Baca cerita sebelumnya di sini.
Aku masih menunggumu, Witfana From: Andangsaki Kalasan <[email protected]> Date: data system errors (configuration doesn’t show absolute time) To: Witfana Aulia <[email protected]>
Fana yang baik dan semoga selalu baik-baik saja di mana pun kamu berada, ini akan menjadi email terakhirku kepadamu.
Aku tahu aku tak bisa mengharapkan lagi balasan email darimu. Segalanya terasa menjadi berantakan. Aku begitu menyesali beberapa peristiwa yang seharusnya tak terjadi di antara kita. Tak seharusnya kamu melihatku di lorong rumah sakit bersama Raisa, dan tak seharusnya pula aku menemuimu di depan kediamanmu. Pertemanan kita mungkin memang tidak akan bisa kembali ke titik semula. Waktu tidak akan pernah berjalan mundur. Namun, bagaimana dengan perasaan kita?
Aku harus mengatakan ini padamu, Witfana. Perasaanku padamu begitu dalam. Aku pun terlambat menyadarinya. Perasaan ini terasa sangat nyata meski kita tak pernah bertatap muka, bahkan untuk membayangkan suaramu pun aku tak mampu. Malam ketika Raisa menemuiku dan berkata bahwa ia ingin kembali padaku, hatiku terasa ngilu. Bagaimana bisa penawaran itu keluar dari bibirnya saat ia telah memutuskan hubungan kami dengan begitu dingin dan tegas?
Sementara itu, di dalam kepalaku, namamu terus muncul. Nadamu dalam teks percakapan kita dan dalam arsip email kita seolah mengalun menjadi musik yang begitu familiar, yang membuatku hanya ingin terus-menerus mendengarnya, meski aku tak bisa menebak dari mana sumber musik itu berasal.
Namamu Witfana Aulia. Bukan Jannah Az-Zahra.
Sepucuk amplop berpendar muncul di layar gawaiku dari nama yang begitu asing. Seseorang yang kukira adalah kamu mengirimiku email yang cukup panjang dan santun. Ia menyatakan bahwa ia tak mengenalmu. Ia juga menjelaskan ia tak memiliki memori jangka panjang. Aku tak tahu harus membalas emailnya seperti apa. Ia dalam kebingungan yang samar. Menyeretku dalam kebingungan yang jauh lebih gelap.
Setelah membaca email itu, aku tak melihat cahaya matahari hingga saat ini, hari ke-30. Ragaku terkurung di kamar dan jiwaku terjebak dalam lusinan pertanyaan yang tak dapat kutemukan jawabannya.
Aku sempat ingin menyimpulkan bahwa ini semua hanyalah konspirasi para ilmuwan untuk menguji teknologi baru; apa pun namanya itu, apa pun tujuannya. Mereka hanya menjadikan kita kelinci percobaan. Mereka bongkar ulang memori kita dan menciptakan ilusi-ilusi perbedaan dimensi ruang dan waktu yang penuh misteri sehingga kita tertarik, lalu memercayainya, lalu hidup dalam narasi besar yang mereka rancang.
Jadi siapa aku? Dan siapakah kamu? Apa kamu benar-benar nyata, Witfana? Apakah Jannah Az-Zahra hanyalah dirimu yang penuh luka sehingga bisa sekalem itu mengirimiku email dan menyatakan hidupnya telah bahagia meski tidak dapat mengingat satu pun masa lalunya? Atau, apakah Jannah Az Zahra sesungguhnya benar-benar orang yang berbeda? Sementara itu, di mana dirimu yang sebenarnya, Witfana?
Para kawanan geek di kampus sains angkat tangan. Mereka tidak menjelaskan kasus ini padaku dengan selogis mungkin. Mereka tak punya argumen, sementara ilmu pengetahuan tiba-tiba tampak tak berguna di mataku. Tak ada penjelasan ilmiah. Aku dibiarkan mengalami kebingungan yang menyakitkan sementara kerinduanku padamu tiap hari terus menumpuk seperti cucian kotor. Membuatku tampak menyedihkan dan menjijikkan karena ketidakmampuanku melanjutkan hidup yang normal.
Setiap hari Raisa datang ke kamarku, mengantarkan makanan tanpa bertanya apa yang telah terjadi padaku. Ia dengan telaten memunguti satu per satu baju kotor, sampah makanan, dan kepalan kertas yang bertuliskan namamu, bergambar sketsa wajahmu. Ia melakukan itu semua tanpa membuka jendela untuk mengizinkan cahaya matahari masuk.
Setelah membersihkan kamar dan memastikanku menghabiskan makanan yang ia bawa, ia memutar alunan musik yang merdu di aplikasi pemutar musik, lalu pamit pulang. Begitu terus selama 30 hari ini.
Aku tak tahu dari mana Raisa belajar bersabar seperti itu. Apa ini bentuk tanggung jawabnya setelah melemparkanku ke lubang gelap dan sekarang tetap berada di dalam lubang yang mungkin jauh lebih dalam, jauh lebih gelap? Apa sikapnya ini merupakan cara seorang perempuan untuk menyatakan diri menerima sosok lelaki yang penuh kekurangan sepertiku?
Aku tak berniat menceritakan apa pun kepada Raisa. Kebingunganku atas hubungan kita tak akan pernah dapat ia pahami. Lagi pula, ia tak pernah menanyakan padaku apa yang telah terjadi selama satu bulan ini. Ia seolah memahami seluruh gerak-gerikku yang lamban, memaklumi sebagian besar waktu kuhabiskan di atas ranjang dan fokus menatap kerai jendela yang terus menampilkan game petualangan di masa kerajaan-kerajaan negeri ini.
Di sana, aku masuk ke dalam kisah sejarah yang artifisial, menjadi seorang pendekar bernama Nagabumi dan berkelana dari satu desa ke desa, membantu rakyat miskin mencuri koin emas para bangsawan, bergabung dalam satu kelompok pemberontak, menyerang kerajaan-kerajaan yang dipimpin seorang tiran dan keluar masuk hutan.
Aku tidak tahu sampai kapan aku melarikan diri ke dalam dunia seorang pengembara. Selama tantangan-tantangan di dalam game terus membuatku tertantang dan aku merasa mampu menyelesaikannya, mungkin aku akan tetap tinggal di sini. Entah sampai kapan.
Witfana,
Aku tidak tahu apa yang telah terjadi padamu dalam rentang sepuluh tahun ke depan di masamu. Sekarang di tahun 2019, kamu adalah seorang pelajar yang dituntut orang tua untuk masuk ke Fakultas Kedokteran. Aku tidak tahu bagaimana hidupmu di 2020, 2021, 2022, 2023, 2024, 2025, 2026, 2027 dan 2028. Di rentang waktu yang panjang, pasti akan banyak yang terjadi dalam hidupmu, baik dan buruk. Kumohon, bertahanlah untuk itu semua.
Aku memutuskan untuk menunggumu hingga satu tahun ke depan. Tanggal 7 Maret 2030, pukul 17.00, kamu dapat menemukanku di depan Tugu. Aku akan ada di sana menunggumu datang, seorang Witfana yang kukenal, seorang perempuan yang kurindukan yang telah berusia 28 tahun.
Terima kasih telah berbagi cerita dan rasa denganku lima bulan belakangan. Pertemanan yang singkat dan penantian akan terasa panjang setelah ini.
Sampai jumpa kembali,
Â
Kala
***
Terdengar pintu diketuk. Tiga kali. Empat kali. Lima kali. Terdengar suara perempuan mengucapkan salam. Kala terbangun, akhirnya. Layar komputer masih menyala. Kerai jendela menampilkan punggung seorang pendekar di ujung tebing yang curam.
Bergegas, Kala bangkit dan berjalan menghampiri pintu. Ia menggerutu lemah. Harusnya Raisa langsung masuk saja seperti biasa. Kala telah memberikan kunci cadangan kamarnya agar Raisa tak perlu berisik membangunkannya dan langsung masuk kamar tanpa memancing perhatian tetangga kamar kos.
Kala membuka pintu dengan malas. Di balik pintu, Raisa telah berdiri dengan air muka yang sama: lembut namun menyimpan ketegasan, anggun dan tenang.
“Kala, aku membawa para sahabat untukmu,” ucap Raisa tenang, sembari tersenyum tipis.
Di belakang Raisa, enam orang lelaki asing berdiri. Mereka mengenakan seragam militer berwarna abu-abu. Masing-masing dari mereka membawa senjata laras panjang. Sebelum Kala sempat berteriak dan melawan, mereka dengan sigap meringkus pemuda tersebut, menutup kepalanya dengan kantong berwarna hitam, memborgol kedua pergelangan tangannya.
Tidak ada yang menyaksikan peristiwa ini. Mereka menyeret Kala untuk segera pergi meninggalkan ruang hibernasinya. Raisa memberi isyarat bahwa ia akan menyusul.
Perempuan itu masuk ke dalam kamar mantan kekasihnya yang sudah tak berpenghuni. Ponsel di atas meja belajar bergetar. Sebuah panggilan dari Witfana.
Raisa terus menatap layar ponsel hingga panggilan itu berhenti. Tampak notifikasi bertambah: 9 kali panggilan dari Witfana. Ponsel kembali bergetar. Dari nama yang sama. Raisa memutuskan menerima panggilan tersebut.
“Halo…. Kala?” Terdengar suara yang penuh kekhawatiran di seberang sana.
“Ini Raisa.”
Hening sesaat.
“Emm… bolehkah aku berbicara dengan Kala?”
“Tentu saja boleh. Sebentar, ya.”
Jeda sesaat.
“Kala… Kala…. Seorang gadis mencarimu. Bangun, Sayang!”
Jeda sesaat.
“Maaf. Kala tak mau berbicara padamu, Witfana. Sepertinya dia tidak mencintaimu.”
Sambungan terputus.
Raisa mematikan ponsel mantan kekasihnya dan melemparnya ke keranjang sampah.