MOJOK.CO – TVRI bakal sangat kehilangan Liga Inggris. Sebuah liga yang penuh dinamika. Salah satunya pelajaran akan kerja keras dari Martinelli di laga Chelsea vs Arsenal.
Saya nggak tahu apa sebabnya. Shkodran Mustafi hampir selalu bermain bagus setelah dia membuat blunder fatal. Blundernya ketika melawan Chelsea memaksa David Luiz menjatuhkan Tammy Abraham di kotak penalti Arsenal. Luiz kena kartu merah dan Granit Xhaka menjadi bek tengah dadakan.
Apa yang terjadi? Setelah menit ke-27 itu, Mustafi menjadi begitu tenang. Menjadi bek tengah yang sesungguhnya bek tengah, bukan badut lapangan hijau. Berduet dengan Xhaka, Mustafi membut lini pertahanan Arsenal menjadi agak solid. Sepanjang babak kedua, pertahanan Arsenal membuat 23 lebih tekel dan intersep.
Bermain dengan 10 pemain sejak menit ke-27, The Gunners selalu bisa mengejar gol Chelsea. Salah satu gol dicetak dengan luar biasa. Gabriel Martinelli mengontrol bola di depan kotak penalti sendiri. Pemain berusia 18 tahun asal Brasil itu melakukan sprint sejauh satu lapangan bersama bola menembus pertahanan Chelsea.
Sebuah penempatan cantik ke sisi kanan gawang Chelsea membuat Arsenal menyamakan kedudukan. Gol yang magis, berasal dari kaki seorang remaja berusia 18 tahun. Sebuah momen yang membuat sepak bola begitu dicintai. Sebuah momen yang membuat Liga Inggris begitu diminati.
Skor akhir antara Chelsea vs Arsenal adalah 2-2. Skor yang menggambarkan keseruan pertandingan itu. Keseruan yang membuat Liga Inggris bisa dijual dengan mahal. Sebuah pemakluman karena pemirsa bisa menikmati seni sepak bola tingkat tinggi. Sebuah kesenangan, sekaligus pembelajaran akan sepak bola modern. Baik soal taktik, sampai pengelolaan.
Ketika kebanyakan penikmat sepak bola mencintai Liga Inggris, ada sekelompok manusia di Indonesia yang punya pikiran berbeda. Menurut mereka, keseruan Chelsea vs Arsenal dan momen magis Martinelli tidak “selaras dengan jati diri bangsa”.
Menurut Dewan Pengawas TVRI, tayangan Liga Inggris tidak selaras dengan jati diri bangsa. Menurut TVRI, Liga Inggris tidak sesuai dengan citra TVRI sendiri, yaitu sebagai “media edukasi”.
Momennya adalah rapat dengar pendapat antara Dewan Pengawas TVRI dengan Komisi I DPR (21/1). Dewan Pengawas TVRI menjelaskan beberapa alasan dengan cara yang sangat unik, otentik, dan “sesuai dengan jati diri bangsa”. Salah satunya adalah karena TVRI membeli hak siar Liga Inggris yang tak sesuai dengan jati diri bangsa.
“Kami bukan (stasiun televisi) swasta, jadi yang paling utama adalah edukasi, jati diri, media pemersatu bangsa, prioritas programnya juga seperti itu. Realisasinya sekarang kita nonton Liga Inggris,” kata Arief Hidayat, Ketua Dewan Pengawas TVRI menyayangkan.
Sebentar, tiba-tiba saya merasa tersesat setelah membaca pernyataan Dewan Pengawas TVRI itu. Gini, saya tidak berusaha membenarkan kalau proses pembelian hak siar Liga Inggris bermasalah. Ini “kalau” ya. Kan ini menjadi salah satu alasan pemecatan Pak Helmy Yahya. Kalau memang ada cacat proses di sana, yang salah kan bukan Liga Inggris, tetapi SDM-nya. SDM di mana? Ya Indonesia tercinta.
Nah, satu hal yang saya jelas tidak setuju adalah tidak ada edukasi dari Liga Inggris. Seakan-akan, edukasi hanya bisa didapat dari acara Kelompencapir atau Cerdas Cermat saja. Terkadang, sepak bola memberi inspirasi lebih hebat ketimbang nasihat guru-guru model lawas yang justru bikin ngantuk.
Oliver Holt, chief sport writer di Daily Mail mengungkapkan bahwa laga Chelsea vs Arsenal itu betul-betul sumber inspirasi.
“Penampilan yang sangat hebat dari Arsenal. Penuh dengan hal-hal yang sudah tidak kita lihat dari mereka sejak lama: karakter, determinasi, daya tahan, optimisme. Pujian pantas diberikan kepada Arteta untuk hasil tersebut,” kata Holt lewat akun Twitter pribadinya.
Apakah Dewan Pengawas TVRI pernah membaca perjuangan Martinelli? Musim 2019/2020 adalah tahun pertama Martinelli di Inggris. Dia datang dari sebuah klub divisi empat di Brasil. Usianya masih 18 tahun dan saat ini mendapat status generational talent atau salah satu talenta terbaik di angakatannya.
Meski masih berusia 18 tahun, Martinelli sudah paham arti kerja keras akan berbuah hasil. Dia sangat disiplin dengan kehidupan atlet. Dia tidak pernah tidur terlalu larut, tidak pernah ikut pesta. Padahal kita tahu, nama lain dari “Brasil” adalah “festival”.
Martinelli selalu mendorong dirinya untuk melebihi batas kemampuan. Dia sangat perhatian kepada detail perkembangan dirinya sebagai atlet. Dan hasilnya, perkembangan Martinelli sangat pesat. Dia menjadi salah satu remaja tertajam di Eropa. Kurang edukatif bagi Dewan Pengawas TVRI?
Liga Inggris memang tidak “bersih”. Masih ada tindakan rasis untuk pemain berkulit berwarna. Moise Keane, Fred, dan Paul Pogba pernah mengalaminya. Namun, pemain-pemain itu menunjukkan kepada kita cara menepis haters dan orang jahat, yaitu dengan berprestasi, dengan bermain baik. Kurang edukatif apa untuk TVRI?
Ini saya belum bercerita soal Everton, Liverpool, Chelsea, dan West Ham United yang memperlakukan petugas kebersihan sebagai pekerja profesional. Keempat klub itu membayar gaji pekerja kebersihan secara pantas. Keempatnya tahu kalau di Inggris, kesenjangan pendapatan sangat besar. Mereka ingin pekerja kebersihan hidup layak.
Dewan Pengawas TVRI tahu teman Martinelli yang namanya Mesut Ozil? Gelandang serang Arsenal itu mendonasikan semua uang hadiah yang didapat di Piala Dunia. Dear TVRI, tahukah kamu kalau Ozil dan istrinya membayari 1000 operasi untuk anak-anak yang tidak mampu. Bukan semacam operasi sunatan, tetapi operasi yang mengubah hidup mereka.
“Sebagai pesepak bola profesional, saya sungguh beruntung. Saya mengundang semua orang yang ingin dan mampu untuk membantu sebuah proyek spesial yang bermakna bagi kami. Saya dan Amine akan membiayai operasi untuk 1000 anak yang membutuhkan,” terang Ozil lewat media sosial.
Dear TVRI, sepak bola bukan hanya pertandingan semata. Sepak bola tak pernah selesai hanya dalam 90 menit saja. Ada perjuangan, kepedulian kepada sesama, ada perjuangan yang menginspirasi. Masih kurang edukatif, dear TVRI?
BACA JUGA Pecat Helmy Yahya, Dewas Tvri Nilai Liga Inggris Tak Selaras Dengan Jati Diri Bangsa atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.