Baca cerita sebelumnya di sini.
Aku tidak tahu lagi apa yang Aran bicarakan di kantor polisi. Seseorang menghampirinya, mungkin temannya. Aku tidak terlalu mengenal teman-temannya. Beda denganku yang selalu bercerita tentang duniaku, tentang teman-temanku. Itu pun dia masih suka cemburu. Kadang aku berpikir aku ini sejenis properti yang hanya dia sendiri yang boleh memilikinya. Biarlah, kutinggal dia di sana.
Sepertinya semua hal berkonspirasi untuk membuatku kesal. Bus yang ingin kunaiki tidak mau berhenti padahal sudah berapa kali lewat dan aku melambai kepadanya. Sialan.
Seorang perempuan duduk di halte tempatku menunggu bus. Daripada didera kebosanan yang sangat, aku mengajaknya ngobrol. Dia tidak menyahut. Mungkin headset di telinganya membuatnya tuli. Tapi, dia tidak buta kan? Ah sudahlah.
Perempuan itu berdiri, lantas aku melihat bus jurusan ke rumahku datang. Aku mengikuti perempuan itu masuk ke dalam bus. Sialan lagi, kenapa daritadi tidak ada bus yang mau berhenti untukku, tapi sekarang justru berhenti untuk si perempuan itu? Sebegitu tidak diinginkannyakah diriku ini?
Kondektur memberi tahu penumpang bahwa bus akan melewati halte depan taman kota. Itu halte terdekat menuju rumahku. Aku bangkit dan berdiri di dekat pintu.
“Halte taman kota? Ada yang turun di halte taman kota? Tidak ada? Kosong!”
Aku terkejut. “Mas, saya turun halte taman kota,” teriakku. Tapi, tetap tidak ada yang merespons.
Aku terpaksa turun di halte dekat pasar, mengikuti perempuan yang memakai headset tadi. Ingin rasanya aku menyumpahi perempuan itu, kondektur bus, Aran—ah, semuanya.
Akhirnya aku bisa merebahkan diri di kasur kamarku. Aku tidak peduli buku-buku yang berserakan, remote yang entah ke mana, dan pecahan asbak serta puntung rokok yang mengotori lantai. Sebuah pigura pecah menarik perhatianku. Foto pernikahanku dan Aran.
Senyum kami yang lebar, gigi gingsulnya yang menggemaskan. Kami bahagia. Kami saling mencintai. Benar begitu, kan?
Bukankah seharusnya memang begitu?
***
Aku senang sekali ketika akhirnya bisa mengunjungi tempat ini lagi: sebuah sumber mata air di kota bersejarah yang tidak terlalu ramai. Pagi itu aku minta izin Rilla, sahabatku, untuk mencuci baju di sana. Memang, kalau menginap di rumahnya, aku selalu suka pergi ke sumber mata air itu. Penduduk setempat menyebutnya belik atau sendhang. Belik Kali Lo, nama sumber mata air itu.
“Ah kamu itu, Mbak. Jauh-jauh ke sini kok cuma mau umbah-umbah,” kata Rilla sambil geleng-geleng. Iya, aku memang jauh-jauh ke sini hanya ingin mencuci baju. Sekaligus mencuci perasaan, sebenarnya.
“Sudah jangan bawel. Mana embernya?”
“Ambil sendiri di dekat kamar mandi. Kamu masih ingat jalan ke sana, kan? Aku tinggal kerja dulu, ya?”
“Tentu saja aku ingat. Kamu tahu, kan, aku ini pengingat yang handal? Terutama hal-hal yang menyakitkan.”
Sudah tidak ada waktu lagi buat Rilla meladeni ocehanku. Dia harus bekerja, lalu aku segera pergi ke belik.
Ada yang berbeda ketika aku berkunjung ke sini dua tahun yang lalu. Tempat ini lebih tertata, sudah dibagi masing-masing menjadi area laki-laki dan perempuan, serta pengadaan tempat ciblon buat anak-anak. Yang masih sama adalah pohon beringin besarnya dan, tentu saja, tempat ini masih menjadi tempat mencuci umum.
Entahlah—penduduk di sini sebenarnya sudah punya mesin cuci dan sumber air di masing-masing rumah juga sudah bagus. Namun, mereka masih suka mencuci di belik. Katanya, kalau mencuci di rumah tidak bisa sambil bergosip. Baiklah, aku pun suka mendengar mereka bergosip. Lumayan, buat kulakan tulisan.
Beberapa foto aku kirimkan ke Adimas. Rasanya tidak puas kalau tidak pamer kepadanya.
“Suka-suka kau saja, Son. Yang penting kamu bahagia. Aku sudah bosan melihatmu bersedih,” katanya melalui pesan instan. Ah dia memang rekan kerja sekaligus sahabatku yang paling pengertian selama ini.
Aku menunggu ibu-ibu dan mbak-mbak itu selesai mencuci dan pulang ke rumah masing-masing. Aku ingin menikmati kesendirianku di sini: bermain air dan memandang ikan-ikan. Sesekali, mereka menghampiri kakiku, membuatku merasa geli dengan gigitan yang menimbulkan sensasi cekat-cekit.
Aku mencuci baju sambil bermain dengan ikan-ikan sampai tidak sadar bahwa ada satu bajuku yang ikut arus air. Sialnya, aku tidak berani mengambilnya. Terlalu dalam dan aku tidak bisa berenang.
Aku naik ke atas, berharap ada orang yang bisa kumintai tolong. Tidak ada. Namun, aku dikagetkan oleh seseorang yang menepuk pundakku.
“Mencari ini?” katanya, sambil memegang bajuku yang terseret arus tadi. Laki-laki ini kutaksir berusia sepantaranku.
“Iya. Terima kasih,” kuambil baju itu darinya. Aku bersyukur bukan pakaian dalam yang hanyut. Betapa malunya kalau hal itu sampai terjadi!
“Kamu bukan anak sini, ya? Aku baru pertama kali melihatmu.”
Aku mungkin berterima kasih untuk jasanya mengambil bajuku, tapi aku sedang tidak berminat terlibat percakapan dengan laki-laki yang baru kutemui. Rasanya, aku sudah mati rasa dengan laki-laki—di luar pertemananku tentunya. Aku buru-buru mengambil emberku di bawah. Baju yang belum selesai kucuci segera kumasukkan. Lebih baik aku pulang saja.
Tapi, dia masih saja bicara.
“Aku mengamatimu daritadi. Aku suka caramu mencuci baju. Kamu membanting cucianmu dengan rasa marah. Adakah yang mengganggu pikiranmu?”
Aku berdiri di depannya, menatap matanya. Tatapanku mengundang untuk berkonflik. Baru saja kuingin bilang kepadanya kalau itu bukan urusannya, tapi dia bicara lebih dahulu.
“Wah, matamu bagus. Mata penuh emosi, tapi… suwung.”
Hih, apa lagi itu? Duhai laki-laki, kenapa kalian sebegitu menyebalkannya, sih? Adakah pujian lain selain memuji mata seorang gadis? Kalian itu seperti Snape yang memuji Lily saja. Tidak kreatif!
“Namaku Aran. Arane Sendang Panguripan. Kamu?”
Nama yang bagus, tapi aku tidak peduli. Aku sudah berjalan menjauhinya. Rencanaku melarung luka di sendhang ternyata gagal total. Malah, aku bertemu laki-laki bernama Sendang di sendhang. Duh, kenapa aku peduli dengan namanya?
Itulah pertemuan pertamaku dengan Aran. Menyebalkan, bukan? Sepertinya lebih wagu daripada cerita Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan. Rilla malah tertawa ketika aku bercerita padanya tentang cowok menyebalkan itu. Katanya, dia keponakan Pak RT yang kerja di ibu kota. Dia memang lahir di sini dan, konon, ketika itu ibunya sedang mencuci di sendhang. Itulah sebabnya namanya mengandung kata “Sendang”.
Oke, oke, baiklah, cukup soal si laki-laki itu.
***
“Sonyaruri Indraswari?”
Tanpa salam, tanpa basa-basi. Pesan tanpa nama pengirim itu kulihat berkali-kali. Tidak ada identitas dan foto profil yang bisa memberikanku petunjuk.
“Siapa, ya? Dapat kontakku dari mana?”
Sepertinya aku memang sedang kurang kerjaan hingga membalas pesan misterius seperti itu. Biasanya aku tidak memedulikannya hingga si pengirim bosan sendiri.
“Aku sekarang tinggal di kota yang kau kunjungi sekali seminggu dengan naik kereta. Kita akan bertemu, di peron 4-6.”
Tidak pakai lama, kutekan tombol block. Semakin banyak orang aneh di dunia ini. Laki-laki aneh, lebih tepatnya.
Ternyata si pengirim pesan itu gigih juga. Berkali-kali kublokir, dia selalu punya cara untuk menghubungiku. Kata Adimas, coba aku sekali-kali menuruti permintaan cowok itu untuk bertemu.
“Kamu sudah gila? Kalau aku dibunuh bagaimana?” protesku
“Aku akan mengawasimu. Besok kita survei bareng naik kereta. Coba saja, apakah dia benar-benar muncul di peron yang dia maksud,” katanya, meyakinkanku.
Ini gila. Tapi, kalau ada Adimas yang menemaniku, aku sedikit tenang. Dalam satu jam perjalanan, kami sampai di stasiun. Aku celingak-celinguk mengamati apakah ada seseorang yang mengikutiku.
Ah, sungguh bodoh. Kenapa juga aku memercayai ucapan peneror tak jelas itu? Toh, sampai keluar stasiun, tidak ada sesuatu yang mencurigakan! Dalam minggu-minggu berikutnya, aku bahkan sudah berani berangkat sendiri. Mungkin, aku terlalu berlebihan.
“Sudah kubilang kita akan bertemu di peron 4-6. Kamu pernah menuliskannya di salah satu sajakmu, bukan? Jadi, siapa laki-laki yang memelukmu di peron 4-6?”
Baru juga aku duduk, aku sudah dikagetkan oleh seseorang di sampingku. Ternyata, dia adalah laki-laki yang kutemui di belik dulu.
Tunggu dulu—dia tahu tentang peron 4-6 yang kutulis di akun Instagramku? Ternyata dia benar-benar menguntit segalanya!
“Aku tidak suka kamu bersama laki-laki lain. Siapa yang bersama dirimu di kereta tiga minggu lalu?”
Tolonglah, apakah aku harus menjelaskan soal Adimas? Rekan kerja yang punya julukan suami dinasku dan aku istri dinasnya? Sahabat yang selalu ada ketika aku senang maupun hancur? Oh Tuhan, laki-laki ini sungguh tidak sopan.
“Kamu bukan siapa-siapaku. Berhentilah bertingkah tidak sopan.”
“Sekarang aku bukan siapa-siapa. Tapi nanti aku akan menjadi siapa-siapamu.”
Aku sungguh kesal. Kenapa kebanyakan laki-laki tampaknya belum bisa menghargai perempuan sebagai sesama manusia? Sungguh, ini seolah-olah memperlihatkan bahwa perempuan baru aman karena sudah dimiliki laki-laki, entah itu suami atau pacar. Begitupun ketika seorang perempuan berjalan dengan teman laki-lakinya, ia cenderung tidak diganggu. Bukan karena perempuan itu dihormati, tapi karena dianggap sudah menjadi properti milik lelaki di sebelahnya.
Aku beranjak meninggalkan laki-laki menyebalkan di sebelahku. Tapi, sepertinya Tuhan memang belum puas bercanda denganku akhir-akhir ini. Di jalur 5 dari peron 4-6, kulihat seorang lelaki memeluk seorang perempuan. Perempuan itu masuk ke dalam rangkaian kereta dan melambaikan tangan kepada laki-lakinya.
Demi apa pun, aku masih ingat jaket yang dipakai laki-laki itu, berapa sobekan di celana jins-nya, hingga cambang tipisnya. Bahkan, aku masih ingat bagaimana bau tubuhnya.
Bayun.
Ah, bukannya aku sudah melupakan nama itu? Aku bahkan menganggapnya sudah mati. Tapi, hei, dia ada di sana, bersama perempuan lain!
Jagadku gelap saat itu juga. Sebentar lagi, pasti aku jatuh.
“Matamu boleh suwung, tapi tidak boleh basah.”
Entah apa yang merasukiku, tapi aku menerima pelukannya—laki-laki yang berapa menit lalu ingin kulempar mukanya dengan sepatuku. Di peron 4-6, dia memelukku. Bukan Bayun, tapi Aran.
Ah, aku mulai menyebut namanya. Mungkinkah aku sudah berdamai dengannya?
“Sonya, aku sungguh mencintaimu,” bisiknya.
Baca cerita berikutnya di sini.