MOJOK.CO – Dengan hanya bermodal internet kamu dengan mudahnya mendiagnosa diri sendiri. Yakin, ada gangguan psikologis dalam dirimu? Atau itu cuma gangguan yang dicocok-cocokin aja?
“Aku merasa hidupku terus menyedihkan, apa aku lagi depresi, ya?”
“Mungkin aku bipolar, deh. Soalnya aku bisa seneng terus langsung ngerasa sedih gitu aja.”
Apakah kamu sering mendengar kalimat-kalimat ini diobrolkan dalam pergaulanmu? Atau setidaknya, apa kamu pernah membacanya melalui caption atau tweet di media sosial?
Iya, terus kenapa? Apakah ada yang salah, menyebut diri sendiri dengan istilah-istilah psikologis seperti itu? Kita kan aware dengan kesehatan mental kita.
Oh tentu tidak, Sayang. Saya justru merasa senang. Betul, itu artinya pemahaman kita terhadap pentingnya kesadaran kesehatan mental malah meningkat.
Jika sebelumnya masalah kesehatan mental ini sangat jarang yang memedulikan, sekarang pelan-pelan kita telah belajar untuk mengenali apa saja yang terjadi dalam diri kita. Serta merasakan apa yang sedang berontak di dalamnya.
Tentu saja, hal ini tidak dapat dimungkiri berkat peran besar media yang terus menggaungkan tentang pentingnya kesadaran terhadap kesehatan mental. Menjadikan ciri-ciri tentang gangguan psikologis ini mudah ditemukan di dunia digital kita. Dikemas dalam berbagai macam bentuk yang sungguh menarik, menggunakan infografis misalnya. Hal ini memang betul-betul memudahkan kita mempelajari tentang suatu gangguan psikologis, hingga akhirnya…
…mudah mendiagnosa diri sendiri.
Kita ambil contoh, kita sedang membaca sebuah infografis tentang depresi. Di situ disebutkan tentang ciri-ciri dari seseorang yang mengalami depresi. Di antaranya, tidak punya minat untuk beraktivitas, mengalami gangguan tidur, gangguan makan, dan lain lain. Nah, ketika kita membaca informasi tersebut, lantas kita merefleksikannya pada diri kita sendiri. Sambil mengecek, apakah ada dari ciri-ciri yang disebutkan juga kita alami?
Oh ternyata ada. Ada yang muncul dengan intensitas rendah. Ada pula yang muncul dengan intensitas yang cukup tinggi.
“Wah, iya nih. Aku sering banget ngerasa nggak punya kekuatan dan semangat untuk menjalani hari. Sepertinya aku ada potensi mengalami depresi, deh!”
Eits, tunggu dulu. Tunggu dulu. Tidak semudah itu, Kisanak.
Bagaimana bisa kamu langsung yakin kalau tidak ada semangat dalam menjalani hari, itu dikarenakan kamu sedang mengalami depresi. Bisa jadi, ya memang pada dasarnya kamu itu, MALES NGAPA-NGAPAIN!!!1!!11!
Setidaknya, ada dua tipe respon seseorang ketika kita mengetahui tentang sebuah gejala gangguan psikologis yang dianggap terjadi pada diri kita, dari hasil diagnosa pribadi tentunya.
Pertama, kita akan merasa panik dan bingung terhadap sesuatu yang masih belum betul-betul terjadi pada diri kita sendiri. Hanya dengan modal pengetahuan dari mesin pencarian Google yang kita tidak benar-benar tahu sumbernya, yang bisa jadi itu pun masih data mentah—masih membutuhkan proses lebih lanjut untuk diaplikasikan. Kita langsung terseok-seok mengetahui sesuatu yang dianggap kenyataan tersebut. Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?
Yak, betul. Kita yang sebetulnya tidak depresi, lalu jadi benar-benar depresi. Sungguh luar biasa!
Kedua, respon yang diberikan justru menerima kondisi tersebut. Iya, ya, yang namanya penerimaan itu biasanya baik untuk berdamai dengan diri sendiri. Penerimaan dalam kondisi yang hanya diperkirakan—dengan cara instan tersebut—memang baik. Setidaknya, kira sudah berusaha menyadari dan menerimanya.
Nah, yang kemudian menjadi masalah adalah, penerimaan ini selanjutnya betul-betul tetap dalam bentuk penerimaan.
“Lalu, apa masalahnya?”
Begini, Sayang. Yang namanya diagnosa itu kan untuk memahami apa yang sebetulnya terjadi dalam diri kita. Ketika kita sudah memahami bahwa ada sesuatu yang tidak baik-baik saja, kita memang harus menerima kondisi tersebut. Tetapi, itu tidak berhenti pada mengetahui dan menerima saja.
Kita tahu kita tidak sedang tidak sehat. Ya kali, kita tidak melakukan apa-apa?
Ini kayak kita lagi sakit gigi, tapi nggak mau minum obat, nggak mau ke dokter gigi, tapi hanya menerima sakit gigi tersebut dan menangisi kondisi tersebut. Sendiri di pojokan kamar.
Ya, nggak masalah sih kalau memang kita merasa kuat, jadi tidak butuh untuk minum obat. Apalagi biasanya sakitnya juga bakal hilang-hilang sendiri. Tapi, kalau rasa sakit itu muncul dengan cukup intens, sampai kapan kita tahan menyakiti diri sendiri, Sayang?
Begitu juga dengan kesehatan mental—hasil dari diagnosa pribadi—kita tidak sedang baik-baik saja. Kita tidak berusaha untuk melakukan suatu hal. Kita tidak berusaha untuk mencari pertolongan. Kita justru menjadikan gangguan psikologis tersebut terlabel pada diri kita.
Lantas yang jauh lebih parah selanjutnya, kita menjadikan label yang dibuat-buat tersebut sebagai alasan dalam setiap ketidakmampuan kita.
Misalnya, ketika kita tidak berhasil menyelesaikan tanggung jawab, kita beralasan, “Maaf aku nggak sanggup nyelesain. Aku lagi depresi soalnya.”
NICE. Iya gitu aja terus, masalah psikologis hasil diagnosa sendiri dijadikan topeng segala ketidakmampuan dan kemalasannya. Terus, merasa nggak perlu berusaha menyembuhkan diri sendiri. Soalnya nanti malah jadi nggak punya cara untuk bermalas-malasan, dengan alasan sedang depresi.
“Aku tuh beneran depresi, loh. Kok kamu sewot, sih?”
Sayang, kalau kamu memang merasa depresi dan tidak nyaman dengan kondisi tersebut. Seharusnya kamu punya yang namanya effort untuk sembuh. Kalau kamu ngaku-ngaku emang mau dan pengin sembuh, tapi diminta mencari pertolongan pada tenaga profesional aja banyak alasan. Itu artinya kamu nggak betul-betul pengin sembuh dan justru nyaman dengan topeng ‘gangguan psikologismu’ itu.