MOJOK.CO – Film Dilan 1991 ditolak di Makassar. Katanya berpotensi meningkatkan kekerasan di dunia pendidikan. Meningkatkan? Ehm, bukannya udah sering dari dulu, ya?
Sekuel Film Dilan 1991 tayang perdana pada hari ini (28/02). Film yang dibintangi oleh Iqbaal Ramadhan serta Vanesha Precilla ini memang cukup dinanti-nanti. Apalagi di sekuel sebelumnya, Dilan 1990 yang tayang tahun lalu, bisa dikatakan mereka cukup sukses besar. Baik dalam jumlah penonton maupun berhasil memporak-porandakan psikologis para penontonnya. Yang sukses membuat banyak generasi muda menjadi bucin dan pengin hidupnya diklepek-klepek dengan gombalan cinta.
Oleh karena kesuksesan tersebut, sampai-sampai, membuat Ridwan Kamil—entah sebagai Gubernur Jawa Barat atau pemeran cameo di film ini—memutuskan membangun Taman Sudut Dilan di Bandung yang menyisahkan pro dan kontra.
Namun, meski seolah-olah berhasil menaburkan cinta di mana-mana, ternyata tidak semua pihak menyambut baik penayangan film ini. Pemutaran film Dilan 1991, mendapatkan penolakan dari sekelompok aktivis mahasiswa yang mengatasnamakan diri sebagai Komando Mahasiswa Merah Putih (Kompi) Sulawesi Selatan.
Banyak netizen yang menganggap penolakan ini, karena mereka adalah kaum jomblo yang nggak bakal kuat lihat romantisme Iqbaal dan Vanesha. Namun ternyata, penolakan ini dilakukan karena film tersebut berpotensi (((meningkatkan kekerasan))) di dunia pendidikan. Apalagi menurut mereka, film Dilan tidak sesuai dengan budata Bugis-Makassar yang memegang teguh budaya ketimuran yang sangat santun.
Aksi penolakan tersebut mereka lakukan melalui aksi demo di kantor Dinas Pendidikan Kota Makassar. Yang mereka sebut hanya sebagai aksi pra kondisi—atau cuma gertak aja. Pasalnya, jika film tersebut akan tetap diputar, mereka mengancam akan mengepung mall atau memboikot seluruh bioskop di sana. Wow! Sungguh sangat Massivers masif sekali aksi mereka ini.
Namun, aksi tersebut cukup membuat saya bingung. Kenapa film tersebut harus ditolak ketika memunculkan kekerasan di dunia pendidikan? Mereka ini sedang pura-pura lupa, atau sedang malu dengan keadaan pendidikan kita yang sebenarnya, sih? Bukankah kekerasan yang disampaikan di film tersebut, memang sudah sering terjadi di dalam dunia pendidikan kita? Jadi, mohon maaf, nih, lalu kenapa harus ditutup-tutupi?
Aneh saja rasanya jika kita sok merasa suci dan sok takut terpengaruh hal-hal buruk terjadi. Yang nyata-nyatanya, sudah terjadi di sekitar kita. Sampai saat ini, kejadian tentang tawuran antar sekolah masih aja terjadi. Akhir bulan lalu, seorang pelajar tewas setelah terlibat tawuran di Magelang, tepat sepulang uji coba UNBK. Tak hanya di tingkat SMA, bahkan tahun lalu, 15 anak SD akan menyerang sekolah lain dengan senjata tajam. Yak, pelajar SD. Itu artinya, ada yang salah dengan sistem pendidikan kita. Lalu, bagaimana bisa, ujug-ujug menyalahkan film ini karena katanya berpotensi meningkatkan kekerasan di dunia pendidikan?
Menjadikan film Dilan sebagai kambing hitam, jelas bukanlah cara yang elegan dan tepat. Bukankah justru film ini ikut membantu menyampaikan hal yang tidak enak didengar ini kepada masyarakat, ya? Dengan penyampaian ini, tentu akan banyak orang yang jadi kepikiran, jadi punya pikiran lebih terbuka, dan jadi inget: kalau kekerasan dalam dunia pendidikan memang belum betul-betul dapat diselesaikan dengan baik.
Banyak masalah yang belum diselesaikan dengan baik, karena kita yang masih bermasalah ini, memilih menjadi munafik. Memilih terlihat baik-baik saja, nggak punya masalah apa-apa. Lantas menjadi pengecut dengan menghindari masalah, bukannya menghadapi dan menyelesaikannya. Iya, kayak lagi berantem sama pacar, tapi milih diem-dieman sebulan, bukannya ngobrol dan berusaha mengatasinya.
Jadi, daripada sok menyalahkan film Dilan, lebih baik dicari betul-betul gimana caranya supaya angka kekerasan di dunia pendidikan tidak semakin meningkat. Saya yakin kok, kalau memang kualitas pendidikan di Indonesia semakin baik, tentu saja pemahaman seseorang terhadap sesuatu juga semakin baik. Bukankah, tugas pendidikan bukan sekadar membuat bangsa ini cerdas secara intelektual, tetapi juga secara emosional dan spiritual, ya?
Jadi, tak perlu juga merasa takut, kalau ada tayangan-tayangan semacam ini diperlihatkan, bakal mudah membuat generasi muda kita nggumunan. Seseorang yang tidak hanya cerdas secara intelektual, namun juga emosional dan spiritual, dia pasti bisa memahami sebuah kejadian, kok. Dia akan dengan cerdas dalam mempertimbangkan berbagai konsekuensi segala tindakan yang dia ambil. Nggak asal mengamati lalu langsung jalani.
Sebaliknya, dengan memilih cara yang sok bersih dan menutup-nutupi sebuah masalah semacam ini, justru potensi membuat generasi kita nggumunan lalu malah penasaran, jadi lebih besar. Kalau penasarannya diungkapkan di sebuah hal yang tepat, sih. Nggak ada masalah. Tapi kalau pada suatu hal yang belum pernah kita perkirakan sebelumnya, gimana? Jadi, buat apa, sih, masalah kayak begini aja harus ditutup-tutupi, Kisanak?
Tolong lah, logikanya jangan dibolak-balik. Kekerasan di dunia pendidikan yang ada di film Dilan itu, memang nyata terjadi. Lantas, apa salahnya jika sebuah cerita film dibuat berdasarkan sesuatu yang betul-betul terjadi di kehidupan nyata kita? Kenal istilah art imitating life, kan? Di mana sebuah karya seni diciptakan karena mengimitasi apa yang betul-betul terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Hitung saja, sudah berapa banyak film-film yang menjadikan dunia perdukunan sebagai salah satu scene-nya. Lalu, apakah ada yang ujug-ujug protes karena hal tersebut merupakan suatu hal yang bisa memengaruhi seseorang untuk syirik? Hmmm, nggak juga, kan? Pasalnya, orang-orang juga udah paham, maskipun nggak jelas-jelas amat terlihat, tapi sebetulnya praktek perdukunan ini memang betul-betul ada dalam kehidupan keseharian.
Sekali lagi, bagi saya, sangat aneh dan wagu rasanya. Kalau ada yang protes dengan penayangan film Dilan 1991 hanya karena di situ ada scene yang memperlihatkan kekerasan dalam dunia pendidikan. Lalu, nggak mau kalau hal tersebut bakal memengaruhi generasi muda untuk bertindak serupa. Padahal mah, bukannya dari dulu hal kayak gitu udah terjadi, kok, yang disalahin malah film Dilannya. Ini gimana, ceritanya?
Kalau memang sebetulnya ngiri sama keromantisan mereka, ya, udah, ngaku aja. Nggak usah cari-cari alasan biar sok intelek tapi nggak pas gitu, lah~