MOJOK.CO – Benarkah Serie A Liga Italia tidak menarik jika dibandingkan dengan Liga Inggris? Membandingkan preferensi pribadi memang pekerjaan yang sia-sia.
Membandingkan preferensi pribadi memang pekerjaan yang sia-sia. Dua kutub yang berbeda selamanya tidak akan pernah sama. Tidak seragam. Masing-masing punya cara untuk menikmati preferensinya. Apalagi ketika kamu lagi ngomongin soal sepak bola.
Adalah Billy Khaerudin, wartawan senior, yang memantik perdebatan panjang hingga saat ini. Billy, lewat akun Twitter pribadinya, memandang Serie A Liga Italia tidak lagi menarik. Bagi Billy, semenjak kasus Calciopoli pada 2006, Serie A Italia tidak lagi menarik. Pendapat yang bikin gusar banyak basis fans Liga Italia.
Kapan lu sadar Serie A udah ga menarik lagi?
Kalau gw sejak skandal calciopoli tahun 2006— BiLLY KHAERUDIN (@BiLLYKHAERUDIN) October 15, 2019
Perdebatan ini menjadi panjang karena Billy adalah fans Liverpool. Banyak basis fans Liga Italia yang merasa pendapat itu membenturkan dua liga dengan kultur yang sangat berbeda. Pendapat Billy lumrah belaka. Namanya saja preferensi pribadi. Namun, ketika dilempar ke publik, “penghakiman publik” yang terjadi juga tidak bisa disalahkan.
Lantas, apakah memang benar kalau Serie A Liga Italia itu tidak lagi menarik? Kalah menarik dari Liga Inggris?
Pendapat satu arah
Sekali lagi ini soal preferensi. Saya sebut preferensi Billy sebagai pendapat satu arah dan tidak ada yang salah. Namun, ketika banyak akun di Twitter lalu membuat komparasi, perdebatan mana yang lebih menarik menjadi salah.
Menjadi salah karena Serie A Liga Italia sudah berubah. Perhatikan kalimat dari Billy yang tidak mencantumkan durasi waktu. Dia hanya bilang “sejak Calciopoli” Serie A tidak lagi menarik. Artinya, hingga saat ini, baginya Serie A masih tidak menarik.
Padahal, dalam dua musim terakhir saja, kultur sepak bola Italia sudah sangat berubah. Beberapa tim semenjana bersalin diri. Buat penonton pemula Liga Italia, saya sediakan waktu untuk menelusuri rekaman pertandingan Atalanta lewat Youtube. Tim asuhan Gian Piero Gasperini itu sukses mendesak tim-tim mapan untuk menyerobot posisi 4, satu jatah bermain di Liga Champions.
Bagi penonton yang tertib mengikuti Serie A, pertandingan antara Atalanta vs Lazio atau Inter Milan vs Sassuolo jauh lebih menarik ketimbang Arsenal vs Newcastle United atau Manchester United vs Liverpool. Apalagi kalau kamu pakai perbandingan jumlah gol yang tercipta, Serie A lebih “bernyawa” ketimbang laga-laga di Liga Inggris.
Itu satu contoh dari saya. Bagi yang memandang Liga Inggris lebih menarik, mereka mengunakan parameter juara yang lebih banyak dikuasi Juventus. Memang benar kalau Juventus sangat dominan. Namun, untuk menilai satu liga lebih baik ketimbang lainnya, kamu harus menilai pertandingan yang lain juga. Liga tidak selesai hanya dengan Juventus memenangi satu atau dua laga. Itu pendapat satu arah dari saya.
Bicara perubahan Serie A
Salin muka yang dilakukan Serie A memang berjalan dalam waktu yang panjang. Lumrah untuk sebuah perubahan. Ketika masih dilatih Maurizio Sarri, saya rasa Napoli adalah salah satu penampil paling atraktif di lima besar liga-liga Eropa. Napoli lebih enak ditonton ketimbang Tottenham Hotspur bahkan Chelsea sekalipun.
Sassuolo, ketika masih dilatih Di Francesco juga konsisten menunjukkan cara bermain yang enak untuk dinikmati. Hingga saat ini, Sassuolo menjadi sebuah tim yang selalu merepotkan tim besar. Mereka tidak hanya bermain bertahan saja untuk mengejar hasil imbang. Bandingkan dengan Stoke City ketika bertahan dengan 10 pemain ketika melawan Arsenal atau Manchester City.
Sassuolo dan Stoke City sama-sama merepotkan tim besar. Namun, keduanya mengambil pendekatan yang berbeda. Sassuolo dan Atalanta punya inisiatif untuk menyerang, sementara Stoke City berusaha tidak kalah semata. Stoke hampir selalu menghentikan laga dengan pelanggaran dan membuat pertandingan menjadi lambat dan bikin ngantuk.
Dari sisi taktikal cara Stoke tidak salah. Namun, jika parameternya menarik dan tidak menarik, yang mereka lakukan sangat tidak menyenangkan untuk ditonton.
Liga Italia bukan lagi sebuah liga (atau negara) dengan kultur catenaccio. Sama seperti Liga Spanyol dan Jerman, mereka kini lebih modern. Jika masih beranggapan Liga Italia tidak semenarik Liga Inggris, mungkin kamu cuma nonton pertandingan tim-tim besar saja.
Uang dan kekuatan media
Ahmad Khadafi lewat tulisannya di fandom.id menceritakan awal mula kisah cinta Roman Abramovich dan Liga Inggris. Roman hadir di laga Liga Champions antara Manchester United vs Real Madrid. David Beckham mencetak gol cantik lewat tendangan bebas dan Ronaldo Nazario bikin tiga gol dan mendapat standing ovation dari Old Trafford.
Malam tak terlupakan di Old Trafford itu membuat Roman jatuh hati. Tidak berselang lama, Roman menjalin kontak dengan Chelsea. Negosiasi untuk membeli Chelsea hanya belangsung selama 20 menit. Kesepakatan senilai 140 juta paun diteken dan Chelsea bangkit dari masa-masa kelam.
Sudah keluar 140 juta paun, Roman masih “membakar uang” sampai 100 juta paun untuk merombak skuat Chelsea. Bertepatan dengan kedatangan Roman, Liga Inggris dan sepak bola Eropa sendiri mulai berubah. Kini, uang minyak dari Rusia dan Timur Tengah seperti menentukan mana yang akan jadi juara di liga-liga domestik.
Uang dan kekuatan media menjadi bungkus baru Liga Inggris. Premier League, yang sudah melakukan rebranding sejak 1992 mengalami metamorfosis tahap terakhir. Media yang kreatif membungkus sebuah pertandingan, uang hak siar yang menggelembung, dan berkembangkan media sosial membuat Liga Inggris menjadi “raksasa” dalam waktu singkat.
Uang hak siar yang besar membantu klub-klub Liga Inggris untuk berbelanja pemain. Satu kejadian ini juga yang menjadi salah satu sebab rusaknya harga pemain saat ini. Apalagi, jika si pemain itu asli dari Inggris, harganya pasti melonjak tajam.
Atas nama uang dan kekuatan media, citra Liga Italia memang tenggelam. Benar kata Billy, Calciopoli berefek panjang. Ambruknya il sette magnifico, utang yang menumpuk, dan status kepemilikan stadion membuat citra Liga Italia terjun bebas. Jika berbicara dari sisi citra, memang itulah yang terjadi.
Namun, di atas lapangan, jika kamu adil sejak dalam pikiran, pertandingan-pertandingan Serie A Liga Italia tidak kalah menarik ketimbang Liga Inggris. Well, pun membandingkan keduanya saja sudah kegiatan yang nir faedah.
BACA JUGA Mencintai Serie A Lewat Kejayaan Juventus dan Kejatuhan AC Milan atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.