MOJOK.CO – Melihat fakta lapangan, PSSI harus memberikan sanksi berat kepada Arema dan Aremania. Seperti beratnya sanksi kepada Persib Bandung tempo hari. Apa alasannya?
Alhamdulilah, puji Tuhan, tidak ada korban jiwa di laga Arema vs Persebaya ketika menyaksikan pertandingan ini lewat layar kaca. Namun, sayang sekali, kejadian-kejadian yang tidak ditayangkan televisi itu membuat rasa bungah berubah nestapa dalam sekejap. Kejadian-kejadian yang membuat angan perdamaian Bonek dan Aremania justru berjalan mundur.
Lewat Twitter, kamu bisa mencari kolase foto ketika Aremania merangsek ke dalam lapangan. Mereka menyiram dan memberi pupuk untuk rumput? Ya tentu tidak, my love. Beberapa suporter Arema tersebut melakukan intimidasi, bahkan mengajak gelut salah satu pemain Persebaya Surabaya.
Kira-kira, bagaimana perasaan Ratu Tisha, Sekjen PSSI, menyaksikan adegan ini ya? Komen di bawah kalau kamu tahu.
Sebetulnya, kekhawatiran akan terjadi gesekan di laga Arema vs Persebaya sudah terasa sejak beberapa hari yang lalu. Sejak laga amal antara Arema FC vs Madura FC. Laga amal yang seharusnya berjalan sejuk, justru diwarnai nyanyian-nyanyian kekerasan “Bonek J**cuk, di***uh saja!”
Ketika pihak panpel sangat percaya diri mengundang Bonek datang ke Stadion Kanjuruhan, pihak Aremania menolak dengan keras. Niat rekonsiliasi yang dimulai dari duduk bareng di stadion ditolak mentah-mentah. Aura dendam, dan niat untuk melukai suporter lawan itu masih terasa sangat kuat.
Yuli Sumpil, dirigen Aremania, menolak kedatangan Bonek dengan alasan menghormati nota damai antar-suporter. Oleh sebab itu, tidak ada Bonek yang menjadi sasaran, suporter Arema melakukan intimidasi kepada pemain-pemain Persebaya. Situsweb emosijiwaku.com menyebutnya sebagai “Invasi Lapangan ala Aremania”. Kamu bisa melihat kumpulan foto invasi Aremania di sini. Halo, Ratu Tisha, sehat? Diem-diem bae…
Beberapa kejadian yang perlu direkam dan dijadikan bahan Komisi Disiplin, antara lain:
1. Ada sebuah video yang beredar di Twitter, yang menayangkan seorang Aremania masuk ke lapangan dan membanting uang. Saat itu jeda babak pertama, dua pemain Persebaya, Roberto Pugliara dan Alfonsius Kelvan sedang melakukan pemanasan. Tiba-tiba, beberapa suporter Arema FC masuk ke lapangan dan melakukan intimidasi.
Ketika Kelvan berusaha mengingatkan, ia justru ditantang gelut oleh seorang Aremania. Dipikirnya ini bukan pertandingan balbalan, melainkan pra-match UFC di mana dua petarung ketemu dan biasanya saling tantang.
@MafiaWasit @HoofdbureauID @shizy_Lia @SuriyadiAhmad @ainurohman @niskleeeng @Made_Dav @ChandraSapoetRa @TukangKomporin @oryza_wirawan @suhadah234 @Yogie_sagrath @sulaimaneffendi @bonekcasuals @moehammadeffye1 @e100ss @haristantra Koyok ngene iki? pic.twitter.com/7xTgPlZpBU
— S Sutrisno || AREMALENG (@Sutris_isback90) October 6, 2018
2. Ketika laga berakhir, Aremania masuk ke lapangan. Ia merobek sebuah bendera dengan lambang Persebaya di dekat pemain-pemain Persebaya. Kalau bukan intimidasi, lalu namanya apa? Demo? Enggak sekalian bakar ban?
3. Nyanyian kekerasan yang masih sering dikumandangkan di tribun Arema. Sebagai, konon, suporter yang menyandang predikat terbaik, nyanyian kekerasan sangat tidak mencerminkan status itu. Tahukah kamu, nyanyian kekerasan itu akan direkam oleh suporter muda di alam bawah sadar mereka dan akan meledak ketika bertemu suporter lawan? Dari sinilah, kekerasan itu dipelihara dan diwariskan.
Ada yang berargumen bahwa tidak ada korban jiwa dari aksi negatif Aremania jadi biasa saja menanggapinya. Saya rasa ini bukan manusia yang berkomentar. Mengapa?
Aksi intimidasi, memprovokasi, menyerang secara verbal dan gesture adalah awal kekerasan suporter yang terjadi. Ranahnya ada banyak. Media sosial menjadi babagan liar ketika provokasi dan intimidasi tidak punya batas. Banyak tawuran warga, anak sekolah, hingga suporter yang terjadi karena aksi gagah-gagahan di media sosial.
Ranah yang lebih memprihatinkan tentu saja ketika pertandingan sepak bola tengah berjalan. Invasi suporter sudah pada tahap yang mengkhawatirkan. Memang, tidak ada Bonek “resmi” yang datang ke Stadion Kanjuruhan, sehingga pemain Persebaya yang menjadi korban. Aksi ini tentu saja ditonton oleh ribuan pasang mata Bonek di Indonesia. Dengan begini, aksi intimidasi berbuah menjadi dendam di dada Bonek.
Kalau dendam itu sudah semakin membara, apalagi melihat pemain-pemainnya disakiti, siapa yang bisa menjamin aksi intimidasi dan provokasi tidak menelan korban jiwa di masa depan? Aksi preventif justru sangat penting, bukan lalu menunggu kejadian ada yang menjadi tumbal nyawa lalu kamu bilang, “Wah, ini sudah gawat.”
Kondisi suporter sepak bola Indonesia sudah gawat, bahkan ketika Arema tidak bertemu dengan Persebaya. Ketika ada dua elite kubu suporter yang berseteru hendak membukan jalan perdamaian, akar rumput berteriak dan tidak terima. Dendam dan gengsi daerah menjadi alasan.
Model top down, seperti yang disampaikan Fajar Junaedi, dosen dan peneliti Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, tidak ada gunanya ketika para elite suporter masih mengizinkan nyanyian kekerasan dilagukan di tribun. Tidak ada niat yang baik di sini dan Aremania, suporter terbaik di Indonesia, yang justru memberikan contoh.
Ketika “belum ada korban”, inilah momen yang pas untuk PSSI. Jangan sampai menunggu ada korban sebelum memberikan sanksi yang berat. Intimidasi dan provokasi, yang berbuah benturan berbahaya di masa depan, harus diredam sedini mungkin. Sebagai “hakim”, PSSI perlu memberikan sanksi yang berat kepada Arema dan Aremania.
Kenapa berat? Karena aksi intimidasi ini seperti “tabungan korban jiwa”, seperti yang sudah saya singgung beberapa kali di atas. Kebetulan, ada Ratu Tisha, Gusti Randa (anggota Tim Pencari Fakta Komdis PSSI), dan Iwan Budianto (Kepala Staf Ketua Umum PSSI sekaligus CEO Arema) di atas tribun.
Kehadiran ketiga orang ini justru momen yang menarik, terutama Iwan Budianto. Ketika hukuman dari PSSI untuk Arema hanya biasa saja, kita patut curiga soal “lingkaran setan” yang pernah ditulis tirto.id.
Hukuman apa yang layak diterima Arema dan Aremania? Intimidasi dan provokasi yang menyimpan risiko merusak di masa depan sudah sama seperti “pembunuhan yang direncanakan”. Sepatutnya, sanksi berat yang dirasakan Persib Bandung, juga dirasakan oleh Singo Edan dan suporternya.
Supaya tidak lagi “edan” di masa depan dan sadar bahwa bersaudara itu sungguh enak. PSSI, kamu punya nyali?