Saya sudah lupa berapa kali menyampaikan kalimat ini:
“Sepak bola zaman sekarang itu kejam sekali.”
Saya pernah menuliskannya beberapa kali lewat artikel. Pernah pula menyampaikannya lewat forum online maupun offline. Sepak bola industri menuntut banyak hal. Namun, jika diizinkan menyimpulkannya menjadi satu kata, sepak bola industri adalah soal kesempurnaan.
Semua klub saling sikut untuk mendapatkan pelatih dan pemain terbaik. Para pemenang adalah mereka yang punya nyali di dua aspek, yaitu sepak bola dan pendanaan. Berani membayar pelatih terbaik, berani pula berinvestasi ke pemain berkualitas, meski harus membakar uang di muka. Oleh sebab itu, ketika ada tim kecil berhasil mendobrak kemapanan, kita menyebutnya “keajaiban”.
Mereka yang tidak bisa bersaing di dua aspek tersebut bakal semakin tertinggal. Kamu bisa menengoknya lewat wajah muram sebuah klub bernama Arsenal bersama pelatihnya, Mikel Arteta.
Dari sisi sepak bola, Arteta gagal memberi semacam “jaminan” di atas lapangan. Dari sisi keuangan, Arsenal sudah tertinggal ratusan langkah dari para rival. Model keuangan Arsenal memang tidak buruk. Namun, jika ingin mendobrak kemapanan, kita semua tahu mereka harus bagaimana.
Saat ini, fans Arsenal dibuai oleh jargon “percaya proses”. Saya rasa itu jargon yang bagus. Asal, ada bukti nyata untuk mewujudkan semacam janji itu. Penghakiman yang kini diterima Arteta sendiri tidak terjadi begitu saja. Seperti yang saya sebut di atas. Dia gagal memberi semacam “jaminan”.
Percaya dengan proses adalah sikap bijak dan terpuji. Artinya, ada kesabaran yang dipupuk dan dijaga. Lagipula, sesuatu yang berbuah dari proses biasanya akan lebih awet. Namun, apakah Arteta sendiri sudah berhasil memberi “jaminan” kepada fans untuk percaya dengan proses itu?
Sejak musim lalu, ditambah tiga pertandingan awal Liga Inggris 2021/2022, tidak tampak sebuah jaminan proses itu berjalan. Sebuah proses butuh konsep. Sementara itu, konsep yang baik adalah rancangan yang bisa dieksekusi dan nyata terlihat.
Sebagian fans Arsenal menyabarkan dan menghibur diri bahwa dulu Jurgen Klopp pernah menderita bersama Liverpool sebelum sukses. Namun, kadang kita lupa, di tengah keterpurukan itu, konsep Klopp sudah terlihat. Dia hanya butuh pemain yang cocok dan ketika syarat itu terpenuhi, peruntungan Liverpool berubah.
Intinya, dari aspek sepak bola, Klopp dan Liverpool berhasil memberi jaminan. Sementara itu, dari sisi pendanaan, manajemen Liverpool mendukung Klopp dengan berbagai strategi. Ingat, soal pendanaan tidak lalu berhubungan dengan membeli pemain dengan harga mahal. Pendanaan juga merujuk kepada strategi pembelian pemain yang tepat.
Sampai saat ini, Arteta dan Arsenal belum mampu menunjukkan kekuatan di dua aspek tersebut. Memang benar, pembelian musim ini terbilang tepat guna. Pemain yang dibeli sudah sesuai dengan kebutuhan ide Arteta. Kini, fans Arsenal hanya bisa menunggu.
Namun, sepak bola tidak hanya akan dinilai dati tiga pertandingan saja. Capaian sebuah tim dinilai selama pelatih dan manajemen bekerja. Bagi saya pribadi, masalah yang kini melanda Arsenal sudah terjadi sejak satu dekade ke belakang. Ketika manajemen Arsenal tidak punya “sentuhan seni” untuk membangun skuat terbaik.
Pemain yang tidak lagi berguna, justru mendapat kontrak baru. Selain itu, pemain yang dibeli tidak sesuai dengan kebutuhan skuat. Beberapa pembelian terjadi hanya karena koneksi petinggi klub dengan agen. Maka, yang terjadi adalah pelatih tidak bisa bekerja secara maksimal.
Tentu fans Arsenal tahu siapa yang saya maksud. Iya, Nicolas Pepe dan Raul Sanllehi. Sebuah transfer yang tidak diinginkan Unai Emery. Ketika manajemen tidak mau mendengar ide pelatih, yang terjadi adalah skuat yang tidak seimbang.
Apakah Arteta juga mengalaminya? Tentu saja. Willian, misalnya. Pada 29 Agustus 2021, Willian resmi memutus kontraknya. Arsenal memang bisa menghemat dana gaji hingga 20 juta euro. Namun, bukankah akan lebih berguna jika sejak awal tidak merekrut Willian? Apakah Arteta setuju dengan kebijakan ini? Kalau iya, artinya, dia juga berkalang dosa.
Masih ada Rob Holding, Calum Chambers, Hector Bellerin, Sead Kolasinac, Granit Xhaka, Hingga Aubameyang dan Lacazette yang seharusnya bisa dijual di awal jendela transfer. Namun, manajemen membuang banyak waktu. Kini, jelang dua hari masa akhir jendela transfer, skuat Arsenal layak dibilang masih medioker.
Ketika dibantai Mannchester City, Arteta dipaksa menurunkan tiga bek tengah yang sudah tidak lagi layak bermain di tengah persaingan papan atas, dipaksa memainkan gelandang yang seharusnya dijual tapi malah dapat kontrak baru, dan dipaksa memainkan striker yang tak lagi dalam performa terbaik.
Arteta memang gagal menunjukkan kejelasan di atas lapangan. Namun, di sisi lain, dia juga menderita karena skuat yang ada sungguh menyedihkan. Bagaimana bisa, “seorang jenderal” diperintah pergi berperang di garis depan tanpa dibekali senjata dan armor terbaik?
Sebuah perpaduan jenderal yang “bingung” dan kesatuan medioker. Hasilnya? Pembantaian.
Oleh sebab itu, memecat Arteta bukan solusi untuk Arsenal. Namun, jika tidak memecat pelatih asal Spanyol itu, tidak akan ada perubahan. Setidaknya dari cara bermain. Makin rumit ketika jenderal yang baru nanti tetap dibekali dengan perbekalan yang sama. Yang terjadi adalah Arsenal seperti penguasa tiran kecanduan perang yang suka melemparkan jenderal dan prajuritnya ke tengah peperangan ganas yang tidak mungkin dimenangkan.
Jadi, dipecat atau tidak? Saat ini, membicarakan topik ini, seperti perdebatan tak berguna tentang: “Mana yang duluan, ayam dulu atau telur dulu?”
BACA JUGA Arsenal dan Fetish Mikel Arteta untuk Menyakiti Diri Sendiri dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.