MOJOK.CO – Bagaimana jika KPU dan Bawaslu yang disebut sebagai penengah, justru memicu pertengkaran itu sendiri?
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang sama-sama menjadi penyelenggara dalam Pilpres dan Pileg mendatang, tengah berseteru. Permasalahan di antara keduanya ini terjadi dikarenakan adanya perlakuan yang berbeda terhadap peraturan yang sudah ada.
Tentu saja keadaan ini dianggap tidak baik. Pasalnya, mereka merupakan lembaga yang dipercaya untuk menjadikan Pemilu dapat terlaksana dengan baik. Nah, jika penyelenggaranya saja tidak sejalan, lalu bagaimana dengan proses Pemilunya nanti? Lebih lanjut, apakah kemudian hasil dari proses itu akan memberikan output yang maksimal?
Permasalahan yang tengah mereka perdebatkan adalah tentang Bawaslu yang meloloskan mantan napi korupsi sebagai bakal calon legislatif (bacaleg). Di satu sisi, KPU dengan berpedoman pada Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018, melarang mantan napi korupsi maju sebagai calon wakil rakyat.
Sementara Bawaslu, justru meloloskan mantan napi korupsi tersebut melalui sidang sengketa dengan berpedoman pada Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang tidak memuat larangan mantan napi korupsi nyaleg. Tentu saja hal ini menyebabkan tidak adanya keputusan hukum.
Peraturan yang melarang napi korupsi untuk menjadi bacaleg ini cukup diapresiasi oleh banyak pihak. Pasalnya, peraturan ini dianggap dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintahan yang sebelumnya dirasa tidak dapat lagi dipercaya dengan banyaknya pejabat publik yang korupsi.
Dengan adanya peraturan ini, masyarakat menganggap para koruptor diberikan hukuman yang lebih berat. Tidak hanya sebatas hukuman penjara saja. Ke depan dengan hukuman tersebut, diharapkan semakin banyak pihak yang takut untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam permasalahan ini, KPU merasa kecewa dengan keputusan yang diambil oleh Bawaslu. Pasalnya, PKPU sendiri sudah disahkan langsung oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), sehingga seharusnya telah menjadi hukum untuk ditaati oleh seluruh penyelenggara Pemilu.
Perseteruan di antara mereka memang sangat disayangkan. Padahal keduanya memang didesain dapat bekerja sama dengan baik sebagai satu kesatuan dalam menyelenggarakan Pemilu 2018.
Selain itu, yang ditakutkan dengan adanya perseteruan ini, maka tingkat kepercayaan publik pun akan menurun terhadap penyelenggaraan Pemilu. Ya coba dibayangkan, jika pihak yang dianggap dapat menjadi penengah orang-orang yang tengah “berkompetisi” saja tidak kompak dan justru saling menuding, bagaimana nantinya pelaksanaan kompetisi tersebut? Dapatkan berjalan dengan lancar?
Masak ya harus cawe-cawe Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPPU) terus untuk melerai, biar keduanya bisa bekerja dengan maksimal?
Jangan sampai kemenangan seseorang dalam Pilpres maupun Pileg hanya didasarkan oleh perhitungan satu lembaga saja. Misalnya, “Iya, memang si A menang menurut KPU, tapi kan belum tentu menurut Bawaslu.” Tentu jika hal ini terjadi, maka katakan, selamat tinggal pada demokrasi~
Sekali lagi, sangat disayangkan permasalahan ini ada. Jika panitianya saja, tidak dapat berkoordinasi dengan baik, apakah masih dapat berharap Pemilunya juga dapat berjalan baik?
Ah, ini menyedihkan. Pihak yang akan menjadi penengah, justru memicu pertengkaran itu sendiri.