MOJOK.CO – Gegeran PSS Sleman, kegeraman fans Persib dan Persija. Liga 1 menawarkan banyak kegelisahan yang bikin menarik diikuti.
Saya mau membuat pengakuan kepada pembaca Mojok. Jujur, saya tidak lagi punya selera untuk mengikuti sepak bola Indonesia. Setiap awal musim, berita miring yang mengiringi ya masih “itu-itu saja”. Mulai dari kemunculan klub-klub aneh, sampai tunggakan gaji dan pelatih yang masih belum tuntas.
Namun, kali ini, di awal musim BRI Liga 1, rasa penasaran untuk mengikuti sepak bola Indonesia menyala lagi. Sialnya, dan sejujurnya ini pengakuan yang menyedihkan, rasa penasaran saya bangkit berkat “gegeran” yang terjadi. Padahal, saya berharap berita soal prestasi yang menyeret saya kembali suntuk di depan laptop untuk menonton sepak bola Indonesia.
Yah, pembaca sudah bisa menebak arah tulisan ini. Adalah PSS Sleman, yang sukses memaksa saya untuk kembali menyimak Liga 1. Untuk PSS Sleman, rasa prihatin yang kini terasa. Padahal, saya ini suporter PSIM Jogja, tim rival Super Elang Jawa. Namun, bukan rasa permusuhan yang muncul. Saya prihatin, karena yang menimpa PSS Sleman, bisa saja menimpa PSIM Jogja, atau semua klub peserta Liga 1.
Perasaan was-was dan geram itu kini sangat terasa. Mungkin, saya akan marah seperti fans PSS Sleman ketika PSIM Jogja dijadikan “mainan” oleh taipan-taipan brengsek. Mungkin saya hanya akan pasrah menerima karena suara nyaring suporter, terkadang, teredam oleh gepokan duit yang menyumpal telinga. Orang kaya merasa mereka bisa membeli segalanya. Padahal, takdir buruk tinggal menunggu waktu saja karena kabeh kui wis ono sing ngaArthur… ehh.
Selain rasa geram karena PSS Sleman, muncul juga rasa lucu ketika menyimak Liga 1 lagi. Terutama ketika melihat dua rival di papan atas, Persib Bandung dan Persija Jakarta. Persib sedang duduk di peringkat empat klasemen sementara, sementara Persija ada di atasnya, di peringkat ketiga. Lucu, karena dua rival ini seperti senasib sepenanggungan.
Persib sedang menjadi bahan meme terbaik buat Bobotoh. Setelah bermain imbang ketika melawan PSM Makassar, kepanjangan nama Persib diplesetkan menjadi “Persatuan Sepak Bola Imbang Bandung”. Sialan, ini kreatif sekali. Mohon maaf untuk Bobotoh, saya tidak ada niatan untuk meledek. Saya sedang menikmati bulan madu kedua bersama sepak bola Indonesia.
Persib begitu, Persija begini. Meski baru saja menang tipis dari Persiraja Banda Aceh dengan skor 1-0, kegeraman The Jak masih ada sisanya. Apa lagi kalau Persija terlalu banyak bermain imbang sebelumnya. Persib dan Persija sama-sama mencatatkan empat hasil imbang dari enam laga. Lucunya, dua tim ini sama-sama sudah menabung dua kemenangan. Keduanya dipisahkan oleh selisih gol semata.
Sebetulnya, saya masih ingat betul, jarak poin di klasemen Liga 1 itu memang selalu ketat di beberapa musim terakhir. Jadi, kalau kamu suporter netral, kamu bakal bisa menikmati salah satu kompetisi ketat di muka bumi ini. Sudah begitu, banyak pergantian jadwal pula. Pokoknya kayak lagi gacha. Kamu bakal dibuat terkejut, atau yah, bisa dibilang, bakal emosi.
Soal rentetan hasil imbang yang dicatatkan Persib dan Persija, saya coba menyelami hati Bobotoh dan The Jak. Bagi penikmat sepak bola, hasil imbang itu sering diremehkan. Dianggap tidak menarik karena menjadi representasi pertandingan yang membosankan. Apalagi kalau skor akhir 0-0 dan kamu baru saja nonton Liga Inggris, misalnya.
Sudah nonton sampai dini hari, nggak ada gol pula. Gerutuan seperti itu jamak ditemui. Apalagi kalau itu big match yang main di Senin dini hari. Pengorbanan itu terasa nggak sepadan dengan risiko menghadapi Senin sambil menahan rasa kantuk dan bosan.
Oleh sebab itu, terlalu banyak mencatatkan hasil imbang, tentu bikin suporter menggerutu. Celakanya, terkadang, suporter malah lebih bisa menerima timnya kalah, asal bisa menampilkan performa yang memesona, menyerang selama 90 menit. Untuk situasi kayak gini, kita punya istilah bernama “kalah terhormat”. Padahal, kalah nggak dapat nilai, sedangkan imbang masih lumayan, dapat satu.
Nah, kalau menyimak catatan pertandingan Persib dan Persija, saya menemukan satu hal penting, yaitu kesulitan mempertahankan keunggulan. Untuk masalah ini, keduanya identik. Lucu bener, bisa barengan mesra kayak gini.
Baik Persib dan Persija, biasanya bisa unggul lebih dulu. Ketika skor bisa disamakan lawan, kedua tim masih bisa bikin gol. Namun, konsentrasi dan koordinasi cara bertahan jadi problem bersama. Semua hasil imbang Persija itu terjadi setelah mereka unggul lebih dulu.
Lawan-lawan Persija adalah PSS Sleman (1-1), PSIS Semarang (2-2), dan Persita Tangerang (1-1). Ketika melawan Persipura, pertandingan berakhir dengan skor 0-0. Lalu, bagaimana dengan Persib? Sama saja!
Lawan-lawan Persib di mana unggul lebih dulu adalah Bali United dan PSM Makassar. Hasil imbang dengan skor 0-0 didapat ketika melawan Borneo dan Tira-Persikabo.
Saya jadi semakin bisa merasakan kegeraman fans Persib dan Persija. Apalagi hasil imbang mereka didapat dari laga yang “seharusnya bisa dimenangkan”. Bukan dari laga yang secara untung-untungan, Persib atau Persija nggak kalah. Yah, di beberapa momen menunjukkan sebaliknya, tapi pembaca tahu maksud saya, dong.
Rasa-rasanya seperti menahan gairah, menahan konak yang lama terpendam, sudah hendak dimuntahkan, tapi nggak jadi. Pusingnya sudah diubun-ubun, tapi “masuk lagi”. Sialan betul.
Namun, baik suporter Persib maupun Persija, seharusnya tidak perlu segusar itu. Ingat, kedua tim ini belum kalah, lho. Masih ada lima dari 18 tim yang belum kalah. Keduanya ditemani Bhayangkara, Bali United, dan PSIS Semarang. Catatan tidak kalah ini penting untuk menjaga nafas di kompetisi panjang dan akan sangat berguna untuk urusan head to head… kalau ada hehehe….
Setidaknya, Persib dan Persija sedang tidak mengalami krisis kepercayaan seperti PSS Sleman. Super Elang Jawa akan melawan Persik Kediri di Bandung. Jika PSS Sleman kalah, banyak hal yang dipertaruhkan dan gagal. Mulai dari kepercayaan kepada pelatih yang makin kikis, hingga kebencian kepada manajemen yang membuat fans sakit hati beberapa hari lalu.
PSS Sleman juga sedang mempertaruhkan posisi mereka di klasemen Liga 1. Jika menang, mereka bisa merangkak ke posisi 10. Namun, jika kalah, mereka bisa langsung terjun ke posisi juru kunci. Bayangan degradasi itu menyeramkan sekali. Bisa merusak banyak hal dan yang paling penting adalah kepercayaan.
Liga 1 mulai menawarkan hal-hal greget di luar teknis sepak bola. Sebetulnya, ini bukan kondisi ideal. Namun, kalau direnungkan lagi, yang ditawarkan sepak bola memang beragam. Dan drama, tidak hanya tersaji di atas lapangan hijau. Drama paling grande terjadi di hati masing-masing suporter.
BACA JUGA Arthur Irawan Kuwi Sopo: Bahaya Masalah Internal PSS Sleman dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.