Tak ada yang tak menyenangkan bagi Astuti selama menjalin hubungan rumah tangga dengan Rambat. Bagi Astuti, Rambat adalah pria yang selama ini ia idam-idamkan. Ia lelaki baik hati, cakap, pengertian, perrhatian, lemah lembut, dan yang paling penting, bertanggung jawab.
Astuti selalu merasa bangga bisa menjadi istri Rambat, sungguhpun Rambat hanya bekerja sebagai pegawai rendahan di kantor kecamatan. Kepada Rahayu, sahabat karibnya, Astuti selalu menceritakan soal kebanggaannya menjadi istri Rambat.
“Aku selalu bahagia dan bangga menjadi istri Mas Rambat, sungguh dia lelaki yang sanggup membuatku menjadi wanita yang istimewa,” ujar Astuti kepada Rahayu sewaktu mereka berdua nongkrong ngerumpi di kebun belakang rumah Rahayu.
“Wah, berarti nggak salah dong dulu aku ngenalin kamu sama Rambat, nggak nyangka kalau ternyata jodoh,” sahut Rahayu yang dulu adalah tetangga Rambat sewaktu masih ngontrak di Salatiga.
“Hahaha, iya, untung waktu itu Mas Rambat nggak kamu kenalin ke perempuan lain.”
“Nggak tahu kenapa, dulu pas Rambat curhat pengin nikah itu, aku kok ya langsung kepikiran sama kamu, jadi ya aku coba langsung kenalin saja sama kamu.”
“Itu yang namanya jodoh,” kata Astuti sambil tersenyum tersipu.
Rahayu meringis gemas. Ia lalu bangkit menuju dapur untuk mengambil minuman karena stok minuman di meja tempat mereka ngobrol sudah mulai menipis.
Sambil meletakkan minuman yang baru saja ia ambil dari dapur, Rahayu menanyakan sesuatu yang mungkin akan sangat kurang ajar untuk ditanyakan bila saja bukan ia yang bertanya. “Eh, si Rambat kalau di ranjang gimana?”
Astuti agak kaget, namun ia menguasai keadaan walau tetap terlihat agak wagu mendapati pertanyaan menohok dari Rahayu. “Emmm, ya gitu deh,” jawab Astuti singkat.
“Ya gitu deh bagaimana?” kejar Rahayu.
“Hahaha, penasaran yaaaa?” kata Astuti mencoba menggoda, “Pokoknya, Mas Rambat itu hebat kalau di ranjang, aku hampir selalu dibuat kelojotan sama dia,” lanjut Astuti dengan wajah yang malu-malu asu.
Rahayu tertawa, “Wah, sekali lagi, benar-benar nggak salah aku ngenalin Rambat ke kamu, kamu dibikin seneng lahir batin sama dia.”
“Tapi…,” kata Astuti agak murung.
“Lho, tapi apa? Kok kamu jadi berubah begitu ekspresinya. Tadi seneng, sekarang kok jadi mlotrok begitu.”
“Ehmm, begini, Yu. Ini sebenarnya masalah yang sudah lama aku pendam, aku nggak pernah mencertakan hal ini sama orang lain sebelumnya. Nah, berhubung kita berdua lagi bahas soal ranjang, mungkin sebaiknya aku buka saja hal ini sama kamu, Yu.”
“Apa? Ada apa? Ah, jadi penasaran aku.”
“Begini, Yu. Mas Rambat itu selalu bisa memuaskanku. Selalu membuatku melayang setiap kali kami berhubungan badan. Tapi, entah ini kelainan atau tidak, yang jelas Mas Rambat tak pernah mau berhubungan di tempat yang terang. Ia hanya mau bermain dalam keadaan gelap. Mas Rambat selalu menyuruhku mematikan seluruh lampu saat kami berhubungan. Aku hanya bisa melihat wajahnya samar-samar.”
“Wah, kok aneh,” sahut Rahayu penasaran.
“Iya, aku sendiri juga bingung. Sudah berkali-kali aku menanyakan hal ini sama Mas Rambat, tapi ia selalu menjawab dengan berkelit, biar lebih romantis, kan gelap identik sama romantis, katanya. Dan kalau aku terus mengejarnya dengan pertanyaan serupa, ia akan marah sehingga aku nggak berani bertanya lagi soal hal tersebut,” jelas Astuti dengan wajah semakin murung.
Rahayu bepikir keras. “Ini pasti ada yang disembunyikan sama Rambat.”
“Apanya yang disembunyikan?” tanya Astuti.
“Entahlah, tapi yang jelas kamu harus cari tahu.”
“Bagaimana caranya?”
“Emmm,” Rahayu bergumam pendek, “Aku ada ide!”
“Apa?”
“Jadi, kamu coba beli lampu LED yang ada remotnya, di toko lampu dekat warung ayam langganan kita itu ada. Nanti kamu pasang lampu itu di langit-langit kamarmu. Simpan remotnya secara sembunyi-sembunyi, ukurannya kecil kok, jadi bisa kamu selipkan atau kamu masukkan di sarung bantal. Nah, pas kamu berhubungan sama Rambat, kamu bisa pencet tombol remotnya untuk menghidupkan lampunya secara otomatis. Nanti kamu bisa tahu, apa yang sesungguhnya terjadi.”
“Wah, ide bagus,” kata Astuti cerah. “Tapi, kalau nanti Mas Rambat marah gimana?”
“Ya, mangkanya jangan sampai ketahuan, jangan sampai Rambat tahu kalau kamu menghidupkan lampu lewat remot. Bilang aja kamu juga heran kenapa lampunya nyala sendiri.”
“Oh, oke….”
Astuti pun pamit. Ia langsung meluncur ke toko lampu yang dimaksud oleh Rahayu untuk membeli lampu agar bisa segera melaksanakan rencana yang diusulkan oleh Rahayu.
Sampai di rumah, Astuti langsung memasang lampu tersebut. Walau dengan susah-payah karena ia tak terlalu ahli dalam memasang lampu, toh lampu itu terpasang juga. Ia juga langsung mencoba menyelipkan remot lampu dan mencoba memperagakan skenario rencana yang akan ia lakukan nanti malam.
Waktu berlalu. Jam-jam eksekusi pun tiba. Rambat sudah pulang dari tempat kerja.
Rencana agaknya akan berjalan sangat mulus, sebab saat Astuti mengajak Rambat untuk berhubungan badan, Rambat terlihat tidak menolak dan tidak menaruh kecurigaan apa pun pada Astuti. Ia bahkan meminta agar diijinkan mandi terlebih dahulu agar bisa lebih nyaman saat berhubungan badan. Astuti tentu saja tidak keberatan.
Begitu Rambat selesai mandi, ia langsung dibimbing Astuti menuju kamar mereka.
Di atas ranjang, keduanya langsung melepaskan pakaian masing-masing. Dan seperti yang sudah-sudah, sebelum bertempur Rambat meminta Astuti mematikan seluruh lampu ruangan. Astuti menuruti. Ruangan pun menjadi gelap gulita.
Pergumulan pun segera dilakukan. Seperti biasa, Rambat menampilkan permainan yang memuaskan. Astuti dibuat tak berdaya. Nikmat betul pergumulan itu Astuti rasakan. Astuti bahkan hampir lupa dengan rencananya karena saking terlenanya ia oleh kenikmatan yang diberikan oleh Rambat kalau saja kepalanya tak menyentuh benda kecil padat di samping bantal yang tak lain dan tak bukan adalah remot lampu yang akan ia gunakan untuk melancarkan rencananya.
Maka, tanpa menghiraukan nikmat yang sedang ia dapatkan, Astuti cekatan meraih remot yang berada di dekat bantal dan segera memencet tombolnya. Lampu seketika menyala dan terlihatlah pemandangan yang sungguh membuat Astuti sangat kecewa.
Rambat begitu kaget dan tak berdaya.
Di hadapan Astuti, terlihat Rambat sedang memegang buah mentimun berukuran sedang.
“A… a… aku bisa jelaskan, Astuti,” kata Rambat dengan wajah yang memelas.
Astuti terdiam, ia seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ternyata selama ini suaminya sengaja mematikan lampu karena hal yang sangat ia sesalkan. Selama ini kenikmatan yang ia dapatkan bukan berasal dari burung suami tercinta, melainkan dari buah mentimun yang entah dari mana.
“Jadi, selama ini….”
“Aku bisa jelaskan hal ini,” ratap Rambat.
Kenapa kamu tega, Mas?” isak Astuti.
“Aku….”
“Cepat katakan! Jangan berbelit-belit!” nada Astuti mulai meninggi. Tak terasa air mata mulai mengalir dari kedua matanya.
“Aku… aku impoten, Astuti. Maafkan aku. Ini satu-satunya cara yang bisa aku lakukan untuk memuaskanmu. Aku sudah berkali-kali mencoba pengobatan alternatif, namun tak ada hasilnya.”
“Kenapa tak kau katakan ini dari dulu, hah?”
“Aku takut mengecewakanmu.”
Astuti bangkit. Emosinya menyala. Dipakainya baju dan celananya. Ia buka lemari, mengambil koper, dan mulai mengemasi barang-barangnya. “Ceraikan aku, Mas!” kata Astuti.
“Tidak, aku tidak akan mau menceraikanmu, aku mencintaimu.” Kali ini giliran Rambat yang suaranya meninggi.
“Kalau memang cinta, kenapa kau berdusta padaku begitu lama?” tangis Astuti semakin tak tertahankan. “Aku tak sudi menjalin hubungan rumah tangga dengan seseorang yang tega mendustai pasangannya.”
Rambat mulai pucat. Ia merasa sudah tak ada gunanya lagi berargumen dengan Astuti. “Baik, kalau begitu, aku akan menceraikanmu!”
“Secepatnya, aku minta kau menceraikanku secepatnya!” sahut Astuti.
“Ya, secepatnya!” kata Rambat. “Tapi sebelum aku menceraikanmu, boleh aku mendengar penjelasan darimu soal bagaimana kau bisa melahirkan dua anak kita?”