Baca cerita sebelumnya di sini.
I can’t chat with you, not anymore From: Witfana Aulia <[email protected]> Date: 25 Feb. 2019, 14:52 WIB To: Andangsaki Kalasan <[email protected]>
Sorry for the late, late reply…
Something indeed happened to me, but it wasn’t the airplane accident. So… don’t worry. I’m as safe as a cocoon.
I’m already at my home, in Jakarta. Maybe I should call it ‘a house’, instead of ‘a home’. My parents’ house, to be precise, not mine. I don’t know when I will have my own house. I don’t even know if I ever need one. Like I said, I might die young, younger than Kurt Cobain and Amy Winehouse.
So… Kala, aku bingung mau cerita apa. Lebih tepatnya, bingung mau cerita dari mana.
Aku lama bales email kamu bukan karena aku nggak mau ngobrol lagi sama kamu, tapi aku nggak tahu apa yang harus aku ceritain. Aku bener-bener bingung sama diriku sendiri. Kemarin aku pikir aku butuh waktu untuk mempelajari apa yang aku rasain, tapi sampai aku ngetik email ini, aku masih belum tahu.
Aku akhirnya kirim email ini cuma karena ngerasa nggak bisa ngediemin kamu lebih lama lagi. Aku nggak tega…
Atau mungkin, memang aku yang nggak mau?
Aku pergi ke Jogja. Aku nunggu kamu di Tugu. Aku tahu apa yang aku lakuin dan aku tahu apa konsekuensinya. For the second time I tell you this: I’m young, but not stupid. Jadi aku udah ngebayangin apa pun yang bakal terjadi. Lantas, kenapa aku masih ngelakuinnya? Karena keinginanku untuk ketemu kamu jauh lebih besar dari semua ketakutanku, Kala.
Itulah yang bikin aku bertindak—kalau aku pakai kata-katamu—sembrono.
Aku nggak impulsif, nekat, dan sembrono. Aku ngelakuin apa yang harus aku lakuin. Kamu yang nawarin aku ngopi bareng, kan? Aku yang ngambil langkah duluan buat nemuin kamu. Sekarang kamu bilang aku sembrono? Oh, please.
Kamu yang terlalu hati-hati, Kala. Kamu cowok penakut. Pengecut. Mungkin itu alasan pacar kamu dulu ninggalin kamu. Siapa namanya? Raisa? Raisa pasti nggak tahan sama kepengecutan kamu. Nggak ada cewek yang tahan sama cowok pengecut, cowok yang kebanyakan mikirnya daripada bertindaknya.
Iya, itu kamu, Kala.
Maybe you act like that sweet guy, sweet and melancholy guy and poetic and everything, but you’re a coward. A COWARD, U KNOW?!!
Kamu bukannya nggak tahu cara nemuin aku di Tugu, tapi kamu terlalu takut sama apa yang terjadi. Kamu mau main aman! Kamu selalu cari aman sama hidupmu, itu sebabnya enggak ada hal yang beres di hidupmu!
Cowok pengecut!
Di Tugu, aku ketemu papa kamu. Dia nabrak aku. Sial banget, nggak, di antara banyak orang yang ada di situ, kenapa harus aku yang dia tabrak? Lagian di Tugu memang banyak orang yang foto-foto, jadi bukan salahku. I mean it’s not entirely my fault.
But he’s a good man. A gentleman. Aku bahkan sempat mikir sesaat, andai papaku seperti papamu. Abis nabrak aku, dia minggirin mobilnya dan lari-lari ke arahku. Dia kelihatan panik banget. Dia nggak tanya apa-apa, dia langsung gendong aku dan bawa aku ke mobilnya. Dia sempat ngomong ke polisi bahwa itu salah dia dan dia mau tanggung jawab, jadi nggak ada persoalan yang panjang sama polisi.
Di mobil, aku bahkan udah nggak ngerasa kesel lagi. Malah, aku ngerasa akulah yang bandel dan papamu adalah papaku yang lain, yang khawatir dengan kondisi anaknya.
It was such a good feeling. A beautiful feeling….
But beautiful thing doesn’t last long. I should’ve known that.
Di rumah sakit, papa kamu langsung minta aku dirawat sebaik mungkin. Aku sempat lihat wajah papa kamu yang masih keliatan khawatir, bahkan habis dia masukin aku ke rumah sakit. Jadi aku mikir: ada apa dengan dia? Apa dia lagi ada masalah?
Habis aku selesai dirawat (yang ternyata cuma lecet-lecet ringan, I knew it), aku cari papa kamu. Aku ke sana-sini sampai aku ngeliat dia belok ke sebuah lorong. Aku ikutin dia. Dia masuk ke salah satu kamar rawat. Aku berdiri di dekat jendela.
Dari luar, aku lihat kamu. Usia kamu persis seperti perkiraanku: 12 tahun.
Dari mana aku tahu itu kamu? Bukan di saat aku ngeliat kamu dari luar kamar, tapi setelah kamu keluar dari kamar.
Aku buru-buru sembunyi di balik sudut tembok waktu kamu keluar, terus kamu duduk di bangku tunggu di lorong. Aku ngeliatin kamu dari jarak yang aman. Kamu cuma diem, nunduk. Kamu narik napas—keliatannya berat banget. Aku nggak tahu apa yang terjadi di kamar rawat. Aku nggak tahu siapa perempuan yang di tempat tidur pasien itu, tapi aku tiba-tiba teringat email kamu yang sebelumnya. Apa itu mama kamu?
Aku udah mau nyamperin kamu. Aku udah jalan satu langkah, waktu aku lihat tiba-tiba ada anak lain yang nyamperin kamu. Cewek. Duduk di sebelah kamu. Deket banget sama kamu, bahunya nyaris nempel sama bahu kamu. Dia siapa?
Aku langsung mundur ke balik tembok. Pandanganku masih ke kamu, ke cewek itu juga.
Tahu-tahu cewek itu megang tangan kamu. Aku tahu, aku lagi ngeliatin anak kecil. Dua anak kecil yang lagi pegangan tangan. Malah, sebenernya cuma dia yang megang tangan kamu. Kamu nggak ngelakuin apa-apa, nggak ngerespons. Aku liat cewek itu ngomong sesuatu ke kamu. Aku nggak tahu apa yang dia omongin. Tapi habis itu kamu bener-bener nangis. Lalu cewek itu ngerangkul kamu, terus nempelin keningnya ke kening kamu.
Aku nggak tahu apa yang aku rasain, Kala. Aku… cemburu?! I don’t even believe in myself when I’m saying this. Cemburu sama anak kecil umur 12 tahun? Anak kecil, yang bahkan nggak tahu aku siapa?
Tapi truth be told, itu yang aku rasain, Kala. Aku cemburu. Sekonyol apa pun kedengarannya, aku cemburu. Aku cemburu. Mungkin aku nggak bisa ngelepasin pikiran bahwa Kala kecil dan Raisa kecil itu nantinya akan beneran pacaran pas mereka dewasa. Bahkan anak kecil itu bakal jadi mantan kamu yang mungkin paling sulit kamu lupain, mungkin yang nggak akan pernah bisa kamu lupain. She’s simply a big hole in your heart.
Aku tiba-tiba aja ngerasa bodoh. Aku ngerasa nggak penting ada di situ.
Jadi aku pergi dari rumah sakit. I don’t even bother to say ‘hi’ to you. Aku nggak melakukannya bukan karena aku mikirin konsekuensi dari apa yang bakal kejadian di masa depan kalau kita beneran ketemu. That ‘traveling-in-time’ and ‘a-hole-in-time’ and ‘timeline-instability’ are shits. I don’t care about all that! I want to meet you. I just want to meet you, Kala. Isn’t that what you want, too?
Tapi udah nggak ada gunanya lagi, aku pikir. I mean, what’s the point? What’s the point kalau kamu udah punya Raisa dan ditakdirkan sama dia? We’re talking about fate now, right? Jadi buat apa ada aku?
Kamu kelihatan panik banget. Kamu ngomong soal rencana besar and shit. Takdir, Tuhan, all those bullshit. Kenapa? Kamu takut aku ngeganggu takdirmu sama Raisa? I’m sure it is. Kalau nggak, kenapa kamu sehati-hati itu mau ketemu aku? Sekhawatir itu? Sepanik itu? SEPENGECUT ITU?!
So… I guess that’s it for us, Kala. This is my last email. You won’t get anything else from me, starting from now.
GOODBYE.
From nobody.
Baca cerita berikutnya di sini.