Dari pernikahannya selama 7 tahun lebih dengan Ratih, Rambat memiliki seorang putri yang cerdas, lucu dan mengagumkan. Putri Rambat ini bernama Rara, nama yang merupakan gabungan nama Rambat dan Ratih.
Bagi Rambat, Rara adalah bukti keberhasilan cinta mereka berdua.
Mendapatkan Rara adalah perjuangan besar bagi Ratih dan Rambat, karena setelah dua tahun menikah, Ratih belum juga menunjukkan ada tanda-tanda kehamilan.
Masa-masa itu adalah masa yang membuat Rambat stress, sebab tiap kali bertemu mertua, yang mereka tanyakan selalu saja soal kapan mereka bisa segera menimang cucu.
Rambat hanya bisa menjawab dengan jawaban yang template, belum diberi kepercayaan oleh Tuhan.
Yah, derita menantu yang tak dapat memberikan cucu.
Pada akhirnya, usaha memang tak pernah mengkhianati. Setelah berobat kesana-kemari, minum semua jamu dan obat herbal yang direkomendasikan teman atau diiklankan toko online, mencoba aneka posisi berhubungan badan, ke dokter kandungan maupun ke orang pintar, berdoa dan bernazar serta melakukan ritual sesuai keyakinan, Rambat dan Ratih akhirnya diberikan hasil atas ikhtiarnya. Ratih Hamil.
Rambat dan Ratih pun tak sabar menyebarkan berita indah ini keluarga. Orang pertama yang dikabari Rambat tentu saja mertuanya yang selama ini tak henti-henti menanyakan kapan menimang cucu.
Hingga pada akhirnya, lahirlah Rara ke dunia. Kelahiran yang kemudian menjadi semacam titik balik bagi rumah tangga Rambat, sebab setelah Rara lahir, mertua Rambat menjadi jauh lebih sayang pada Rambat. Mereka bahkan menghadiahi Rambat sepetak tanah yang kelak nanti dibangun sebagai rumah Rambat dan Ratih.
Rara gadis kecil yang sekarang berusia 4,5 tahun tumbuh menjadi seorang putri yang cerdas, lucu, dan lincah.
Seperti kebiasaan ibunya, gadis kecil Rambat ini juga rajin berdoa sebelum tidur. Setiap malam, Rara mendoakan ayah, ibu, kakek dan neneknya dengan menyebut nama mereka satu persatu.
Rambat biasanya dengan sabar mendengarkan Rara berdoa sebelum menyelimutinya dan mematikan lampu.
“Ya Tuhan, bahagiakanlah Papa, Mama dan nenek. Terimalah Kakek di sisi-mu. Amiiin…” kata Rara suatu malam.
Rambat mendengarkannya dengan heran tapi tidak sempat menanyakan apa-apa karena Rara langsung tertidur dengan pulas.
Esoknya saat rapat direksi di kantornya, Rambat mendapat telepon dari Ratih di rumah.
“Mas, cepat pulang, Mas. Bapak… Bapak meninggal. Barusan katanya kena serangan jantung,” kata Ratih di seberang sambil menangis tersedu-sedu.
Bukan main kagetnya Rambat. Karena walaupun sudah tua dan agak pikun, tapi mertuanya tidak pernah sakit-sakitan, juga tidak pernah punya catatan penyakit jantung.
Dalam perjalanan pulang sambil menyetir, Rambat tiba-tiba teringat doa Rara malam tadi. Seketika bulu roma Rambat berdiri. Apakah ini karena doa spontan Rara? Bagaimana mungkin, Rara hanyalah anak yang baru dua bulan sekolah di TK, tidak tahu banyak hal. Rambat berpikir keras, apakah ini kebetulan? Tapi katanya tidak ada yang kebetulan di dunia ini.
***
Setelah meninggalnya mertua laki-lakinya dan pembagian warisan dari keluarga istrinya, suasana duka berangsur hilang di keluarga Rambat. Semua seperti semula lagi. Rara rajin belajar dan tetap rajin berdoa sebelum tidur. Ratih semakin cantik setelah mendapat warisan keluarga dan karier Rambat di kantor semakin baik.
Seperti biasa juga, Rambat tiap malam menemani Rara berdoa sebelum menyelimutinya dan mematikan lampu.
Malam itu seperti biasa Rara berdoa, “Ya Tuhan, bahagiakanlah Papa dan Mama dan Nenek. Terimalah Nenek di sisi-mu. Amiiin…” kata Rara.
Rambat tersentak, teringat doa yang sama yang dia dengar sebelum mertua laki-lakinya meninggal beberapa bulan yang lalu. Rambat langsung hendak menanyai Rara apa maksud doanya, tapi Rara telah pulas seketika.
Di kamar, Rambat tidak dapat memicingkan mata. Dia khawatir tentang doa Rara. Jangan-jangan ini doa yang sama saat sebelum kakek meninggal.
Bulu roma Rambat berdiri, tapi dia tidak berani bercerita apapun ke Ratih, khawatir istrinya yang percaya hal-hal gaib langsung histeris. Rambat memilih memendam perasaannya sendiri dan berharap itu hanya doa anak kecil yang tidak menyiratkan hal apapun. Rambat akhirnya tertidur.
Esoknya di kantor, setiap kali Rambat melihat ke layar HP, cemas kalau-kalau Ratih mendadak menelepon. Sampai sore dan akhirnya pulang ke rumah, Rambat lega karena yang dikhawatirkannya tak terjadi. Mereka makan malam dengan bahagia seperti biasanya ketika tiba-tiba HP Ratih berbunyi.
“Dari Ibu,” katanya sambil menjawab panggilan.
Terdengar suara ribut dari seberang. Ratih mendadak ambruk di dekat meja makan. Malam itu mereka mendapat kabar kalau mertua perempuannya baru saja meninggal karena sesak nafas.
Ternyata yang menelpon tapi bukan Ibunya Ratih, melainkan Mbak Jum, asisten rumah tangga di rumah ibunya Ratih.
Seketika Rambat terhenyak. Kali ini Rambat merasa doa Rara adalah sinyal, bukan sekadar doa anak kecil yang mengantuk.
Berbulan setelah itu, suatu malam Rambat menidurkan Rara kembali dan ketika hendak menyelimutinya, Rara mendadak mengucapkan doa yang sama, “Ya Tuhan, bahagiakanlah Papa dan Mama. Terimalah Papa di sisi-mu. Amiiin…”
Sekarang Rambat benar-benar panik dan berpikir, “Ya Tuhan, aku akan mati besok!”
Keesokan harinya Rambat berantakan sepanjang hari dan tidak konsentrasi bekerja, dia berpikir apakah dia benar-benar akan mengalami sebuah kecelakaan lalu mati.
Rambat terus-menerus melihat jam, melihat sekeliling dan berpikir malaikat maut akan datang sebentar lagi. Rambat sangat kalut dan tidak berani meninggalkan kantor sampai tengah malam karena khawatir kalau-kalau terjadi kecelakaan di jalan.
Setelah lewat pukul dua belas malam, barulah Rambat lega. “Nampaknya doa Rara tidak terjadi dan aku ternyata terlalu berlebihan parno,” kata Rambat dalam hati.
Segera Rambat pulang ke rumah. Sesampai di rumah Rambat segera mencari Ratih yang rupanya terduduk di ruang tamu dengan wajah kalut.
Ratih bertanya pada Rambat, “dari mana saja sih, Mas? Kok jam segini baru pulang? Dihubungi juga susah.”
Rambat menjawab, “Maaf, Dek, tadi ada urusan kantor, hapeku mati. Memangnya ada apa, dek?”
“Maghrib tadi Pak Cahyono mendadak meninggal dunia!”