Pagi itu ketika burung-burung bernyanyi dan matahari walau tampak malu tetap memancarkan cahayanya, di poskamling desanya Rambat terlihat senyam-senyum sendiri. Melihat gelagat yang tak biasa itu, Madun, sahabat karib Rambat langsung merayap mendekat, mencoba mencari tahu, gerangan apa yang bikin sahabatnya itu senyam-senyum sendiri.
“Mbat, kamu kenapa e? Kok kayaknya girang betul,” tanya Madun.
“Coba tebak, apa hayooo?” goda Rambat.
“Habis lihat ekting Mas Ega Balboa di Movi ya? Atau habis nonton hakim majelis lucu Joshuwer yang blas nggak lucu itu?”
“Nggak!”
“Lha, terus?”
Rambat mencoba mendekatkan mulutnya ke telinga Madun.
“Jadi begini, semalam itu, aku baru saja coba barang baru, namanya Hajar Jahannam, oleh-oleh si Timo yang habis pulang umroh,” terang Rambat.
Madun mengernyitkan dahi. Rambat segera sadar bahwa kawan di hadapannya itu masih awam di dunia permanukan.
“Hajar Jahannam? Apa itu, Mbat?”
“Nah tho, aku sudah mbatin, kamu ini cuma plongah-plongoh pas aku bilang Hajar Jahannam itu pasti karena kamu nggak mudeng blas apa itu Hajar Jahannam.”
Untuk mengurangi tingkat ke-plongah-plongoh-annya, Madun yang pernah mondok tiga tahun ini, mencoba menerka, tentu dengan terkaan yang spekulatif.
“Setahuku hajar itu batu, Jahannam itu nama neraka. Jadi Hajar Jahannam ini batu dari neraka ya? Atau jangan-jangan itu batu yang dulu dijatuhkan burung ababil ketika pasukan gajah menyerbu Mekkah?”
“Dun… Dun… Kamu ini mengartikannya kok ya saklek sekali. Jadi begini, Dun, Hajar Jahannam itu obat kuat versi Timur Tengah. Asli dibawa dari Arab sana sama si Timo yang kemarin umroh.”
“Oalah….”
“Jadi, kalau Barat punya viagra, Indonesia punya daun bungkus, nah Arab punya Hajar Jahannam.”
Madun manggut-manggut. Walau ia seseorang yang awam dalam dunia permanukan, tapi ia paham betul apa yang disampaikan oleh Rambat.
“Tapi…,” kata Madun, “kok namanya kayak nama neraka gitu ya? Bikin serem.”
“Namanya sih neraka, Dun, tapi sensasinya, surga.”
“Aneh betul ya namanya, Mbat? bertolak belakang begitu,” Madun terheran.
“Kamu ini kebanyakan herannya. Ada juga istilah yang bertolak belakang lagi selain itu. Kamu tahu apa itu keluar di dalam? Saya yakin, Bu Prima yang dulu ngajar kita bahasa Indonesia sewaktu kita SMP juga bakalan kebingungan menjelaskan makna apa itu keluar di dalam,” Rambat makin ngalor-ngidul ocehannya.
“Yang namanya keluar itu ya di luar, Mbat, memangnya ada yang keluar di dalam?”
“Ah, sudahlah, Dun. Nanti kamu juga bakal tahu sendiri kalau sudah nikah.”
“Nah, kebetulan, Mbat, kamu nyinggung soal nikah. Aku sedang bingung soal hubunganku sama Tini. Aku curiga jangan-jangan Tini sudah nggak perawan lagi. Padahal aku mantap pengin menikahinya tahun depan.”
“Haishhh… kamu ini lho. Mau perawan mau nggak, kalau memang sudah cinta, apa masalahnya? Wong kamu sendiri paling kan sudah nggak perjaka tho?”
“Nggak perjaka gundulmu, aku ini masih ting-ting, belum pernah berhubungan sama siapa pun, nggak pernah ngeple kayak si Karjo atau si Bandi itu,” jelas Madun defensif.
“Setidaknya, perjakamu sudah hilang di tangan, ngaku!”
“Hehehe, lha kalau itu, iya…,” jawab Madun malu-malu.
“Ha gene, itu bukti kalau kamu sudah nggak suci lagi, sudah kena AIDS!”
“AIDS lambemu, wong cuma pakai tangan kok kena AIDS.”
“AIDS, Akibat Intim Dengan Sabun.”
“Haaaiiissshhh, kembali ke soal Tini, Mbat. Gimana? Kamu punya penyelesaian nggak? Jujur, aku ini kok ya ragu sama keperawanan si Tini, lha dia itu mantannya banyak, je. Kamu kira-kira punya cara nggak, bagaimana mengetahui seorang perempuan masih perawan atau tidak?”
“Welha, jelas aku punya. Rambat je.”
Madun tampak sumringah. Akhirnya, ia akan memperoleh sedikit obat atas penyakit ragunya selama ini atas keperawanan si Tini, pacarnya.
“Wah, cocok. Jadi, gimana, Mbat, cara mengetahui seorang perempuan itu perawan atau tidak?”
Rambat membetulkan posisi duduknya. Yang tadinya posisi selonjoran kini menjadi sila. Obrolan jadi terlihat makin serius. Madun tampak makin antusias dengan keseriusan Rambat membahas hal ini.
“Jadi begini, Dun. Ada cara mudah untuk mendeteksi seorang perempuan itu perawan atau tidak. Cara ini sangat-sangat ampuh. Sudah dibuktikan oleh banyak orang, dan hasilnya tokcer!”
“Ya sudah, langsung saja katakan, jangan bertele-tele,” sahut Madun yang mulai tidak sabar.
“Wah, kamu itu kok ya terburu-buru banget.”
“Ya harus, ini masalah penting soalnya.”
“Jadi…,” kata Rambat, “cara yang paling ampuh dan tokcer untuk mengetahui seorang perempuan masih perawan atau tidak itu dari cara duduknya.”
“Gimana cara duduknya?” tanya Madun menggebu.
“Kalau perempuan tersebut duduk di teras rumahnya, terus kakinya disilangkan seolah-olah ingin menutupi bagian kewanitaannya dan baju bagian atasnya tertutup, itu artinya dia seratus persen masih perawan.”
“Ooo, gitu ya?”
“Iyaaa, mudah tho?”
“Sek, sek, itu kalau yang perawan. Kalau yang sudah nggak perawan, gimana tandanya?” tanya Madun penasaran.
“Nah, kalau yang nggak perawan,” kata Rambat sambil menerawang ke atas, “kalau yang sudah nggak perawan, dia duduknya di ruang tamu, kakinya membuka agak bebas, dan baju bagian atasnya terbuka.”
“Kok terbuka, Mbat?”
“Lha yo terbuka, soalnya dia sedang menyusui anaknya.”
“Woooo, cah asuuu!”
Rambat terpingkal-pingkal. Madun melepas sandalnya, dan langsung menyawatkannya ke arah Rambat yang sudah siap-siap untuk berkelit.