MOJOK. CO – Sebagai bahan promosi, jasa MUA sering menunjukkan foto before-after wajah klien yang tampak berbeda. Kira-kira perasaan klien gimana, ya? Apa membantu meningkatkan self esteem?
Saya sering memperhatikan para MUA atau penyedia jasa makeup dalam mempromosikan jasa mereka. Biasanya sebagai media promosi, mereka akan mencantumkan foto wajah klien sebelum dan sesudah di-makeup. Tentu saja, kedua foto ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana kemampuannya sebagai seorang MUA dalam mengubah wajah seseorang—sehingga terlihat lebih cantik dan menarik.
Nah, yang bikin saya penasaran. Kira-kira bagaimana perasaan mbak-mbak yang fotonya dipasang sebagai konten promosi dan memperlihatkan wajah mereka sebelum dan sesudah dipulas tersebut? Ya, mohon maaf nih, banyak MUA yang secara nggak langsung pengin menunjukkan bahwa wajah si klien memang nggak sebaik dibandingkan setelah di-makeup. Atau lebih halusnya: wajah klien di kedua foto itu tampak berbeda.
Padahal, kebanyakan dari kita justru akan memilih untuk meng-upload foto yang mana wajah kita tampak baik-baik saja. Kita pun berusaha meminimalisir sebanyak mungkin kekurangan wajah kita yang bakal terlihat di foto. Baik dengan pose tertentu atau meminta bantuan aplikasi yang bikin foto-foto jadi terlihat lebih cantik. Intinya, bukankah kita terbiasa menonjolkan kelebihan diri kita dan menutupi kurang cantiknya kita—supaya kita dapat membanggakan diri sendiri?
Lha ini, demi jasanya laris manis, para MUA malah jelas-kelas menunjukkan kekurangan wajah kita. Bahkan kalau bisa sih, memperlihatkan muka sebelum di-makeup dengan sedramatis mungkin—biar khalayak tahu, kalau kemampuan ber-makeup si MUA ini betul-betul mumpuni dan layak dijadikan rekomendasi. Tentu saja, muncul anggapan bahwa kecantikan si klien yang katanya bikin pangling—dan dipuji sana sini itu, ya berkat kemampuan makeup sang MUA.
Berkat makeup pula, rasa-rasanya untuk terlihat cantik tidak lagi perlu melakukan perawatan yang lama dan ribet dengan proses yang panjangnya keterlaluan. Cukup cas cis cus, maka wajah akan terlihat putih, merona, dan halus. Menjadi sedap dipandang mata. Tak perlu lagi edit berlebih saat ber-selfie ria.
Oke, kembali ke pertanyaan awal saya. Kira-kira bagaimana perasaan mbak klien yang foto before-after makeup-nya terpampang nyata. Malu kah? Atau merasa bangga seperti layaknya yang dirasakan oleh sang MUA?
Saya menyakini, tentu ada perasaan tidak nyaman ketika foto before-after wajah kita saat di-makeup, di-share sebagai bahan promosi. Namun, meski tidak mengenakkan, kita juga perlu bersyukur dan berterima kasih dengan cara promosi yang jamak dilakukan para MUA ini. Pasalnya, meski cukup membuat malu, nyatanya apa yang mereka lakukan itu dapat membantu kita untuk memahami diri kita sendiri sebetulnya seperti apa.
Foto before-after ini, justru membantu kita menerima diri kita apa adanya. Serta menyadarkan diri kita bahwa kita sudah terlalu sering berpura-pura dengan tidak menampakkan diri yang sebenarnya di depan khalayak—apalagi media sosial.
Alih-alih kepada orang lain, bahkan kepada diri sendiri untuk bersikap jujur saja kita ogah-ogahan. Misalnya, supaya tetap menjaga kepercayaan diri, kita memilih berkaca dengan selfie di handphone yang sudah ditambah dengan efek-efek beauty. Betul, kita memang menghargai diri kita, sayangnya dengan jalan yang menganggap diri kita memang terbaik adanya. Padahal, hal ini pelan-pelan justru sedang membohongi diri kita sendiri. Dalam jangka panjang, kita akan menjadi sosok yang tidak menghargai diri kita seutuhnya: tidak menghargai diri kita yang memang tidak sempurna.
Padahal, mengakui bahwa kita tidak sempurna, dapat membantu untuk meningkatkan self esteem kita. Ya, self esteem sendiri adalah bagaimana kita menilai keseluruhan keadaan di dalam diri baik yang menyenangkan maupun yang tidak. Yang bikin senyum-senyum sendiri maupun yang bikin dongkol-dongkol sendiri. Penilaian ini, akan membantu kita menerima diri kita dengan s-e-u-t-u-h-n-y-a. Penerimaan yang seutuhnya, akan memuluskan jalan kita untuk melewati ganjalan yang ada di dalam sehingga dapat memenuhi pencapaian yang diinginkan.
Meningkatkan self esteem tidak selalu mudah—dan tidak semudah yang saya tuliskan. Pasalnya kita telah terbiasa ingin menunjukkan citra diri yang terbaik di depan banyak orang, agar mendapatkan banyak pujian dari orang-orang sekitar. Kata-kata positif yang kita dapatkan dari orang-orang ini memang memberikan energi positif pada tubuh kita. Namun, jika tidak berhati-hati, kita malah dapat terjebak dalam perasaan yang jumawa. Jadi, ketika ada satuuuuuu saja komentar tidak baik dan tidak enak yang didapatkan. Kita langsung sedih, jatuh, dan kehilangan kepercayaan diri—yang sudah dipupuk pelan-pelan.
Kita tidak bisa mengatur semesta untuk mengikuti aturan kita dengan menjaga omongannya. Oleh karena itu, kita perlu menata hati untuk dapat membiasakan menerima komentar-komentar negatif dan menyakitkan. Supaya kita tidak mudah cemas dan perasaan kita tetap terjaga dalam keadaan baik-baik saja. Jadi apa pun kata orang, hal tersebut tidak akan cukup kuat untuk dapat menyakiti dan menghampaskan diri kita dalam luka dalam.
Menerima diri kita yang tidak sempurna, juga bukan berarti terus menancapkan di pikiran bahwa diri kita memang tidak worth it. Tidak sempurna dan tidak worth it adalah hal yang berbeda. Hal yang kedua maknanya justru memperlihatkan kita masih belum mencapai penerimaan. Yang dikhawatirkan, kita malah terus-terusan merasa menjadi pribadi yang kurang menarik lantas membuang-buang waktu untuk memikirkan sisi jelek kita semata.
Maka dari itu, promosi yang dilakukan oleh para MUA untuk menunjukkan kehebatan kemampuannya ini, meski cukup bikin mangkel dan kesal, nyatanya memang perlu diapresiasi. Pasalnya, mereka telah membantu kita dengan memberikan wadah untuk berani dan percaya diri memperlihatkan diri kita yang apa adanya—dengan kelebihan dan kekurangannya—tanpa polesan apa-apa.