MOJOK.CO – Liga Inggris berpotensi merugi besar dan mungkin bangkrut. Ditinggal “yang tersayang” dan orang-orang besar seperti Glenn Freddly memang berat. Namun, tidak boleh selamanya kita berkutat kepada kesedihan semata.
Manusia sering menciptakan jarak dengan kenyataan. Secara sengaja dan sadar. Satu hal yang sering tidak disadari manusia, kenyataan itu bakal memakannya hidup-hidup. Ketika kenyataan menyerang balik, satu frasa yang lalu disemburkan oleh manusia semacam ini adalah “tidak siap”. Padahal, alam sering memberi petunjuk kepadanya.
Kelak, ketika mengingat kembali bencana virus corona, generasi mendatang akan membuka catatan dan menemukan nama-nama seperti Terawan, Jokowi, Luhut, dan petinggi-petinggi negara yang sombong, abai, dan tidak mendahulukan nyawa rakyat. Atas nama investasi, atas nama uang, ternyata rakyat mudah sekali dibuang.
Dunia sepak bola sama sombongnya seperti beberapa petinggi negara. Ketika sudah terjadi outbreak, kompetisi terus dipecut untuk berjalan. Atas nama investasi, atas nama uang dalam jumlah besar, pertandingan dengan ribuan penonton harus terus berjalan. Ketika 40 ribuan fans Atalanta diperkirakan membawa virus corona, dunia sepak bola baru tersadar. Kompetisi yang terus dipecut itu meminta tumbal nyawa.
Sekarang, ketika kompetisi dihentikan, dunia sepak bola baru merasakan bahwa di dalam tubuhnya, sesuatu yang salah sudah terjadi sejak lama. Teriakan-teriakan disparitas di dunia sepak bola menemui kebenarannya berkat virus corona. Maaf, terdengar keji. Namun, begitulah kenyataannya. Wabah ini membuka borok sifat manusia sesungguhnya.
Liga Inggris, dilansir BBC, terancam kehilangan 1 miliar paun jika kompetisi tidak lagi berjalan. Richard Masters, Chief Executive Liga Inggris bahkan menegaskan kalau Liga Inggris bakal kehilangan lebih banyak lagi jika kondisi ini “semakin dalam dan meluas”. Sementara itu, Greg Clarke, Chairman FA, mengungkapkan kalau banyak komunitas bakal kehilangan klub mereka tanpa sebuah harapan akan kebangkitan.”
So be it….
Kalau memang itu yang akan terjadi, maka terjadilah. So be it. Klub dan sepak bola itu sendiri adalah budaya manusia. Namun, satu dekade terakhir kita melihat disparitas yang nyata di sepak bola, tidak cuma di Liga Inggris. Harga pemain yang makin tak masuk akal, jurang perbedaan gaji pemain, hak siar yang semakin melambung, dan kebijakan jadwal kompetisi yang seperti memperbudak pemain. Semuanya bermuara kepada sebuah frasa “tidak siap”.
Manusia tidak akan pernah siap untuk kehilangan. Terkadang bukan soal nyawa. Manusia lebih khawatir kehilangan uang, citra, dan peradaban itu sendiri. Uang bisa hilang, nilainya turun. Citra tidak akan selamanya menentukan masa depan. Peradaban selalu bisa dibangun lagi. Namun nyawa, selamanya tidak bisa ditukar.
Kita merasa kesedihan kolektif ketika kehilangan nama besar. Mulai dari Kobe Bryant, Gus Sholah, Ashraf Sinclair, dan kini Glenn Freddly. Saya doakan semuanya, orang besar itu, amal baktinya diterima oleh Tuhan dan dibebaskan dari segala dosa.
Namun, apakah kita pernah bertanya kepada diri sendiri, apakah kita sudah menyiapkan kesedihan yang sama ketika dokter dan perawat gugur ketika berjuang melawan virus corona. Ketika dokter dan perawat tidak dibekali dengan APD ketika maju ke garis depan. Tidak, kita semua lalai, lalu mendaku diri “tidak siap” di ujungnya.
Kita mendaku diri “tidak siap” ketika Liga Inggris membuat banyak orang kecil kehilangan separuh gaji, bahkan pekerjaannya. Pemotongan gaji pemain hingga 30 persen ditolak oleh asosiasi pemain. Bukan sikap yang salah. Namun, kita semua seperti sepakat ketika memalingkan muka lalu menatap para pekerja stadion dengan gaji kecil dengan mata bengis dan ketegaan hati yang luar biasa.
Orang-orang kecil ini seperti bisa dikorbankan. Keberadaan mereka dianggap expendables, bisa dibuang ketika keadaan menuntut. Orang kecil ini bisa dibuang, sementara pesepak bola di Liga Inggris tidak bisa. Orang kecil ini bukan manusia, mereka cuma serpihan kecil dari sebuah mesin besar bernama sepak bola industri.
Orang-orang besar ini memang sudah menjadi inspirasi bagi banyak orang. Bahkan mungkin menyelamatkan kehidupan banyak orang ketika putus asa. Tidak sedikit rakyat di Afrika yang menjadikan perjalanan karier Sadio Mane sebagai inspirasi. Tidak sedikit pula yang mencintai Renan Lodi, bek kiri Atletico Madrid yang berjualan makanan kaleng eceran ketika masih kanak.
Fakta ini yang membuat berpulangnya Glenn Freddly seperti menjadi pukulan yang begitu telak. Semua merasa kehilangan. Ditinggal oleh seniman dengan suara seperti malaikat. Ditinggal oleh sosok yang begitu peduli dengan isu sosial. Berita duka Glenn Freddly menjadi kabar sedih bagi jutaan orang Indonesia.
Semuanya itu tidak salah. Namun, lewat tulisan ini, saya ingin mengajak semua pembaca untuk membagi kesedihan secara merata. Banyak orang yang akan kehilangan gaji, pekerjaan, bahkan nyawa di waktu-waktu yang berat seperti sekarang ini. Dokter, perawat, lalu menyusul para pekerja kantoran, CEO sebuah perusahaan, mungkin nanti petani dan nelayan, lalu kelak pelajar yang kehilangan satu periode penting untuk berkumpul membangun relasi sosial dengan sesama di sekolah.
Sepak bola yang sudah menunjukkan disparitas sedemikian rupa selama lebih dari satu dekade seharusnya cukup menjadi contoh. Liga Inggris boleh bangkrut, klub-klub tutup buku untuk periode yang panjang. Namun, pada akhirnya, kita tidak boleh kehilangan nyawa sesama dan pada akhirnya nanti kehilangan harapan untuk masa depan.
Pada akhirnya, menjalani hari-hari yang berat seperti sekarang adalah sebuah usaha untuk berlutut di depan kebencian kepada tahun 2020. Kepada nelangsa dan betapa rapuhnya manusia, yang abai dan tidak mengindahkan petunjuk dari alam.
BACA JUGA Petugas Medis Boleh Dianggap Pahlawan, tapi Jangan Lupa Mereka Juga Korban atau kesedihan lainnya dari Yamadipati Seno di rubrik BALBALAN.