Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Nggak Usah Ngaku Mengalami Gangguan Psikologis Kalau Cuma Bersumber dari Infografis

Audian Laili oleh Audian Laili
15 Desember 2018
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Dengan hanya bermodal internet kamu dengan mudahnya mendiagnosa diri sendiri. Yakin, ada gangguan psikologis dalam dirimu? Atau itu cuma gangguan yang dicocok-cocokin aja?

“Aku merasa hidupku terus menyedihkan, apa aku lagi depresi, ya?”

“Mungkin aku bipolar, deh. Soalnya aku bisa seneng terus langsung ngerasa sedih gitu aja.”

Apakah kamu sering mendengar kalimat-kalimat ini diobrolkan dalam pergaulanmu? Atau setidaknya, apa kamu pernah membacanya melalui caption atau tweet di media sosial?

Iya, terus kenapa? Apakah ada yang salah, menyebut diri sendiri dengan istilah-istilah psikologis seperti itu? Kita kan aware dengan kesehatan mental kita.

Oh tentu tidak, Sayang. Saya justru merasa senang. Betul, itu artinya pemahaman kita terhadap pentingnya kesadaran kesehatan mental malah meningkat.

Jika sebelumnya masalah kesehatan mental ini sangat jarang yang memedulikan, sekarang pelan-pelan kita telah belajar untuk mengenali apa saja yang terjadi dalam diri kita. Serta merasakan apa yang sedang berontak di dalamnya.

Tentu saja, hal ini tidak dapat dimungkiri berkat peran besar media yang terus menggaungkan tentang pentingnya kesadaran terhadap kesehatan mental. Menjadikan ciri-ciri tentang gangguan psikologis ini mudah ditemukan di dunia digital kita. Dikemas dalam berbagai macam bentuk yang sungguh menarik, menggunakan infografis misalnya. Hal ini memang betul-betul memudahkan kita mempelajari tentang suatu gangguan psikologis, hingga akhirnya…

…mudah mendiagnosa diri sendiri.

Kita ambil contoh, kita sedang membaca sebuah infografis tentang depresi. Di situ disebutkan tentang ciri-ciri dari seseorang yang mengalami depresi. Di antaranya, tidak punya minat untuk beraktivitas, mengalami gangguan tidur, gangguan makan, dan lain lain. Nah, ketika kita membaca informasi tersebut, lantas kita merefleksikannya pada diri kita sendiri. Sambil mengecek, apakah ada dari ciri-ciri yang disebutkan juga kita alami?

Oh ternyata ada. Ada yang muncul dengan intensitas rendah. Ada pula yang muncul dengan intensitas yang cukup tinggi.

“Wah, iya nih. Aku sering banget ngerasa nggak punya kekuatan dan semangat untuk menjalani hari. Sepertinya aku ada potensi mengalami depresi, deh!”

Eits, tunggu dulu. Tunggu dulu. Tidak semudah itu, Kisanak.

Bagaimana bisa kamu langsung yakin kalau tidak ada semangat dalam menjalani hari, itu dikarenakan kamu sedang mengalami depresi. Bisa jadi, ya memang pada dasarnya kamu itu, MALES NGAPA-NGAPAIN!!!1!!11!

Iklan

Setidaknya, ada dua tipe respon seseorang ketika kita mengetahui tentang sebuah gejala gangguan psikologis yang dianggap terjadi pada diri kita, dari hasil diagnosa pribadi tentunya.

Pertama, kita akan merasa panik dan bingung terhadap sesuatu yang masih belum betul-betul terjadi pada diri kita sendiri. Hanya dengan modal pengetahuan dari mesin pencarian Google yang kita tidak benar-benar tahu sumbernya, yang bisa jadi itu pun masih data mentah—masih membutuhkan proses lebih lanjut untuk diaplikasikan. Kita langsung terseok-seok mengetahui sesuatu yang dianggap kenyataan tersebut. Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?

Yak, betul. Kita yang sebetulnya tidak depresi, lalu jadi benar-benar depresi. Sungguh luar biasa!

Kedua, respon yang diberikan justru menerima kondisi tersebut. Iya, ya, yang namanya penerimaan itu biasanya baik untuk berdamai dengan diri sendiri. Penerimaan dalam kondisi yang hanya diperkirakan—dengan cara instan tersebut—memang baik. Setidaknya, kira sudah berusaha menyadari dan menerimanya.

Nah, yang kemudian menjadi masalah adalah, penerimaan ini selanjutnya betul-betul tetap dalam bentuk penerimaan.

“Lalu, apa masalahnya?”

Begini, Sayang. Yang namanya diagnosa itu kan untuk memahami apa yang sebetulnya terjadi dalam diri kita. Ketika kita sudah memahami bahwa ada sesuatu yang tidak baik-baik saja, kita memang harus menerima kondisi tersebut. Tetapi, itu tidak berhenti pada mengetahui dan menerima saja.

Kita tahu kita tidak sedang tidak sehat. Ya kali, kita tidak melakukan apa-apa?

Ini kayak kita lagi sakit gigi, tapi nggak mau minum obat, nggak mau ke dokter gigi, tapi hanya menerima sakit gigi tersebut dan menangisi kondisi tersebut. Sendiri di pojokan kamar.

Ya, nggak masalah sih kalau memang kita merasa kuat, jadi tidak butuh untuk minum obat. Apalagi biasanya sakitnya juga bakal hilang-hilang sendiri. Tapi, kalau rasa sakit itu muncul dengan cukup intens, sampai kapan kita tahan menyakiti diri sendiri, Sayang?

Begitu juga dengan kesehatan mental—hasil dari diagnosa pribadi—kita tidak sedang baik-baik saja. Kita tidak berusaha untuk melakukan suatu hal. Kita tidak berusaha untuk mencari pertolongan. Kita justru menjadikan gangguan psikologis tersebut terlabel pada diri kita.

Lantas yang jauh lebih parah selanjutnya, kita menjadikan label yang dibuat-buat tersebut sebagai alasan dalam setiap ketidakmampuan kita.

Misalnya, ketika kita tidak berhasil menyelesaikan tanggung jawab, kita beralasan, “Maaf aku nggak sanggup nyelesain. Aku lagi depresi soalnya.”

NICE. Iya gitu aja terus, masalah psikologis hasil diagnosa sendiri dijadikan topeng segala ketidakmampuan dan kemalasannya. Terus, merasa nggak perlu berusaha menyembuhkan diri sendiri. Soalnya nanti malah jadi nggak punya cara untuk bermalas-malasan, dengan alasan sedang depresi.

“Aku tuh beneran depresi, loh. Kok kamu sewot, sih?”

Sayang, kalau kamu memang merasa depresi dan tidak nyaman dengan kondisi tersebut. Seharusnya kamu punya yang namanya effort untuk sembuh. Kalau kamu ngaku-ngaku emang mau dan pengin sembuh, tapi diminta mencari pertolongan pada tenaga profesional aja banyak alasan. Itu artinya kamu nggak betul-betul pengin sembuh dan justru nyaman dengan topeng ‘gangguan psikologismu’ itu.

Terakhir diperbarui pada 24 Februari 2019 oleh

Tags: depresigangguan psikologiskesehatan mentalself diagnosing
Audian Laili

Audian Laili

Redaktur Terminal Mojok.

Artikel Terkait

Program PIJAR sebagai upaya Pemerintah Kota Semarang atasi persoalan gangguan kesehatan mental remaja MOJOK.CO
Kilas

PIJAR: Gerakan agar Para Remaja di Semarang Tak Merasa Sendirian, Biar Tak Alami Gangguan Kesehatan Mental

15 Oktober 2025
Para pembicara di “Sarasehan” dengan tajuk Generasi Emas: Mengenal Akar Kenakalan Remaja dan Solusinya yang diadakan oleh Al Kahfi Cabang Surabaya 3. MOJOK.CO
Kilas

Miris Melihat Remaja Terjerumus dalam Jurang “Kegelapan”, Yayasan Al Kahfi Ajak Ratusan Pelajar SMA Surabaya Menemukan Jati Diri

13 Agustus 2025
Teman Manusia Jogja ajak menengok anak kecil dalam diri kita yang dewasa MOJOK.CO
Kilas

Teman Manusia Jogja Ajak Tengok Anak Kecil dalam Diri Dewasa Kita, Tanggalkan Beban untuk Lebih Kuat Jalani Kehidupan

23 Juli 2025
Lulus dari UAD, Jogja pindah ke Bangka untuk bangun karier sebagai psikolog. MOJOK.CO
Sosok

Jogja bikin Saya Sadar “Kebobrokan” di Kampung Halaman hingga Punya Motivasi untuk Membangun Karier sebagai Psikolog

30 Mei 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.