MOJOK.CO – Arsenal dibantai dengan skor 4-0. Namun, mereka pulang ke London Utara dengan oleh-oleh ilmu mahal. Ilmu untuk menghadapi rasa sakit dari Liverpool.
Rentetan kebahagiaan dan kenyamanan, terkadang, melahirkan rasa aman yang palsu. Catatan 10 laga tak terkalahkan membuat kepercayaan diri dari Arsenal membumbung tinggi. Aura kepercayaan diri itu bahkan diakui secara langsung oleh Jurgen Klopp, pelatih Liverpool.
Sementara itu, Liverpool tengah dalam periode muram. Klopp menyiratkan kehati-hatian ketika berbicara di depan wartawan sebelum laga. Beberapa analis juga menyiratkan bahwa tim Arsenal ini bisa membawa pulang “sesuatu” dari Anfield setelah bermain apik selama 10 laga terakhir.
Namun, banyak yang lupa bahwa Liverpool adalah tim paling berpengalaman di Liga Inggris. Para pemain kunci mereka sudah bermain bersama selama beberapa musim. Mereka adalah saka guru, menjadi tempat bersandar pemain lain ketika periode buruk datang.
Lagipula, saya rasa isitlah “periode buruk” itu juga kurang tepat digunakan. Isitilah periode, bisanya merujuk ke rentang waktu yang agak panjang. Sementara itu, sebelum menggulung Arsenal, Liverpool hanya terpeleset di dua laga saja: imbang 2-2 ketika melawan Brighton dan kalah dari West Ham dengan skor 2-3. Di antara dua laga itu, The Reds masih sempat mengalahkan Atletico Madrid dengan skor 2-0.
Jeda internasional selama dua minggu turut membantu Liverpool melakukan reset mental. Mengembalikan lagi mood yang sempat turun di Liga Inggris. Begitulah selayaknya tim juara. Mereka tahu caranya untuk mengubah suasana hati, bangkit bersama sebagai sebuah tim.
Malam itu, di Anfield, lewat skor 4-0, Arsenal mendapat kado istimewa. Sebuah ilmu yang mahal dari Liverpool.
Seperti yang saya tegaskan di awal tulisan. Terlalu larut dalam kebahagiaan dan rasa nyaman membuat tim Arsenal lupa akan ancaman penderitaan. Ada sesuatu yang rapuh dari tim asuhan Mikel Arteta. Terutama di babak kedua, ketika mereka kehilangan kesabaran, sesuatu yang rapuh itu terlihat nyata.
Memang, tim Arsenal ini adalah “bangunan baru”. Bahkan aman untuk dikatakan bahwa tim ini masih berupa pondasi. Belum punya dinding yang kokoh dan atap untuk menaungi para penghuni. Angin kencang dan hujan deras masih akan menyiksa mereka.
Skuat Arsenal yang datang ke Anfield didominasi pemain muda. Kombinasi yang mematikan. Kombinasi pemain muda dan mereka yang baru kali pertama bermain di Liga Inggris. Seperti petuah Arsene Wenger, pemain muda akan selalu membuat kesalahan dan kita harus bersabar untuk itu.
Namun, “sesuatu yang rapuh” tidak sepenuhnya terkait keberadaan pemain muda dan blunder yang lekat di diri mereka. Garis rapuh di dalam diri Arsenal adalah tidak ada sosok yang bisa dipasrahi tanggung jawab menjadi penyambung lidah pelatih di tengah lapangan.
Pemain muda pasti akan membuat kesalahan. Blunder fatal yang mungkin bisa mengubah jalannya laga. Namun, pemain senior yang “menghilang” di tengah laga berat juga bisa dikatakan sudah membuat blunder. Mereka menghilang ketika tim sedang sangat membutuhkan.
Ketika Arsenal melewati 10 laga nir kekalahan, adalah pemain muda yang berani untuk step up dan menggendong tim. Ketika mental mereka dihajar oleh tim berpengalaman seperti Liverpool, sudah seharusnya yang senior yang mengambil panggung dan memberi contoh dengan aksi nyata.
Masalah sebuah tim yang dibangun dengan mengombinasikan pemain senior dan junior memang begitu. Para pemain muda yang bermain tanpa beban memang bisa menciptakan sajian memukau mata. Namun, ketika kesulitan datang, sudah tanggung jawab yang senior untuk menjawab tantangan itu.
Liverpool pernah melakukannya di periode awal Andrew Robertson dan Trent Alexander-Arnold masuk ke tim utama. Andrew datang dari Hull di usia 23 tahun. Dulu, saya masih ingat, betapa Andrew kesulitan untuk menyesuaikan dengan ritme tim utama. Masih sangat mudah dilewati lawan.
Sementara itu, Trent masuk tim utama Liverpool di usia belia. Saat ini, dia sudah berusia 23 tahun dan menjadi salah satu bek kanan terbaik di dunia. Baik Andrew dan Trent membutuhkan banyak “periode penderitaan” untuk sampai di titik ini.
Selama masa pembaptisan itu, sosok seperti Jordan Henderson dan Virgil van Dijk menjadi teman sekaligus pengayom untuk mereka. Pemain muda akan selalu membutuhkan keberadaan pemain senior secara nyata. Bukan dengan teori dan kalimat manis di depan wartawan, tapi aksi nyata di atas lapangan.
Oleh sebab itu, skuat Arsenal ini masih menyimpan banyak bom waktu. Satu bom waktu sudah meledak di Anfield. Ketika para pemain muda menderita dan tidak dibantu oleh seniornya lewat performa yang patut dicontoh. Hal ini membuat sebuah tim menjadi sangat rapuh.
Bahaya lebih besar akan datang ketika pemain muda ini gagal melupakan “kado dari Liverpool” dan move on. Lacazette dan Aubameyang boleh sangat dekat dengan pemain muda di lapangan latihan atau ruang ganti. Namun, hal itu tidak cukup.
Istilah to lead by example bukan sebatas kata-kata saja. Di sepak bola, di setiap perjuangan, kata-kata adalah kotak kosong. Tidak memberi makna yang sebenarnya. Memimpin dengan contoh adalah menunjukkan bagaimana caranya menderita untuk membangun masa depan.
Arsenal boleh dibantai dengan skor 4-0. Namun, mereka meninggalkan kota pelabuhan dan pulang ke London Utara dengan oleh-oleh ilmu mahal. Ilmu untuk menghadapi rasa sakit. Menghadapi kekurangan diri sendiri dari Liverpool.
BACA JUGA Resep Liverpool dan OG untuk Jadi Juara: Statistik dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.