Betapa tidak, ia sekarang menduduki jabatan direktur utama di salah satu perusahaan produsen vitamin ayam petelur di Salatiga.
Di hari spesialnya itu, Rambat berusaha bangun pagi dan kemudian langsung mandi membersihkan diri. Ia sengaja mandi agak lama, sebab ia berharap, begitu ia keluar dari kamar mandi, Aryani istrinya sudah menyambutnya dengan ucapan selamat ulang tahun dan kue tart dengan lilin berbentuk angka 40.
Namun ternyata, harapannya semu belaka. Begitu ia keluar, jangankan kue tart, istrinya bahkan blas tidak memberikan ucapan selamat dan bersikap datar seperti hari-hari biasa, begitupun dengan Bagas dan Ratih, kedua anaknya.
“Ternyata istri dan anak-anakku lupa dengan hari ulang tahunku,” ratapnya.
Setelah sarapan, Rambat pun segera berangkat ke kantor dengan wajah yang kecewa dan langkah yang malas.
Sampai di teras, Burhan si sopir sudah langsung sigap membawakan tas Rambat. Dalam hati, rambat berharap juga bahwa Burhan akan mengucapkan selamat ulang tahun padanya, namun tentu saja itu mustahil, sebab sopir pribadinya itu bahkan tak pernah tahu tanggal berapa Rambat lahir.
“Langsung ke kantor, Pak?” kata Burhan.
“Iya, langsung.” Jawab Rambat tiada bersemangat.
Di Kantor, semangat Rambat sedikit naik, sebab ia berharap anak buahnya akan ingat bahwa ini hari ulang tahunnya dan akan mengucapkan selamat ulang tahun.
Tapi dasar mujur tak dapat diraih. Anak buah Rambat pun agaknya juga tak mengetahui bahwa hari itu adalah ulang tahun direktur mereka, sehingga begitu bertemu Rambat, mereka pun bersikap biasa, sekadar mengucapkan salam “selamat pagi, Pak Rambat!” tidak lebih.
“Ya Tuhan, bahkan anak buahku pun tak ada yang ingat ulang tahunku,” ratapnya kembali.
Rambat masuk ke ruang kerjanya dengan wajah yang tak jauh berbeda dengan wajahnya sesaat setelah sarapan. Wajah-wajah penuh kecewa.
Di ruang kerjanya, sudah ada Dewi sekretarisnya yang nampak sibuk merapikan dan manyusun berkas-berkas yang harus ditandatangani oleh Rambat.
“Selamat pagi, Pak. Selamat ulang tahun, semoga panjang umur dan sehat selalu,” sapanya manis.
Demi mendengar ucapan selamat dari Dewi, hati Rambat pun mengembang, semangatnya membuncah. “Akhirnya ada juga yang ingat dengan ulang tahunku” batinnya.
“Lho, darimana kamu tahu kalau hari ini aku ulang tahun?” kata Rambat penasaran.
“Saya kan yang mengurusi seluruh berkas bapak, terutama berkas seputar pengajuan proyek yang di dalamnya ada profil bapak, dari mulai tanggal lahir, pendidikan, sampai alamat lengkap, saya tahu semuanya.” Jawab Dewi.
“Wah, nggak salah saya pilih sekretaris,” kata Rambat bungah.
Hari itu, jam-jam kerja menjadi lebih baik bagi Rambat gara-gara ucapan selamat ulang tahun dari Dewi di pagi hari.
Siangnya, ketika jam pulang kantor, Rambat dicegat oleh Dewi di lobi depan. “Pak, tunggu sebentar,” ujarnya.
“Ada apa, Dewi?”
“Pak, hari ini kan ulang tahun bapak yang ke 40, bagaimana kalau kita merayakannya?”
“Merayakan ulang tahun saya? Mau dirayakan di mana?”
“Kalau di apartemen saya, bagaimana?”
Pikiran jorok Rambat tiba-tiba bangkit. Melihat Dewi sekretarisnya yang masih muda dan semledot itu, susah bagi Rambat untuk menolak tawaran yang menggiurkan itu.
“Boleh saja, kenapa tidak!” jawab Rambat mantap.
Mereka berdua kemudian pulang bersama naik mobil Rambat menuju apartemen Dewi yang hanya berjarak beberapa blok dari kantor. Sepanjang perjalanan, otak Rambat terus berpikir yang tidak-tidak.
Sampai di apartemen, keduanya langsung masuk, Dewi mengunci pintu apartemennya dan langsung menghidupkan lampu dan AC. Dewi menatap genit kepada atasannya itu. Tatapan yang membuat pikiran Rambat semakin liar dan tak terkendali. Hawa panas menyebar ke seluruh ruangan kendati AC sudah menyala.
Rambat duduk di sofa, sedangkan Dewi melepas sepatu dan menaruh barang-barangnya di meja tak jauh dari tempat Rambat duduk.
“Pak, di hari ulang tahun bapak ini, saya sudah menyiapkan sesuatu yang spesial untuk bapak,” ujar Dewi disertai senyum yang begitu manis dan menggoda. Bibirnya yang merah merekah itu terlihat seperti tantangan terbuka bagi Rambat.
“Aku memang sudah menantikan hal itu.” jawab Rambat singkat.
“Baiklah, kalau begitu, tunggu sebentar, Pak. Saya ke kamar mandi dulu, tolong bersabar,”
“Tentu, sekretarisku yang manis.” kata Rambat mulai berani menggoda.
Dewi segera menuju ke kamar mandi.
Tak berselang lama, sekitar lima menit, Dewi pun keluar dari kamar mandi, dan di belakangnya, sudah ada Aryani istri rambat, juga Bagas dan Ratih, kedua anak Rambat. Aryani memegang kue tart sedangkan bagas dan Ratih masing-masing memegang kertas karton bertuliskan ‘Selamat ulang tahun, Ayah kesayangan’.
“Surpreeeessss…” teriak mereka berempat kompak.
Rambat hanya bisa duduk terpaku di sofa, telanjang, tanpa sehelai benang.