MOJOK.CO – Arsenal dan Inter memanen kedewasaan pemainnya ketika mengalahkan lawan masing-masing, Southampton dan AC Milan.
Bukayo Saka, mungkin sudah terlalu banyak saya melontarkan pujian, lagi-lagi menjadi pemain terbaik. Jauh lebih baik dibandingkan para pemain senior. Di belahan dunia lainnya, Inter berhasil mengalahkan AC Milan di ajang Coppa Italia.
Kemenangan Arsenal dan Inter menawarkan rasa yang sama, yaitu betapa manisnya comeback. Ketika para pemain di dua klub ini “stepping up”, sesuai ekspektasi. Banyak pemain bagus gagal tampil baik karena tidak konsisten. Sementara itu, tidak banyak pemain “biasa saja” tampil jelek ketika dia sadar dengan tanggung jawab dan bermain konsisten.
Frasa stepping up sendiri membawa makna ‘an increase in the amount, speed, or intensity of something’. Artinya, pemain yang dipercaya untuk tampil sejak menit awal sadar dengan tanggung jawab. Mereka mengerjakan aspek-aspek dasar dalam sepak bola. Konsisten melakukannya dan performa bagus pun akan mengikuti.
Arsenal dan Inter menikmati buah dari kesadaran untuk “bangkit” itu. Tidak hanya Bukayo Saka untuk Arsenal, ada Cedric Soares dan Nico Pepe yang sadar bahwa bisa tampil sejak awal adalah kemewahan. Banyak hal indah di dunia ini dan kepercayaan adalah salah satunya.
Bagi Inter, kemenangan atas Milan di Coppa Italia ini juga menjadi cermin kedewasaan pemain. Emosi Romelu Lukaku sempat terpancing oleh provokasi Zlatan. Keduanya sempat hampir baku hantam. Bahkan Lukaku sempat “mencium kening” Zlatan. Untung saja keduanya bisa dilerai.
Insiden seperti itu, terutama ketika terjadi di grande partita, punya potensi merusak mood dan performa. Pujian layak disematkan ke dada Lukaku yang bisa dengan perlahan menurunkan emosinya. Dia melampiaskan kekesalannya lewat sepakan penalti tanpa cacat.
Bermain dengan emosi, tidak hanya terbatas di sepak bola, justru akan menguras energi lebih cepat. Manajemen emosi Lukaku layak menjadi contoh. Dia tidak melampiaskannya dengan aksi kekerasan di atas lapangan, tapi gol untuk membawa Inter menuju kemenangan.
Kemampuan itu disebut aspek kedewasaan. Ketika pemain bisa melihat pertandingan dengan mata yang jernih dan hati yang tenang. Selepas Arsenal mengalahkan Southampton, Rio Ferdinand melontarkan pujian kepada Bukayo Saka. “Dia bermain luar dewasa. Sangat dewasa,” kata Rio.
Arsenal sendiri, seperti Inter, menikmati kedewasaan pemain dalam diri Nico Pepe. Absennya Aubameyang dan Martinelli yang belum fit, mengizinkan Pepe mendapat menit bermain sebagai penyerang sayap kiri. Cara bermainnya berubah total jika dibandingkan ketika bermain di sisi kanan.
Pepe bermain lebih sederhana. Tidak terlalu lama menahan bola dan lebih efektif dengan penempatan posisi. Selepas laga, Arteta memuji Pepe. “Dia mencetak gol dan terlibat di banyak momen bagus. Dia bekerja keras. Dia layak mendapat kesempatan dan berhasil memanfaatkannya.”
Bagian “berhasil memanfaatkan kesempatan” ini kunci untuk Arsenal. Pepe bukan jenis tricky winger yang bisa membawa bola melewati banyak pemain. Pemain asal Pantai Gading itu justru lebih berbahaya ketika lebih banyak berlari di belakang striker untuk mengeksekusi peluang. Kemampuan dribbling Pepe memang kurang, tetapi teknik menembak bolanya cukup bagus.
Dia sadar akan potensi itu. Pepe bermain sesederhana mungkin dan efisien dengan peluang. Seterusnya, performa seperti inilah yang dibutuhkan Arsenal. Ketika pemain sadar bahwa kesempatan bermain itu terbatas dan kepercayaan mahal harganya.
Inter dan Christian Eriksen tampaknya memang tidak berjodoh. Pemain berusia 28 tahun itu, pemain yang pernah dianggap sebagai salah satu gelandang serang terbaik di Liga Inggris, jarang diberi kepercayaan oleh Antonio Conte. Dan di Coppa Italia, kesempatan itu datang.
Eriksen mendapat satu momen di mana kemampuannya menjadi sangat berbahaya, yaitu tendangan bebas. Di sini kita perlu memuji mental Eriksen. Dia sudah lama tidak bermain secara rutin. Langsung bermain dan mendapat momen di grande partita melawan Milan. Satu momen itu menjadi penentu dan Eriksen bisa mengeksekusinya secara dingin.
Inter menikmati kedewasaan dari Lukaku dan Eriksen. Sama seperti Arsenal yang menikmati perkembangan pemainnya dalam diri Saka dan Pepe (dan Cedric). Bagi banyak klub, momen kedewasaan pemain bisa menjadi pembeda sebuah pertandingan (dan kompetisi).
Arsenal mendapatkan momennya untuk memanjat klasemen. Sementara itu, Inter melaju di Coppa Italia. Apakah kedewasaan pemain itu bisa menjadi penentu kegemilangan di akhir musim?
Pada akhirnya, di kehidupan ini, penentu kebahagiaan tidak banyak. Di antaranya ada kesadaran untuk dewasa dan memahami tanggung jawab. Dan selanjutnya, sadar bahwa kepercayaan itu mahal harganya. Terkadang, manusia harus belajar tiga aspek penting itu lewat penderitaan panjang.
BACA JUGA Inter dan Antonio Conte Tidak Seburuk Itu, Cuma yang Lain Lebih Bagus Saja dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.