Pelecehan di Sepak Bola Putri dan Perlunya Kita Tafakur Kepada Arsene Wenger

MOJOK.COSepak bola putri yang sedang memperjuangkan eksistensi dan kesetaraan dilukai oleh sekelompok suporter bebal. Mari, kita tafakur kepada Arsene Wenger dulu.

Dua hari yang lalu (8/10), Arsene Wenger mendapatkan penghargaan Legend Award. Sebuah penghargaan atas kontribusinya kepada perkembangan sepak bola Inggris. Memang, mantan pelatih Arsenal tersebut menjadi salah satu pionir sepak bola modern, yang perlahan menggusur kick and rush ala Inggris masa lampau.

Berikut pidato singkat Arsene Wenger ketika menerima penghargaan:

“Nah, yang akan saya lakukan di masa depan adalah membagikan semua hal yang sudah saya pelajari selama melatih. Saat ini, sepak bola punya tanggung jawab yang sangat luar biasa di dunia ini. kita hidup di sebuah dunia di mana sepak bola sudah menjadi seperti agama. Dan sekarang ini juga, dunia sepak bola punya tanggung jawab yang besar. Dan jika saya bisa sedikit membantu maka kenapa tidak.”

Ada dua kalimat dengan bobot yang berat di sana: “…sepak bola sudah menjadi seperti agama,” dan “…dunia sepak bola punya tanggung jawab yang besar.”

Sepak bola memang bukan lagi urusan 11 lawan 11 di atas lapangan. Pun sepak bola tak pernah selesai dalam 90 menit saja, seperti kalimat mutiara dari situsweb Fandom. Ada banyak tokoh, penokohan, unsur, dan kejadian yang membuat sepak bola dikultuskan, seperti yang disinggung oleh Arsene Wenger di atas.

Lantas, apa yang dimaksud dengan “sepak bola punya tanggung jawab yang besar”?

Sepak bola bukan sekadar pertandingan sepak bola. Olahraga yang konon paling populer di dunia ini menjadi sumber hidup banyak orang. Pedagang asongan, petugas parkir, penjaja makanan di sekitar stadion, penjual aksesoris dan jersey tiruan di pinggir jalan, dan lain sebagainya.

Sepak bola juga menjadi pelarian banyak orang dari beban hidup yang mengimpit. Buruh sepatu bermerek dengan gaji mepet, pengayuh becak yang semakin sepi penumpang, kuli bangunan yang menggunakan upah mingguan untuk beli tiket, buruh tani yang menjadikan stadion sebagai pelarian dari lelahnya menggarap tanah yang bukan miliknya, sampai pengamen yang profesinya dianggap hina.

Orang-orang ini ingin dipuaskan di akhir minggu. Mereka ingin mabuk, lupa dengan cicilan yang mengejar dan bayaran sekolah anak yang semakin mahal. Mereka ingin mencapai dunia katarsis, oleh tempik sorak membahana ketika tim pujaan mencetak gol kemenangan. Dari sana, disertai kultur warisan, fanatisme lahir. Dan mencapai titik puncak ketika sepak bola menjadi fokus kehidupan, menggantikan segala tuntutan untuk bekerja. Menjadikan sepak bola layaknya agama dan stadion adalah katedral paling megah.

Sepak bola, dengan segala keindahan yang ditawarkan naik derajat dari sekadar hiburan menjadi panutan. Sepak bola menjadi sebuah guru. Ia menawarkan inspirasi, yang konon dipercaya bisa membuat manusia menjadi insan yang lebih baik. Sepak bola memikul tanggung jawab mulia, yang sayangnya dilukai oleh sekumpulan bocah pongah dan tidak manusiawi atas nama “fanatisme”.

Pada tanggal yang sama ketika Arsene Wenger berbicara soal tanggung jawab sepak bola, di Indonesia, sekumpulan suporter justru melecehkan sesamanya. Panggungnya adalah sepak bola putri. Sebuah “cabang” dari dunia sepak bola yang sedang bergeliat, berjuang membangun eksistensi, dan harapannya ingin sejajar dengan sepak bola laki-laki.

Sekelompok suporter membawa sebuah spanduk yang sangat melecehkan. Konon kata mereka itu bentuk psywar demi melemahkan mental lawan. Mental macam apa yang ingin diserang jika spanduk itu justru melukai harga diri, eksistensi, dan pekerjaan seseorang?

“Bantai Purel Dolly”

“Umak Ongis Guduk Lonte”

Trivia buat kamu, kata “purel” merujuk kepada perempuan yang berprofesi sebagai pemandu lagu di karaoke. Profesi mereka dianggap sepele dan rendah. Purel dianggap hanya status bayangan, menutupi profesi asli mereka sebagai PSK. Untuk kata “lonte” sendiri, saya rasa kamu sudah tahu maknanya.

Kata-kata itu dituliskan di dalam spanduk dan ditujukan sebagai psywar kepada pemain lawan. Ada dua hal yang mengganggu nurani saya.

Pertama, sepak bola putri sedang bergeliat mencari eksistensi dan keadilan. Keadilan uang hadiah, yang jauh lebih kecil ketimbang sepak bola pria, sedang diperjuangkan. Sepak bola putri juga sudah mulai diterima ketika Mola TV mau membuatkan siaran langsung. Kampanye-kampanye keadilan seperti itu lebih bisa disuarakan jika kompetisi berjalan.

Ketika kampanye mulai itu sedang diperjuangkan, isinya dilukai oleh sekelompok suporter bebal dan tak punya hati. Menyamakan pemain lawan sebagai perempuan penjaja diri. Ini bukan psywar, tetapi pelecehan eksistensi diri orang lain.

Kedua, spanduk hina itu juga melukai nurani para PSK. Apakah lantaran bekerja dengan menjual tubuh, lantas mereka bukan manusia? Banyak dari PSK yang bekerja karena tidak punya pilihan lain. Mereka juga diimpit oleh kerasnya hidup. Sama seperti tukang parkir, pedagang asongan, dan penjual jersey KW yang ingin nonton sepak bola dengan nyaman.

Jangan-jangan, dan bisa jadi, para PSK ini malah punya hati yang lebih jernih ketimbang sekumpulan suporter so-called “fanatik” itu. Bisa jadi, mereka tidak pernah melecehkan pekerjaan orang lain. Bisa jadi, mereka lebih mau membantu orang lain tanpa melihat kesukuan, agama, warna kulit, dan klub yang didukung.

Pada akhirnya, saya mengajak kita untuk tafakur kepada kalimat-kalimat Arsene Wenger. Sepak bola punya tanggung jawab yang besar kepada kehidupan. Jangan sampai, pesan mulia yang diresonansikan dari dalam stadion berubah menjadi pesan terkutuk karena suara-suara sumbang suporter bebal.

Ada satu kalimat indah dari Arsene Wenger yang saya ingat. Begini bunyinya:

“Kamu boleh jadi nomor dua di kehidupan ini. Kamu tidak akan selalu menang. Namun, kamu tidak boleh kehilangan kualitas diri.” – Arsene Wenger.

Jangan benamkan kualitas dirimu, martabatmu, dengan merendahkan orang lain.

BACA JUGA Arsene Wenger Mundur: Cinta dan Dukungan Saya Selalu Untuk Arsenal atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.

Exit mobile version