MOJOK.CO – Apa? Ada rencana pemisahan laki-laki dan perempuan untuk pendakian Gunung Rinjani, demi konsisten dengan konsep wisata halal? Ini beneran apa hoaks, sih?
Sebetulnya, saya masih belum paham-paham amat dengan konsep wisata halal yang tengah diseriusi sama pemerintah. Hanya saja, yang saya tahu, pemerintah lagi begitu bergembira karena tahun ini Indonesia dan Malaysia sama-sama menduduki posisi puncak sebagai destinasi wisata halal terbaik 2019 versi Global Muslim Travel Index atau GMTI. Wow! Sebuah target dari Kementerian Pariwisata untuk menjadi destinasi wisata halal terbaik dunia, akhirnya tercapai!!!
Tidak hanya itu. Apalagi, saat ini ada 5 kota dari 10 destinasi wisata halal terbaik di dunia, berada di Indonesia. Di antaranya, Lombok, Aceh, Riau dan Kepulauan Riau, Jakarta, dan Sumatera Barat.
Pertama kali saya mendengar soal wisata halal ini, saya kira ini nggak jauh berbeda dengan wisata religi yang selama ini dilakukan dengan berwisata ke lokasi-lokasi religius. Seperti berwisata ke makam-makam Walisongo. Namun ternyata, ada perbedaan di antara keduanya. Jika wisata religi ini lebih mengedepankan soal sisi historis dan religiusitas. Sementara wisata halal, lebih mengedepankan aspek pelaku atau wisatawannya sendiri.
Menurut beberapa sumber, sebuah perjalanan wisata bisa dikatakan sebagai wisata halal, dengan beberapa indikator. Antara lain, tersedianya makanan halal yang bebas alkohol, daging babi, dan sejenisnya. Lalu, tersedianya fasilitas ibadah dan ada kamar mandi dengan air untuk wudhu. Selain itu, ada pelayanan khusus saat bulan Ramadan, semisal tersedia santapan berbuka dan sahur. Ada pula pencantuman label non-halal jika makanan tersebut tidak halal. Dan terakhir, fasilitas wisatanya menjaga privasi dan tidak bercampur baur secara bebas.
Indikator di atas, merupakan indokator paling sederhananya. Pasalnya, untuk dapat memenuhi standar internasional, masih ada indikator-indikator lain, salah satunya yang ramah untuk anak dan keluarga.
Lantaran Lombok menjadi salah destinasi wisata halal terbaik di dunia. Bahkan menempati posisi pertama sebagai destinasi wisata halal unggulan nasional. Maka, menjadi dapat dipahami kalau ghirah ini menyuara ke segala pelosok, hingga muncul wacana kalau Gunung Rinjani akan menjadi salah satu desninasi dari wisata halal ini. Bagaimana teknisnya? Yakni dengan memisahkan pendaki laki-laki dan perempuan.
Awalnya, saya kira betul-betul dipisah sejak dari jalur pendakian. Walah, kalau memang betul ini yang terjadi, lumayan susah juga, ya. Pasalnya, biasanya dalam tim pendakian, baik laki-laki maupun perempuan punya peran masing-masing. Yang sering terjadi, cuma seringnya, loh, ya. Laki-laki punya peran untuk membawa perlengkapan pendakian yang lebih berat—semisal menggotong tenda untuk digunakan bersama. Sementara yang perempuan, biasanya punya peran untuk mendokumentasikan. Fyi, jangan pernah sekali-kali sepelekan soal dokumentasi~
Ya, meski memang tidak selalu seperti itu. Kalau memang betul-betul dipisah saat mendaki, bisa saja dalam satu rombongan itu hanya terdiri dari dua perempuan dan tujuh laki-laki. Lah kalau dipisah, berarti nanti rombongan yang perempuan jadi kesepian, dong? Oke, bolehlah kalau memang saat itu ada rombongan pendaki yang lain, jadi masih ada temennya. Lha, kalau nggak ada?
Tapi ternyata, saya sendiri yang overthinking. Rencana wisata halal untuk dipisah ini bukan dimulai dari jalur pendakian. Namun, untuk pemisahan tendanya saja. Tapi tetap saja, kalau ini betul-betul dilakuin, sungguh smh. Bukankah Gunung Rinjani itu medannya berat banget, ya? Apa ya para pendaki ini bakal masih kepikiran buat ena-ena? Emangnya masih punya tenaga? Lha wong, untuk makan aja diatur sedemikian rupa biar nggak kekurangan tenaga hingga kembali di bawah nanti. Masak ya, kalorinya malah dipakai buat “hal-hal yang lain”?
Nah, setelah ada pro kontra selama beberapa hari mengenai hal ini, akhirnya Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani mengatakan, untuk saat ini rencana program tersebut tidak akan dilaksanakan. Pasalnya, bukan menjadi prioritas dari Balai Taman Nasional Gunung Rinjani.
Gimana, gimana? Lega? Atau malah menyesalkannya? Wqwqwq.
Iya, sih. Sudah betul itu, kalau rencana ini nggak perlu dijadiin prioritas, karena nggak berhubungan langsung dengan pelestarian alam Indonesia. Bukankah biasanya orang-orang yang lagi di tempat semacam gunung kayak gitu, akan bersikap dengan lebih beradab, ya. Pasalnya tahu dan paham, kalau tempat itu bukanlah tempatnya. Kita yang datang adalah tamu. Ada semesta lain yang tinggal di situ, sehingga kita tidak dapat bersikap semau-maunya.
Lagian ya, daripada ribet-ribet ngatur hal-hal semacam ini—hanya demi meningkatkan penilaian sebagai wisata halal terbaik. Bukankah lebih baik ngurusin untuk menemukan cara paling tepat dan jitu menumbuhkan kesadaran pendaki supaya membawa kembali sampahnya selama pendakian tersebut? ini masih jadi PR yang gueeede, loh. Apalagi sejak naik gunung menjadi sebuah gaya hidup supaya diaku sebagai anak indie yang cinta foto-foto berlatar belakang alam~
Oh ya, sekadar mengingatkan. Btw, itu gunung loh, Pak. Bukan gurun.