“Wah, kelihatannya enak ya, Ndot, kalau bisa poligami, punya istri dua,” kata Mario kepada Bendot, sahabat akrabnya.
“Enak gundulmu, itu cuma kelihatannya, aslinya ya ndak enak-enak banget,” jawab si Bendot.
Sudah semingguan ini, Mario memang mempunyai ketertarikan khusus di bidang poligami, maklum, gara-gara menonton acara gosip di tivi yang menampilkan berita soal salah seorang ustaz yang punya istri dua, Mario jadi kepikiran dan kebayang-bayang, bagaimana rasanya bisa punya istri dua. Di manapun Mario dan Bendot nongkrong, bahasan yang dibahas selalu saja bermuara kepada perihal poligami. Tak terkecuali sore ini, saat keduanya nongkrong di warung kopi Mbah Sastro, salah satu warung kopi paling ramai di kampung Syalala.
“Lha nggak enak gimana lho?” Tanya Mario. “Lha wong istri dua, bisa punya alternatif, persis kalau kamu punya motor dua, pas yang satu macet, kamu masih bisa pakai yang satunya, bisa buat serep, gitu lho.” Lanjutnya sembari menyerutup kopi dengan serutupan yang sangat metodis.
“Istri kok mbok samakan sama motor, lha yo beda, Mar, beda jauh. Poligami itu, kelihatannya saja enak, tapi aslinya ya belum tentu. Sawang-sinawang. Kadang enaknya itu sekadar kepalsuan, persis kaya namamu itu, Maryono, tapi mintanya dipanggil Mario”
“Weee, e, e, eeee, jan kalian berdua ini kok ya elok pol, sore-sore, gerimis kecil, nongkrong, ngopi, ngudut, ealah yang dibahas kok ya poligami,” kata Mbah Sastro yang tiba-tiba sudah nyruntul di kursi panjang untuk bergabung di klub diskusi poligami.
“Ini lho, Mbah. Si Mario ini, kelihatannya ngebet banget pengin poligami, ha sudah seminggu ini, yang diomongin poligamiiiiiiiii melulu,” ujar Bendot kepada si empunya warung.
“Bener, Mar? Kamu pengin poligami?” Tanya Mbah Sastro kepada Mario.
“Ya, kalau diijinkan ya, mau mau saja, lha wong enak kok ndak mau.”
“Weh, elok tenan, yakin berani? Yakin enak?”
“Lha poligami itu kan memang enak, tho, Mbah?”
“Yo tergantung,”
“Tergantung bagaimana, Mbah?”
“Yo tergantung mampu apa tidak, tergantung kondisinya mendukung apa tidak, tergantung istri pertamanya rela apa tidak, dan masih banyak tergantung-tergantung yang lainnya.”
Obrolan mengerucut kepada Mbah Sastro dan Mario, Bendot hanya bisa mendengarkan dengan seksama, sambil menyeruput kopinya yang sebenarnya sudah tinggal ampas-ampasnya itu, dan sesekali menggasak bakwan jagung anget di atas meja warung yang terlihat masih cukup kemebul sebab baru saja turun dari penggorengan.
“Halah, kayak sampeyan ini pernah poligami saja, Mbah.”
“Weeeee, aku ini memang belum pernah poligami, tapi kawan-kawan satu liting-ku kan banyak yang poligami, jadi aku tahu sedikit banyak, bagaimana nasib rumah tangga mereka,”
“Memangnya siapa saja, Mbah? Dan bagaimana nasib rumah tangga mereka?”
“Lha itu, Si Mbah Darmo Betet, istrinya tiga, tapi ya dasar wong gedhe, jadi ketiga istrinya ya ayem-ayem saja, sebab ketiganya dapat pasokan sembako dan uang jatah yang yang mencukupi. Nah, kemudian ada Yanto Kewer, yang mantan tukang antar surat pos itu, dia juga poligami, tapi dulu nikahnya diam-diam, si Girah, istri pertamanya ndak ngerti, kondisi tersebut bertahan cuma dua tahun, begitu Girah tahu, dia langsung ngamuk-ngamuk ndak karuan, mbantingi piring, gelas, dan segala rupa, wong waktu itu aku yang ikut mengamankan radionya si Yanto biar ndak ikut dibanting.”
“Wah, ada lagi, Mbah?” Tanya Mario penasaran
“Lha yo ada, itu, Hasto, mantan carik itu, dulu dia juga poligami. Kalau Hasto itu parah setengah modar. Dia nikah lagi karena kebacut khilaf ngisi perut anak orang, jadinya ya poligaminya agak terpaksa. Untung istri pertamanya ikhlas, nriman, jadi ya kedua istrinya bisa akur.”
“Lalu, siapa lagi, Mbah?”
“Sek, sek, tak ingat-ingat lagi. Oh ya, ingat aku. Si Parjono, mantan pak bon SD Inpres Sonosewu itu. Dia poligami. Istrinya dua, sama-sama dari desa. Rumah tangga mereka itu kelihatannya akur, tapi sebenarnya banyak gelut, soalnya kedua istrinya itu sama-sama menangan, ndak mau kalah, jadi kalau yang satu dibelikan rujak, misalnya, yang satunya ndak mau kalah, harus juga dibelikan barang atau apapun itu, yang penting harganya minimal setara dengan rujak yang dibelikan kepada istri lainnya. Lak yo repot. Kalau cuma padu, udur-uduran, rebutan jatah duit, itu ndak cuma sekali dua kali, tapi hampir setiap minggu.”
“Wah, kok ngeri juga ya,”
“Lha iya, mangkanya itu. Nah, yang paling parah itu, Gendon paklinya lurah Kemi itu. Dia poligami, istrinya tiga. Dasar wong sugih, rumah tangganya ayem-ayem saja, anyes. Tapi kemudian, anak-anaknya mulai bikin perkara. Istri tiga, anaknya tujuh, semuanya minta jatah warisan semua. Lak yo bodhol bakule slondok. Sekarang kamu tahu sendiri, Gendon stroke, sudah itu kere, ndak bisa ngapa-ngapain, istrinya juga cuma tinggal satu, Kamirah itu thok.”
“Tu, Mar. Dengerin. Ndak semua poligami itu enak, rumangsamu,” Kata Bendot yang masuk lagi ke lantai dansa pembicaraan.
“Bener, itu. Poligami itu ndak semuanya enak, jadi jangan berani-berani poligami, kalau memang ndak mampu”
“Lho, tapi aku merasa mampu, Mbah. Lha wong kalau di kasur itu, aku itu kuat naik tiga angkatan, lho, tanpa obat kuat lagi!”
“Mampu lambemu, bukan mampu itu yang aku maksud, kalau cuma perkara manuk, semua laki-laki juga bakal merasa mampu, minimal dimampu-mampukan. Yang aku maksud mampu itu ya mentalnya, keluarganya, keadilannya, dan yang paling penting, duitnya. Ha kalau potongan kayak kamu itu, mau poligami, punya istri dua, mau mbok kasih makan apa istri-istrimu? Kerdus indomie? Jadi orang kok kemaki mau sok poligami, Wong punya istri satu saja ndak habis-habis, kok.”
“Yang habis itu bukan orangnya, Mbah. Tapi….”
“Tapi, apaaaaa?”
“Rasanya!”