MOJOK.CO – Usaha Thomas Tuchel dan Chelsea untuk merawat hati pemainnya menunjukkan hasil memuaskan. Mendy dan Kepa bisa saling memahami.
Dua tahun yang lalu, saya masih ingat betul, ketika Maurizio Sarri dibuat malu setengah mati. Saat itu, di final Piala Liga melawan Manchester City, menjelang babak adu penalti, Sarri ingin mengganti Kepa Arrizabalaga dengan Willy Cabalero. Tidak disangka, Kepa menolak meninggalkan lapangan.
Sarri menunjukkan ekspresi geram karena anak asuhnya tidak patuh kepada perintah. Terkadang, meski terlihat “aneh”, perintah pelatih bisanya didasarkan kepada perhitungan tertentu atau kebutuhan taktik. Tentu saja tujuannya untuk memenangi sebuah pertandingan.
Celakanya, malam itu, ego Kepa yang menang, sementara Chelsea sendiri kalah lewat adu penalti. Pada titik tertentu, sikap kiper asal Spanyol itu bisa dibaca sebagai bentuk kepercayaan diri. Namun, di sisi lain, orang bisa membaca bahwa pelatih tidak punya kontrol sepenuhnya akan tim.
Sarri dianggap tidak bisa “mengikat hati” para pemainnya secara penuh. Pembangkangan, apa pun alasannya, tetap saja tidak elok untuk tim. Apalagi pembangkangan yang terlihat “heroik” itu berakhir dengan kekalahan. Posisi pemain menjadi sangat salah, pelatih kehilangan muka.
Saya sendiri sangat yakin bahwa dasar keputusan Sarri ingin mengganti Kepa dengan Cabalero adalah data. Tentu sudah jamak terjadi ketika tim analis sebuah klub sudah melakukan analisis mendalam soal persentase keberhasilan kiper menepis tendangan penalti.
Dasar itu juga yang digunakan oleh Thomas Tuchel ketika mengganti Edouard Mendy di laga Piala Super Eropa. Siapa yang menggantikan Mendy? Betul, Kepa. Kiper yang dulu membangkang.
Kita harus sadar bahwa sepak bola dimainkan oleh manusia. Di sana, ego, sebagai bagian alami dari manusia pasti turut bermain. Mendy sendiri tidak bermain buruk ketika Chelsea ditahan Villareal di 120 menit laga Piala Super Eropa. Sangat normal jika Tuchel tetap percaya kepada Mendy untuk mengawal Chelsea di babak adu penalti. Ingat, Mendy sudah bermain hampir 120 menit. Dirinya sudah sangat siap untuk momen penentuan.
Namun, Mendy mau menurunkan Ego dan memberi tempat kepada Kepa. Peristiwa ini membawa dua pesan yang pasti menyenangkan hati para fans Chelsea.
Pertama, Tuchel punya kontrol penuh atas timnya. Kontrol seperti ini tidak berasal dari rangkaian kata dan usaha mendekati pemain secara personal saja. Tentu saja Tuchel menggunakan data untuk mendukung keputusannya. Satu hal yang patut diapresiasi adalah pelatih asal Jerman ini sudah menyiapkan segalanya jauh-jauh hari.
Mendy sendiri patut mendapat apresiasi ketika tidak memaksa ingin terus bermain. Dia sadar bahwa ternyata Kepa punya catatan menepis pinalti lebih baik, seperti yang dituturkan oleh Tuchel.
“Analis tim dan pelatih kiper menunjukkan data kepada saya. Setelah itu kami berbicara kepada para pemain bahwa pergantian ini bisa terjadi ketika kami memainkan pertandingan sistem gugur,” ungkap Tuchel.
Tuchel sendiri sudah menyiapkan skenario ini sejak musim lalu, tepatnya sebelum laga babak 16 besar Piala FA melawan Barnsley. Lewat fakta ini pembaca bisa mencatat seberapa detail pelatih Chelsea itu “mengikat hati” para pemainnya sejak jauh-jauh hari.
“Sejak saat itu mereka tahu. Sungguh luar biasa bagaimana Mendy menerimanya. Sungguh luar biasa pembicaraan di pagi hari sebelum pertandingan di Piala FA melawan Barnsley musim lalu. Orang-orang ini adalah pemain tim sejati. Saya senang untuk Kepa dan saya senang untuk Mendy,” tegas Tuchel.
Pendekatan yang menyeluruh, didukung dengan data sahih, dan cara Tuchel memuji anak asuhnya di depan wartawan membuat pemain Chelsea bisa menerima segala kontrol yang ditegaskan. Persiapan yang detail memang tidak akan pernah mengkhianati hasil.
Kedua, seleksi dan pendekatan personal yang on point. Iya, saya tahu kalau Mendy memang harus mendapat apresiasi karena mampu menekan ego. Cukup menggambarkan bahwa dirinya adalah team player. Namun, yang luar biasa sudah terjadi jauh sebelum Kepa menggantikan Mendy.
Maksudnya begini. Ketika sebuah tim akan membeli pemain, ada banyak aspek yang diukur. Bukan soal kemampuan dan potensi saja yang diamati. Satu aspek penting yang pasti diukur adalah karakter. Bagi mereka yang kecanduan Football Manager pasti sudah akrab dengan laporan scout tentang karakter pemain. Scout pasti melarang pelatih membeli pemain yang sifatnya bisa merusak keharmonisan tim.
Tentu saja Chelsea punya sumber daya besar untuk membeli kiper terbaik di dunia. Soal gaji? Tidak pernah jadi masalah. Namun, manajemen tentu tidak mau klub sembarangan “membakar uang” untuk kiper yang egonya akan merusak tim. Oleh sebab itu, setelah seleksi yang pasti ketat, muncul nama Mendy.
Saya masih ingat betul ketika Mendy datang ke Chelsea. Banyak media yang menggambarkan kiper berusia 29 tahun itu akan menggeser Kepa. Apalagi Kepa punya jejak masalah dua tahun yang lalu.
Perlu kamu ketahui, posisi kiper adalah posisi yang “murung”. Kalau kiper utama tidak cedera atau performanya terjun bebas, kiper kedua akan jadi sangat akrab dengan bangku cadangan. Oleh sebab itu, sangat penting untuk membangun hubungan harmonis di antara semua kiper. Harus ada perasaan senasib sepenanggungan. Kiper dituntut menjadi sosok yang rendah hati, mendahulukan tim, dan mau berkorban. Ego tinggi tidak punya tempat di sini.
Jika hubungan harmonis antara Mendy dan Kepa tidak terbangun, bukan tidak mungkin Chelsea akan kalah di laga Piala Super Eropa. Pelatih kiper punya andil besar di sini. Namun, jangan lupakan juga peran Tuchel ketika mengajak semua kiper untuk duduk bersama dan saling menerima kelemahan.
Aksi tersebut terlihat sederhana. Namun, dampaknya luar biasa. Banyak pelatih bagus gagal ketika melatih tim besar karena dia “tidak menguasai ruang ganti”. Tuchel, semenjak kedatangannya, langsung bisa mengubah skuat Chelsea menjadi satu unit yang kompak dan tangguh.
Pada akhirnya, usaha Chelsea sejauh ini untuk merawat hati pemainnya menunjukkan hasil memuaskan. Skuat yang harmonis, berisi pemain-pemain berbakat, dan pelatih yang memegang kontrol secara penuh adalah ramuan terbaik akan sebuah kesuksesan jangka panjang.
BACA JUGA Kepa Biang Kerok Chelsea Kalah? Nggak Juga, Ah! dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.