Baca cerita sebelumnya di sini.
Semburat jingga masih tersisa selarik di langit senja. Suara motor anaknya membuat Gayatri tergeragap dari tidur-tidur ayam yang entah sudah ia alami berapa lama. Kursi yang ia duduki sejak sore tadi sampai terasa panas. Lehernya kaku dan kakinya kesemutan.
Gayatri membiarkan Larasati membuka pintu dan memasukkan motornya di bagian tepi ruang tamu, dekat kursinya. Duduknya belum tegak betul. Meski sayu, matanya kini terbuka dan mengikuti setiap gerak tubuh anak gadisnya.
“Ras…,” ucapnya pelan.
Larasati yang melintas tanpa menyapa, menghentikan langkah dan menoleh padanya. Ia putar badan, lalu mematung menghadap ibunya. Bibirnya masih rapat.
“Kamu masih punya sisa uang gaji bulan ini?” tanya Gayatri.
Mata Larasati bergulir dan menatapnya. Gadis itu membuang napas kuat-kuat sampai pundaknya jatuh. Raut mukanya sedih dan lusuh. Tak ada citra bahagia sedikitpun tampak di sana.
“Telepon genggam milikmu bisa dijual dulu?” Gayatri mencoba meminta.
Larasati membatu.
“Atau cincin itu?” sambung Gayatri.
Larasati sudah sampai pada titik ledaknya. Ia menggeleng kuat-kuat, lalu berbalik dan berjalan cepat menuju kamarnya.
Tiga detik kemudian, pintu tripleks tipis kamar Larasati terbanting. Suara gerendel kunci terdengar digeser buru-buru dari dalam. Gayatri tahu Larasati pasti menangis lagi di dalam.
Gayatri bukan tak sayang pada anaknya. Ia hanya bingung bagaimana lagi ia harus bertahan kali ini. Sulur-sulur pegangan yang selama ini menopangnya di tepi kubangan utang telah putus semua hari itu. Gayatri sedang bersiap-siap untuk tenggelam.
Ia tidak lupa bahwa selama ini Larasati sudah sering sekali memberikan apa pun yang ia miliki untuk sekadar menutup sedikit sekali lubang utang dan memperpanjang sedikit jatuh tempo penagihan. Hanya sedikit.
Kebanyakan utang-utangnya ia tutup dengan cara menggali lubang utang lainnya. Sesekali ia bisa sedikit berlega hati karena seorang saudara jauh masih mau dipinjami uang tanpa batasan waktu. Uang itu ia gunakan untuk menutup sebagian utang dan membeli makanan yang lebih baik untuk keluarganya.
Tapi makin hari, ia makin tak mampu mengatur keuangan meski dagang mindring yang ia lakukan berjalan cukup lancar. Semua modal dagangnya adalah utang. Ia hanya bisa mengambil keuntungan setelah barang laku dan dibayar. Sayang sekali, kebutuhannya selalu jauh lebih besar dari keuntungan yang bisa ia kumpulkan.
Belum lagi Darman yang sering memaksa meminta uang padanya dengan alasan ongkos bensin dan rokok untuk modal bertemu Bos Besar yang hendak memberinya proyekan. Celakanya, ongkos bensin dan rokok itu semacam anak panah yang sudah telanjur terlontar dari busurnya. Selalu mustahil mengharapkannya kembali, meski setiap kali memaksa minta, kalimat Darman selalu penuh janji.
“Ini proyek besar. Nanti aku akan mendapat bayaran lumayan untuk beberapa hari ke depan. Sini, lah, kasih aku dua ratus ribu saja. Pasti minggu depan kukembalikan berkali lipat besarnya,” ucapnya berbusa-busa.
“Ini cuma ada uang dagangan, harus kusetorkan ke Bu RT supaya aku bisa mengambil barang baru lagi,” jawab Gayatri sambil berusaha melindungi dompetnya.
“Halah, cuma dua ratus ribu, loh! Pasti kukembalikan. Pasti!” Darman mulai meninggikan suaranya.
Entah sihir apa yang Darman miliki, Gayatri tak pernah bisa benar-benar menolak permintaannya. Padahal, puluhan kali sebelumnya, kalimat serupa telah ia ucapkan, janji yang sama telah ia jejalkan. Semuanya ia ingkari, bahkan sampai detik ini. Tapi Gayatri selalu menyerah dan membiarkan Darman mengambil sebagian uang yang seharusnya ia setorkan pada juragannya.
Kejadian selanjutnya seperti gerakan jarum terkecil pada lingkaran jam. Teratur dan sangat bisa ditebak. Gayatri akan mencari pinjaman atau minta tombokan dari anaknya. Lalu seada-adanya, uang ia setorkan pada juragan barang dagangannya. Ia ambil barang lagi, tapi tak bisa sebanyak sebelumya karena ia masih berutang, kemudian berjualan kembali dengan cara yang sama.
***
Gayatri sudah pasrah seandainya hari ini juragan panci, yang bahkan barangnya sudah tidak ia jual lagi, datang padanya dan menagih utang yang tak pernah bisa ia lunasi. Ia bahkan sudah siap seandainya dirinya dicincang atau rumahnya dirobohkan sekali pun. Ia benar-benar merasa sudah tidak berdaya.
Pada anak bungsunya, ia berpesan untuk tidak ke rumah dulu saat pulang sekolah nanti siang. Anak SMP itu hanya mengangguk santai. Diperintah demikian atau tidak pun, ia tidak pernah langsung pulang ke rumah selepas sekolah. Ia punya tempat nongkrong yang lebih menyenangkan hatinya daripada rumahnya sendiri yang sama sekali tak punya kehangatan.
Larasati menyeduh sereal saset dan meminumnya perlahan sebelum melengkapi dirinya dengan jaket dan sarung tangan. Sarapannya memang selalu semenjana. Rumah ini hampir selalu tak punya apa-apa selain gula, kopi, dan teh di lemari makan. Nutrisi untuk tubuhnya akan ia penuhi di kantin tempatnya bekerja nanti siang.
Gayatri tak berniat ke mana-mana. Ia akan menunggu orang-orang itu datang. Akan ia hadapi, apa pun yang terjadi.
Saat Larasati keluar melewatinya di ruang tamu, ia tak hanya meraih tangannya untuk dicium layaknya seorang anak. Sambil meraih tangan ibunya, gadis itu menyelipkan sesuatu.
“Ini milikku yang terakhir, Bu. Sudah tidak ada lagi,” ucap Larasati dingin.
Gayatri terkejut. Badannya membeku beberapa saat. Ia bahkan lupa menjawab salam Larasati. Tangan yang diselipi sesuatu oleh Larasati masih tergenggam kuat sampai gadis itu menghilang di ujung tikungan.
Setelah menghela napas beberapa kali, Gayatri membuka tangannya. Ia melihat gulungan plastik berisi kertas dan beberapa perhiasan. Ia segera membuka dan memeriksa semuanya. Dua buah cincin, seuntai kalung kecil beserta liontin, dan selingkar gelang rantai tipis dengan batu warna warni.
Tanpa membuang tempo, ia mulai menghitung harga semua barang milik anaknya itu. Ia pernah menjadi makelar jual beli perhiasan emas, maka dari semua kuitansi yang menyertai perhiasan anaknya, ia bisa memperkirakan jumlah uang yang bisa didapatkannya.
Sambil mengusap pipinya yang basah, ia membersihkan diri dan bersiap pergi ke toko emas untuk mencairkan semuanya.
Di atas sepeda tua yang berderit-derit saat dikayuh, Gayatri membiarkan seluruh tubuhnya mencerna semua getaran yang tadi ia rasakan saat Larasati menyentuh tangannya. Sehancur-hancurnya ia menjadi ibu, ia selalu mendoakan anak gadisnya agar selalu menjadi anak yang baik dan berbakti padanya. Ia sempat berburuk sangka bahwa doa-doa itu tak akan pernah diijabah karena selalu ia tabrak dengan perilaku buruk pada Larasati.
Namun hari ini, saat ia kehilangan semua harapan, justru Larasati yang selalu ia sakitilah yang datang memberi pertolongan. Gayatri tak bisa berkata-kata, bahkan sekadar terima kasih pun. Padahal biasanya, saat ia diberi pinjaman uang oleh saudara atau siapa pun, mulutnya selalu berbusa-busa mengucapkan segala janji. Jika perlu, janji-janji itu ia bumbui dengan sanjungan dan doa-doa kebaikan yang diucapkan hanya untuk membuat orang mau memberinya kepercayaan.
Meskipun, harus diakui, sebagian besar kepercayaan yang ia genggam, dengan segera berubah menjadi asap, lalu terbang menghilang.
Hari ini, Larasati memberinya cinta. Setidaknya, itulah arti getaran yang berhasil ia terjemahkan.
Baca cerita berikutnya di sini.