Berbohong bukanlah yang mudah, sebab semua paham, bahwa kebohongan itu seperti durian: dimakan di pasar, baunya sampai ke rumah. Seperti jengkol: dimakan kemarin, baunya air kencingnya masih tersisa sampai besok lusa.
Kekhawatiran tentang kebohongan ini pula yang sedang dirasakan oleh Rambat.
Kebohongan itu berawal ketika Rambat yang sudah menganggur lama, tiba-tiba ditawari oleh salah satu kawan lamanya untuk mengelola SPBU di daerah lintas Sumatera. Rambat bertugas sebagai akuntan merangkap wakil bos, mengepalai beberapa karyawan.
Dasar Rambat memang hoki, begitu Rambat mengelola usaha milik temannya ini, SPBU tidak pernah sepi. Semua truk dan bus lintas kota lintas propinsi selalu singgah di SPBU yang dikelola Rambat.
Seketika nasib Rambat berubah, dari pengangguran yang banyak hutang menjadi juragan kecil yang banyak uang. Hanya saja satu hal yang membuat perubahan menyenangkan ini dirasakan sangat berat oleh Rambat, dia harus hidup jauh dari Ningsih istrinya. Mereka baru menikah 1,5 tahun saat tawaran pekerjaan itu datang dan masih belum dikarunia anak. Istrinya tidak mungkin mengikuti Rambat di daerah lintas Sumatera karena harus merawat ibu Rambat yang stroke. Sebagai manantu yang baik dan sabar, Ningsih rela berpisah dengan suami yang dicintai saat usia pernikahan masih baru, demi merawat ibu mertua yang sakit yang tak mungkin dibawa ke daerah terpencil.
Dalam hidup yang demikian, Rambat hanya dapat sesekali mengunjungi istrinya jika bosnya sedang senggang dan bisa menggantikan tugas pengelolaan SPBU barang sepekan.
Kesempatan itu selalu berharga bagi Rambat dan Ningsih, juga merupakan kebahagiaan tersendiri bagi ibu Rambat. Untuk membuat istri dan ibunya makin bahagia, semua penghasilan diberikan Rambat untuk Ningsih. Ningsih pun merenovasi rumah, membiayai pengobatan ibu Rambat ke Rumah Sakit yang lebih bagus, membeli perabotan dan tentu saja ikut arisan dan menabung.
Rambat semakin bahagia karena walaupun jauh mencari nafkah dan sesekali pulang, jerih-payahnya sebagai suami tidak disalah-gunakan. Rambat semakin sayang kepada Ningsih dan bersyukur mendapatkan istri yang demikian. Rambat pun berusaha mensyukuri keadaan ini dengan tidak lagi mengeluh dirinya yang terpisah dari keluarga, toh dua atau tiga bulan sekali dia pasti mengunjungi Ningsih dan ibunya selama satu atau dua minggu. Ningsih pun demikian adanya, merelakan dan mempercayai suaminya mencari nafkah di tempat yang sepi penduduknya dan hanya dilintasi kendaraan antar propinsi.
Sebagai orang yang merantau, tentunya Rambat bergaul dengan masyarakat setempat. Walaupun hidup sedikit jauh dari pemukiman karena Rambat tinggal di bagian belakang SPBU-nya, Rambat tetap mengikuti kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, serta bergaul dengan aparat desa dan pemuka agama. Hal ini membuat Rambat semakin dikenal sekaligus disegani. Jika ada acara-acara penting seperti kondangan, pesta adat atau kegiatan keagamaan, Rambat pasti diundang. Hubungan Rambat dekat dengan semua orang, termasuk dengan Pak Kepala Desa terjalin dengan baik.
Kisah Kebohongan Rambat ini kemudian mulai terbentuk jelas saat terjadi sebuah peristiwa yang cukup bikin sesak dada Pak kepala Desa.
Suatu ketika, Pak Kepala Desa mengawinkan Stella, anak gadisnya yang cantik jelita dengan seorang pemuda kampung sebelah. Tapi siapa sangka, pemuda itu malah kabur, entah sebab apa. padahal, undangan sudah disebar dan tanggal pesta pernikahan semakin dekat. Keluarga Pak Kepala Desa pun menjadi panik. Nah, saat panik itulah Pak Kepala Desa menemui Rambat untuk meminta Rambat menggantikan posisi sebagai mempelai pria.
“Tolonglah Nak Rambat. Nak Rambat ini orang baik. Selamatkanlah muka bapak ini dari malu,” kata Pak Kepala Desa.
Sungguh Rambat jadi serba salah. Ia ingin menolak, karena bagaimanapun, ia sudah punya istri. Tapi Rambat pun juga tak kuasa menolak, sebab Rambat pernah berhutang budi dulu dengan Pak Kepala Desa saat SPBU-nya diserang sekelompok orang tak dikenal. Pak Kepala Desa turun tangan menjamin keamanan SPBU dan sejak saat itu Rambat tidak pernah mengalami hal-hal yang membahayakan usahanya. Bagaimana mungkin dia menolak?
Pada akhirnya Rambat menyetujui untuk menggantikan posisi sebagai mempelai pria dan menikahi anak Pak kepala Desa.
Maka, ketika kemudian pesta pernikahan digelar, banyak yang terkejut dengan perubahan mempelai pria dengan nama yang ada di undangan. Tapi demi melihat si mempelai adalah Rambat, para warga pun justru mendukung, sebab di mata para warga, lelaki yang cocok mendampingi anak Pak Kepala Desa memanglah sosok Rambat, yang memang di kalangan warga dikenal sebagai lelaki yang sukses, cakap, ramah, rajin, serta mudah bergaul di masyarakat.
Pernikahan ini sudah pasti dirahasiakan Rambat dari Ningsih dan ibunya. Hal tersebut membuat Rambat tidak nyenyak tidur.
Pak kepala Desa dan juga putrinya sebenarnya sudah tahu bahwa Rambat sudah punya istri di kampungnya, namun mereka kemudian berkompromi bahwa pernikahan yang mereka gelar semata hanya sebagai penutup rasa malu keluarga Pak Kepala Desa saja, sehingga semuanya saling memahami masalah masing-masing. Baik Stella maupun Pak Kepala Desa juga sudah rela atas status Stella sebagai istri kedua.
Bulan demi bulan berlalu dan Rambat kembali menjalani aktivitasnya seperti biasa dengan tetap mengunjungi Ningsih dan ibunya sesuai jadwal.
Hanya kali ini Rambat menjadi sedikit canggung ketika pulang kampung, sebab ada kebohongan yang ditutupi oleh Rambat, kebohongan atas status pernikahannya.
Ketika harus pulang kembali ke daerah lintas, Ningsih seperti biasa melepasnya tanpa curiga dan itu semakin membuat Rambat tidak enak.
Waktu pun berlalu, tak disangka Ningsih membuat kejutan, tiba-tiba ia mengabari akan berkunjung ke tempat Rambat bekerja. Sialnya, Rambat baru dikabari saat Ningsih telah berada di perjalanan dan minta ditunggu di depan SPBU.
Dengan panik, Rambat yang tinggal di bangunan belakang SPBU menceritakan kepada istri barunya bahwa Ningsih dalam hitungan jam akan segera tiba.
“Tenang, Mas Rambat, bilang saja aku karyawan di sini. Jadi tidak usah cemas berlebih begitu,” kata Stella.
Rambat sedikit tenang. Mereka lalu merancang skenario, jika Ningsih datang, maka Stella akan mengaku sebagai salah satu karyawan Rambat yang tinggal di ruangan lain SPBU.
Ningsih yang tiba sore itu disambut Rambat dengan kerinduan juga kebingungan. Stella tidak ketinggalan ikut menyambut dan menunjukkan rasa hormatnya kepada Ningsih dengan cium tangan dan cipika-cipiki. Walau sedikit heran, tapi akhirnya Ningsih maklum, Ningsih membiarkan dirinya dilayani Stella.
Hari berikutnya mereka malah telah akrab. Keakraban yang justru membuat Rambat semakin khawatir, terlebih keakraban mereka terlihat sangat kental, seperti dua sahabat lama.
Di hari ketiga, sambil leyeh-leyeh di halaman samping SPBU yang asri, Ningsih dan Stella berbincang-bincang akrab.
“Sebenarnya Teteh datang kemari ada kejutan buat Bang Rambat, lho, Stel. Tapi Teteh belum tahu bagaimana cara menyampaikan kejutannya. Apa dek Stella bisa bantu caranya?” tanya Ningsih.
“Memang apa Teh, kejutannya?” tanya Stella kepo.
“Gini lho, tapi kamu rahasiakan dulu ya. Teteh ini sedang hamil muda, tapi Bang Rambat belum tahu,” ujar Ningsih.
Stella sontak kaget.
“Hah?! Kok bisa, Teh?”
“Ya, bisalah Stel. Namanya orang suami-istri walau jauh kan tetap dikunjungi juga. Kamu anak kecil mungkin ga ngerti,” kata Ningsih.
“Ga, Teh. Maksud Stella kok bisa itu…”
Stella tergagap.
“Kenapa sih, Stel?” Ningsih jadi bingung.
“Maksud Stella, kok bisa barengan sih Teh…” lanjut Stella lemas.