MOJOK.CO – Indomie burjo konon lebih enak dibandingkan dengan balikan sama mantan sekalipun.
Sebagai mahasiswa kere yang sering nongki di burjo, saya kok tertarik menulis tentang seluk beluk perburjoan. Apalagi redaksi Mojok kerap menerbitkan pelbagai artikel yang berkaitan dengan burjo, seperti artikel “Ada Nunuk Nuraini dalam Setiap Porsi Indomiemu” atau artikel “Kolonialisasi Warung Burjo di Tanah Mataram: Sebuah Teori Konspirasi”.
Setelah membacanya, saya merasa kedua artikel tersebut terlalu meromantisir burjo sebagai fenomena unik. Berbekal observasi, saya mencoba mengangkat fakta-fakta terselubung di balik gurita bisnis waralaba perburjoan (warmindo) di Jogja.
Hampir semua burjo di Jogja buka 24 jam nonstop. Di sini kita tak akan sulit menemukan burjo, bisa ditemui hamper di setiap gang dengan orang-orang Sunda ini yang biasa dipanggil aa’ dan teteh sebagai penjaganya.
Burjo alias warmindo bisa dibilang salah satu tempat makan dan nongkrong favorit mahasiswa dari pelbagai kalangan, dari yang hedon sampai kalangan kere seperti saya. Popularitas burjo konon disebabkan oleh rasa Indomie bikinan aa’ dan teteh yang entah mengapa jauh lebih enak disbanding bikinan kita sendiri. Beberapa orang juga percaya, burjo hadir di Jogja bersamaan dengan datangnya Kiai Faizi ke kota ini.
Mengapa Indomie buatan burjo bisa begitu enak dan berbeda dari buatan kita?
Jawabannya penuh spekulasi. Ada yang percaya bahwa tangan-tangan aa’ dan teteh burjo memiliki daya magis. Ada pula yang percaya, Indomie yang dijual berbeda dengan Indomie kebanyakan. Sebagian lain percaya Indomie burjo dimasak dengan rasa cinta.
Mari kita coba bongkar masalah ini dengan mengurai sosok aa’ dan teteh di balik kelezatan olahan Indomie burjo.
Banyak yang mengira aa’ dan teteh yang melayani pelanggan burjo adalah pemilik burjo itu sendiri. Ternyata itu salah besar. Relasi kerja di burjo adalah relasi burjoasi-proletar. Burjo bukan milik aa’ dan teteh yang menjaga warung, mereka hanyalah kaum proletar yang bekerja kepada bos mereka yang tinggal di Kuningan sono. Memang masih ada burjo yang dimiliki penjaganya sendiri, tetapi jumlahnya hanya hitungan jari.
Rasa Indomie yang enak konon diracik dari eksploitasi relasi ini. Keringat dan air mata aa’ dan teteh burjo ketika memasak mi adalah resep kunci yang tak bisa kita hadirkan di dapur kita sendiri.
Ketika sudah menyinggung relasi borjuasi-proletar, wajar jika ada pertanyaan, berapa sih gaji aa’ dan teteh itu sebagai buruh burjo?
Setelah bertanya langsung, saya mendapat info bahwa gaji mereka berkisar dari Rp8—10 juta. Wow, fantastis!
Eits, tunggu dulu. Itu bukan gaji per bulan lho ya, tapi per tahun. iya, per tahun! Dan gaji tersebut hanya bisa dicairkan sebelum musik mudik Lebaran tiba. Ya, lumayalah buat beli baju baru meski harus nunggu belasan bulan dulu baru bisa megang duit cash.
Jika gajinya hanya cair setahun sekali, lantas dari mana mereka bisa memenuhi kebutuhan makan tiap harinya?
Tak usah khawatir, bos mereka masih baik kok. Tiap hari mereka dibebaskan makan, minum, dan ambil rokok di burjo. Gratis, tis, tis. Baik banget kan bosnya… sudah dikasih gaji puluhan juta, dikasih romantis (rokok-makan gratis) pula.
Nah, karena nyaris setiap hari makan Indomie, mereka bisa melakukan eksplorasi dan mengembangkan cita rasa mi dengan maksimal. Sama seperti jika kamu makan nasi setiap hari, kamu akan tahu, nasi akan enak dimakan dengan apa. Aa’ burjo akan menemukan jalan keluar untuk bisa membuat makanan mereka lebih enak.
Dengan demikian, mi yang Anda makan itu merupakan produk survival of the fittest dari aa’ dan teteh burjo.
Bagi yang kerap makan di burjo tentu ngeh jika ada waktu-waktu tertentu kita bertemu dengan aa’ yang ini dan ada waktu tertentu kita bertemu dengan teteh yang itu. Ya, mereka memang bekerja dengan sistem sif.
Di burjo ada dua sif, pagi dan malam. Sif pagi dimulai dari terbitnya fajar (sekitar pukul 5.00) hingga fajar terbenam (sekitar pukul 17.00), sedangkan sif malam berlaku sebaliknya. Artinya, tiap sif bekerja sepanjang 12 jam. Durasi jam kerja tersebut jauh di atas jam kerja normal (8 jam/hari).
Lalu, liburnya kapan?
Tidak ada kata libur dalam kamus perburjoan. Dan justru jam kerja yang panjang membuat totalitas mereka untuk menyempurnakan keahlian memasak Indomie makin paripurna. Ya iyalah, kerja terus. Aa’ dan teteh burjo gitu loh, kan terkenal pekerja keras nan setrong. Nggak kayak buruh-buruh pabrik sono yang dikit-dikit minta jam kerja dikurangin, dikit-dikit minta uang lembur. Buruh lemah!
Lagian libur juga buat apa sih. Mereka kan jauh dari rumah. Rata-rata penjaga burjo datang dari Kuningan, dengan latar belakang keluarga tidak mampu dan pendidikan SD atau SMP (beberapa lulusan SMA). Makin terasa betapa mulia hati bos burjo yang ikhlas mempekerjakan orang-orang tanpa perlu syarat CV lah, pengalaman kerja lah, ijazah lah, atau SKCK.
Ya, memang sih aa’ dan teteh burjo bisa aja jalan-jalan sama teman seburjonya ke Amplaz atau nyari baju bekas di Sekaten atau nyoba odong-odong di Alkid atau menonton anak-anak alay di titik 0 km yang parkirnya 5 ribu per motor itu.
Tapi, jangankan jalan-jalan, sebenarnya bersilaturahmi ke burjo tetangga saja sulit bagi mereka karena tak ada libur. Hanya saja lihat sisi positifnya: aa’ dan teteh jadi bisa tetap fokus berkompetisi mengembangkan mi terbaik antarburjo kan?
Poin terakhir yang memberi sumbangsih pada kelezatan Indomie burjo adalah fasilitas hidup aa’ dan teteh di burjo tersebut. Dalam warung yang berukuran tidak besar, mereka hanya disediakan satu kamar ukuran mini nan ekonomis: 2 x 3 meter saja. Dan dalam satu kamar itu, mereka harus berbagi dengan kawan-kawan mereka sesama buruh burjo.
Bagi kelas menengah, fasilitas seperti ini dianggap tidak manusiawi. Bagaimana mungkin kamar sesempit itu ditempati lebih dari satu orang? Tapi inilah jalan ninja mereka. Sebab, cara terbaik memperoleh kemampuan tertinggi adalah dengan melewati jalan penderitaan.
Itulah sejumlah rahasia mengapa Indomie burjo enak sekali.
Emang SJW (social justice warrior) di mana-mana cuma bisa ngomong doang (hih!), sementara aa’ dan teteh burjo akan tetap memasang raut happy kala melayani kita, tetap asyik kala diajak bercanda, kadang sotoy kala diajak bercerita, dan pastinya tetap satu suara untuk urusan Persib nu aing!