MOJOK.CO – Paul Pogba dan saudara dari Papua menjadi korban serangan rasisme.
Rui Patricio bukan kiper sembarangan.
Malam itu dia mengambil ancang-ancang tendangan penalti dengan wajah cemas. Jika gol, dirinya akan menjadi pahlawan malam itu. Manchester United bakal pulang dari salah satu kandang yang sulit dijinakkan dengan kemenangan. Namun, Rui Patricio punya agenda lain.
Tendangannya keras, mengarah ke sisi kanan kiper. Rui Patricio membaca arah tendangan itu dengan tepat. Lesatan tubuhnya lebih cepat dari laju bola. Tendangan penalti itu berhasil dihentikan dengan sempurna. Skor akhir sama kuat, 1-1. Manchester United gagal menang dan dia yang menendang mendadak menjadi musuh seluruh dunia.
Dia adalah Paul Pogba, penampil terbaik Manchester United musim lalu. Kegagalannya menendang penalti berbuah pahit. Bukan ledekan dari fans rival yang memerahkan telinga, tetapi serangan rasis dari fans United sendiri yang melukai dirinya. Diserang dan diledek oleh pendukung sendiri, dengan ungkapan bernada rasisme, tentu bikin sakit hati.
Saya bersorak ketika Pogba gagal menendang penalti. United gagal menang dan Arsenal, bersama Liverpool, menjadi dua tim yang selalu menang di dua laga awal Liga Inggris. Namun, satu hari kemudian, saya dibuat mengelus dada untuk kesekian kali, ketika Pogba menjadi sasaran ledekan rasis di Twitter.
Paul Pogba, yang punya kulit gelap, disamakan seperti monyet, sama seperti orang Papua. Mengulur waktu ke belakang, kasus rasisme seperti ini sudah terjadi. Dan, rasanya seperti letupan kentut saja. Ramai dalam waktu singkat, untuk kemudian segera dilupakan.
Kamu tentu masih ingat ketika Kevin-Prince Boateng walk out dari sebuah pertandingan ketika dirinya jadi sasaran ledekan rasis ketika AC Milan melawan Pro Patria. Para pemain AC Milan menunjukkan solidaritasnya dengan ikut keluar dari lapangan. Kasus itu sempat ramai. Ya, cuma sebatas “sempat”.
Masalah yang sama terjadi dan menimpa Sulley Muntari. Kala itu, Muntari bermain untuk Pescara. Seperti Boateng, Muntari juga walk out dari pertandingan. Masih di Serie A, Moise Kean, yang kala itu masih bermain untuk Juventus, diserang oleh fans Cagliari. Konyolnya, otoritas liga Serie A tidak menjatuhkan sanksi kepada Cagliari. Serangan rasisme dianggap biasa saja. Bajingan.
Dulu, Dani Alves, ketika masih bermain untuk Barcelona, dilempar pisang oleh fans Villareal. Dia tidak memilih walk out seperti Boateng dan Muntari. Dani Alves memungut pisang itu lalu memakannya. Dia menjadikan aksi itu sebagai bentuk perlawanan kepada serangan rasisme.
Orang Papua melawan dengan cara yang sama. Mimikri. Mereka turun ke jalan dengan mengenakan topeng monyet. Aksi nyata seperti ini yang justru dibutuhkan ketimbang permintaan maaf yang kita tahu sejak zaman dulu, hanya berisi omong kosong saja. Harus ada aksi nyata dan tindakan yang juga nyata dari penegak hukum. Mereka yang rasis, perlu ditendang jauh-jauh. Dari situ, perubahan baru bisa terjadi.
Para pemain Manchester United Bersatu. Lewat Twitter, mereka mengajak semua orang, bukan cuma fans United, untuk berdiri di belakang Pogba melawan rasisme. David De Gea, Marcus Rashford, dan banyak lagi. sebagai fans Arsenal, dengan senang hati saya menyingkirkan sentimen rivalitas untuk berdiri bersama mereka.
Hasilnya pun sedikit terlihat ketika Twitter dan perwakilan Manchester United akan duduk bersama mencari solusi masalah rasisme di platform ini. “Kami tahu, kami harus lebih melindungi para pengguna kami. Perilaku rasis tidak punya tempat di platform kami dan kami mengutuk perilaku seperti itu,” rilis Twitter seperti dikutip oleh Sky Sports.
Saya menyerukan aksi #TendangRasisme lewat @arsenalskitchen. Bukan hanya sebagai kampanye di media sosial, sebagai fans sepak bola, saya mengajak kamu semua juga menjaga kesadaran ini ketika menonton di stadion. Rivalitas adalah kekasih sepak bola. Sportivitas dan kemanusiaan adalah anak kandung keduanya yang perlu dijaga bersama-sama.
BACA JUGA Ejekan Rasialis ‘Monyet’ Menjadi Alat Perlawanan Minke-Minke Abad 21