MOJOK.CO – Ibrahimovic adalah pemain spesial. Dia yang bisa diandalkan menjadi protagonista ketika AC Milan tengah menghadapi badai. Lo spirito Zlatan!
Zlatan Ibrahimovic tidak lagi seproduktif dulu. Dia bukan lagi “striker 30 gol” yang diidamkan semua tim besar demi ambisi juara. Dia bahkan tidak lagi sering bermain. Beban lini depan AC Milan dipikul secara bergantian oleh Ibrahimovic, Olivier Giroud, dan Rafael Leao.
Namun, Stefano Pioli agaknya tahu bahwa laga-laga krusial membutuhkan pemain spesial. Ibrahimovic menjadi tumpuan bagi AC Milan. Bukan untuk keperluan gol saja, tapi kehadiran seorang leader di tengah lapangan. Untuk aspek ini, dia adalah orang tua yang berbahaya.
Usia Ibrahimovic sudah 40 tahun. Usia larut di mana banyak pesepak bola sudah gantung sepatu. Ada yang mengambil lisensi kepelatihan. Ada juga yang menjauhkan diri dari sepak bola. Namun, ada juga yang masih bertahan karena mereka sosok spesial.
Sisi spesial dari pemain legendaris seperti Ibrahimovic muncul di saat yang tepat. Misalnya ketika AC Milan membutuhkan kemenangan supaya bisa terus menempel Napoli di papan atas Serie A. Dijamu AS Roma, pemain kelahiran Malmo ini menjadi protagonista.
Gol pertama yang dia buat ke gawang Roma itu sangat spesial. Selain timing dari gol tersebut, yang spesial adalah caranya merobek jala Roma.
Tendangan bebas yang dilesatkan Ibrahimovic berasal dari lokasi yang tidak ideal. Dia mengeksekusi tendangan bebas dari sisi kanan kotak penalti. Arahna diagonal ke kanan dari gawang Roma. Bukan lokasi ideal untuk menembak langsung.
Jika bola diberi swerve ke arah tiang dekat, kiper Roma bisa melihat jalur tembakan dengan mudah. Jika bola dihajar ke tiang jauh, ada dua risiko yang mengancam. Pertama, tendangan akan bablas ke angkasa. Kedua, kiper juga dengan mudah mengantisipasi.
Ibrahimovic memilih cara kedua. Dia hajar bola ke tiang jauh. Jika penendang tidak punya teknik tinggi, bola pasti melambung atau menyenggol pagar betis. Namun, sepakan Ibrahimovic lurus ke tiang jauh, melewati pagar betis. Kecepatan tendangannya mencapai 200 km/jam, membuat kiper Roma tak bisa menyentuh tendangan super itu. AC Milan unggul dengan cantik.
Gol super tersebut menggenapi catatan 400 gol yang sudah dibubukan Ibrahimovic sepanjang kariernya. Empat ratus gol yang mengiringi sebuah status bernama serial winner yang disematkan kepada pemain bertinggi 195 sentimeter itu.
Gol kedua AC Milan sendiri dicetak Frank Kessie dari titik putih. Lagi-lagi, Ibrahimovic, dibantu akselerasi Theo Hernandez, menjadi protagonista yang membuat penalti itu tercipta.
Kehidupan abu-abu Ibrahimovic bersama Ajax
Mental manusia akan terbentuk ketika ditempa oleh situasi yang sifatnya “mengancam”. Ibrahimovic merasakan “kehidupan abu-abu” bersama Ajax Amsterdam, klub besar pertamanya setelah pindah dari Malmo. Bersama Ajax, dia melewati fase hidup yang sangat penting.
Ibrahimovic datang ketika lini depan Ajax sudah diisi Mido, legenda Mesir. Dia harus berbagi tempat dan waktu dengan striker veteran itu. Apalagi, Co Adriaanse, pelatih Ajax saat itu, lebih suka memainkan Mido. Ibra, yang baru berusia 19 tahun, menjadi kambing atas inkonsistensi Ajax.
Peruntungan Ibrahimovic berubah ketika Co Adriaanse dipecat dan digantikan Ronald Koeman. Mido tak lagi jadi ujung tombak utama seiring tebalnya kepecayaan diri Ibra. Namun, love-hate relationship antara dirinya dan Ajax kembali terjadi. Ketika Ibra lebih konsisten, mencetal 11 gol dari 12 laga, performa Ajax secara keseluruhan malah anjlok.
Selain itu, ego besar yang sudah tertanam sejak belia membuatnya bentrok dengan dua sosok penting di dalam tubuh Ajax, yaitu Louis van Gaal (Direktur Sepak Bola Ajax waktu itu) dan Rafael van der Vaart.
Suatu kali ketika training camp di Portugal (2004), Ibrahimovic sempat adu mulut dengan van Gaal. Cara bermain Ibra dikritik. Namun, Ibra membela diri. Dia lebih suka mendengarkan masukan dari Marco van Basten ketimbang van Gaal. Bagi Ibra, sosok van Gaal itu nggak ada artinya. Louis van Gaal dianggap tidak tahu apa-apa soal gaya bermain seorang striker.
Kehidupan abu-abu, yang diwarnai pasang surut di semua lini justru membuat Ibrahimovic semakin kuat secara mental. Mentalnya ditempa oleh situasi yang selalu “mengancam”. Bermain baik atau buruk, dia yang menjadi kambing hitam untuk segala kegagalan.
Namun, kita sama-sama tahu, meski masih belum pernah menjuarai Liga Champions, Ibrahimovic adalah serial winner. Dia sudah menaklukkan semua liga besar di dunia. Pengalaman dan kekuatan mental itu yang membuatnya berani bilang kalau Kylian Mbappe itu pemain biasa saja kalau masih bertahan di zona nyaman. Pahit benar perkataan dia, meski ada kebenaran yang terkandung di dalamnya.
Tumpukan pengalaman itu yang membuat Ibrahimovic tak pernah gentar di laga besar. Membuatnya jadi “orang tua” bagi skuat AC Milan yang rata-rata pemain utamanya masih terbilang muda. Tim inti AC Milan saat ini dihuni pemain dengan usia antara 21 hingga 24 tahun. Usia matang yang bakal makin mengilap ketika dikawal dengan baik oleh pemain senior.
Ibrahimovic akan terus menggendong AC Milan, baik di atas lapangan hijau atau di lapangan latihan. Sosoknya adalah “pembawa kabar baik”, bahwa pasang surut dalam kehidupan akan terjadi. Namun, di titik tertentu, kebahagiaan akan selalu ada ketika perjuangan ditelateni dengan baik.
Saya rasa, di titik ini saja, AC Milan sudah unggul dari rival mereka di Serie A. Keberadaan pemain spesial, dia yang tahu caranya menghadapi badai, sangat penting untuk perjuangan panjang. Dia yang bisa diandalkan menjadi protagonista di masa-masa sulit: Zlatan Ibrahimovic.
BACA JUGA Lo Spirito Milan dan Omong Kosong Usia Senja Zlatan Ibrahimovic dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.