Baca cerita sebelumnya di sini.
Conversation over coffee? How? From: Witfana Aulia <[email protected]> Date: 11 Feb, 2019, 14:27 WIB To: Andangsaki Kalasan <[email protected]>
Hai, Kala.
Kadang-kadang ya, aku sadar kalau aku ini orangnya terlalu banyak protes. Protes sama kelakuan orang-orang bodoh di Instagram, protes sama sinetron-sinetron dan tayangan lain di tivi yang cuma bikin bego, sampai protes sama seleb-seleb di dunia entertainment yang nggak pernah sadar bahwa mereka sering bawa pengaruh buruk. Public figure, my ass.
Tapi, Kala, walaupun aku sering protes kayak gitu, aku nggak pernah bayangin kalau masa depan sekelam yang kamu gambarin.
Aku masih optimis sama masa depan. Aku nggak tahu kenapa. Aku tahu aku sering sinis, tapi kalau udah ngomongin soal masa depan—I mean bukan masa depan yang besok atau setahun mendatang, tapi sepuluh tahun, dua puluh tahun kemudian—aku nggak pernah ngebayangin dunia bakalan jadi kayak di film-film distopia. Kayak di The Hunger Games yang punya tradisi nyeremin kompetisi hidup-mati itu, atau The Giver, yang orang-orang di dunianya keliatan bahagia, tapi kebahagiaan mereka semu.
Kamu pernah nonton film Her? Itu film yang dibuat di zamanku, tapi siapa tahu di zaman kamu masih ada yang bahas film itu. Aku suka Her. Dunia kayak di film Her itulah yang aku bayangin bakalan jadi masa depan dunia. Seenggaknya, duniaku.
Di dalam film Her, dunia nggak dibikin hancur-lebur jadi puing kayak di film The Hunger Games, atau monokrom kayak di The Giver. Dunia di film Her penuh warna-warni. Warna-warnanya pun lembut dan nenangin banget. Aku suka gambaran dunia masa depan yang kayak gitu. Aku berharap dunia masa depanku bakalan seperti itu.
Langit kelabu dan unsur kimia beracun? Aduh. I don’t think I wanna live in that kind of world. Kalau emang sepuluh tahun lagi aku bakal hidup di tempat kayak gitu, mungkin aku perlu mikirin ulang soal keinginanku bunuh diri yang sempat gagal. Mungkin, aku akan mencobanya lagi sebelum aku hidup di tempat kayak tempat tinggal kamu sekarang. Langit kelabu, unsur kimia beracun, masker wajah khusus….
By the way, untuk ukuran orang yang kelihatan serius, kamu lumayan melankolis juga, ya? Tapi, cowok serius emang biasanya melankolis, sih. Apalagi kalau kayak kamu, yang baru sekali jatuh cinta, terus putus setelah pacaran bertahun-tahun. Aku cuma bisa bayangin kayak gimana rasanya.
Aku belum pernah pacaran selama itu. Boro-boro bertahun-tahun, bisa tahan sampe tiga bulan aja udah bagus. Guys I’ve met just bored me to death. All of them. Di awal mereka keliatan menarik, good looking and everything, tapi ada aja yang bikin aku ilfil, atau ya simply aku bosen aja. After couple of days or weeks, they’ve lost their charm.
C’mon, Kala. I might be young, but I’m not stupid. I’m well-read, just so you know. Aku baca buku-buku sosial, politik, dan filsafat sejak pertama aku masuk SMA. Aku baca buku koleksi ayah. Kamu nggak perlu jelasin lagi apa itu arti ideologi.
Come to think of it, aku tiba-tiba kepikiran. Kayaknya itu yang bikin aku nggak bisa pacaran lama sama mereka: cowok-cowok yang aku temuin ganteng, tapi otaknya kosong. Isi kepalanya cuma mobil, ngeseks, mobil, ngeseks, dugem, dan mabok.
Don’t get me wrong, I’m not against entertainment, any kind of entertainment human can get for themselves. Aku percaya kalau kamu mau hidup waras di dunia ini, kamu harus tahu cara menghibur diri, juga harus punya hobi. Aku tertarik sama kendaraan, sama mesin. Tapi, pamer mobil yang dibeli sama harta bokap-nyokap? Please.
Aku pernah ciuman, tapi aku nggak pernah ML. Aku nggak mau sama mereka. Aku masuk club and I go there for the music. Kalau musiknya nggak jelas, aku cabut. I drink, but I know my limit. Buatku, harta paling berharga yang manusia punya adalah kesadaran. Aku nggak mau kehilangan kesadaranku (and certainly not my virginity, not to a handsome, stupid, hollow guy).
About going to college, you got that right, dude. Ayah pengin aku jadi dokter. Nggak cuma dokter, tapi harus di kampus yang itu. I once said, what if I failed the entrance exam? Apa aku coba Fakultas Kedokteran di kampus lain? Ayah bilang aku nggak perlu kuliah sampai aku masuk kedokteran di kampus itu.
Khilafah? Wow.
Though I kind of see that coming, tapi rasanya tetap kaget kalau ternyata beneran kejadian. You know, I have nothing against religion. Buatku ya agama itu baik, karena ngajarin hal yang baik. Agama ada supaya manusia jadi baik, punya hidup baik. But a state based on just one religion? Di negara kayak tempat kita ini, kayak Indonesia? Nope, no. It doesn’t sound very nice. Sounds like a bad idea, even.
Aku masih nggak ngerti soal bocah yang bawa revolver. What got into that poor kid? A kind of sorcery? Kerasukan? Kena hipnotis? Atau emang depresi? Dari mana dia dapetin senjatanya? Itu bener-bener nyeremin.
But I’m glad you’re safe. Aku tahu kamu hobi banget motret, but next time you got trapped in that kind of horrible situation, please, pretty please, find a shelter before you take any picture.
Aaaand… Sure, why not? I’m not a huge fan of that black, bitter-tasted liquid, but having a cup of coffee with you seems nice. I would love to have a conversation over coffee with you, Kala.
But… How?
Gimana caranya seorang gadis yang hidup di tahun 2019 bisa bertemu, physically, face to face, sama cowok yang hidup di tahun 2029? I do know a bit about time traveling, quantum physics, et cetera, but I don’t think they’re of any help.
Xoxo,
Fana.
Baca cerita berikutnya di sini.