MOJOK.CO – Jokowi minta rakyatnya untuk mengkritik pemerintah, terutama soal pelayanan publik. Duh, udah lupa sama UU ITE ya, Pak?
Sore yang murung belakangan ini, bikin saya harus ikut murung melihat kondisi yang makin lama makin rapuh. Apalagi ketika menyadari kalau tanda-tanda pandemi belum juga kelihatan menjauh.
Di tengah kerapuhan itu, muncul satu informasi yang bikin saya senang bukan kepalang. Presiden yang paling kita sayangi, Bapak Jokowi, meminta rakyat Indonesia supaya berani menyampaikan kritik pemerintah, terutama ke pelayanan publik.
“Semua pihak harus menjadi bagian dari proses untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik, masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan ataupun potensi maladministrasi dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan,” kata Jokowi.
Mengetahui kabar itu, awalnya saya bahagia. Penantian soal kebebasan berpendapat, khususnya dalam mengkritik pelayanan publik akhirnya mendapat ruang.
Itu artinya, kalau saya pergi ke bank, kantor dinas, kantor polisi, atau pelayanan publik lainnya dan ada keganjilan, saya berhak untuk komplain. Tentu saja petugas di tempat-tempat itu tidak boleh jengkel, nesu, atau gersulo kalau saja kebetulan saya rekam tindak kesalahan prosedur mereka di lapangan.
Namun sejenak saya tersadar dari halusinasi saya. Ya tadi itu saya cuma berhalusinasi ternyata. Toh kalau kalimat blio dipahami lagi, Jokowi hanya meminta. Perkara meminta ini kan belum tentu terjadi. Apalagi yang diminta rakyatnya, bukan pejabatnya yang harus evaluasi diri.
Dengan kata lain, ketimbang Jokowi meminta jajarannya memberi pelayanan terbaik, blio lebih memilih minta rakyatnya untuk kritis terhadap segala bentuk kebijakan. Masalahnya, yang belakangan terjadi justru kritik sering jadi bumerang buat rakyatnya sendiri.
Apa yang disebut Jokowi, negara hadir dalam wujud pelayanan publik itu barangkali benar belaka. Tapi ketika pelayanan publik itu bermasalah, dan diserang badai kritik, negara justru berulang kali mendadak amnesia.
Jokowi sah-sah saja bilang masyarakat harus berani mengkritik. Dan saya yakin, untuk permintaan Jokowi yang satu ini bakal dituruti oleh seluruh rakyat Indonesia. Namun rakyat juga nggak bodoh-bodoh amat sampai lupa sama keberadaan UU ITE.
Oke deh, saya juga tahu, UU ITE sendiri memang bukan produk orisinil Jokowi. Itu hasil kreasi dan inovasi presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2008. Masalahnya UU ITE yang sekarang semakin kelihatan ngerinya justru setelah Jokowi naik tahta.
Sebentar saya catatkan dulu.
Tahun 2019, jurnalis cum aktivis, Dandhy Dwi Laksono dilaporkan karena diduga menebar kebencian dan dijerat UU ITE. Musisi plus aktivis, Ananda Badudu juga tertimpa hal serupa.
Bahkan jika melihat data SAFEnet dan Amnesty Internasional, mungkin Jokowi bakalan kaget lagi.
Kasus kebebasan berekspresi yang terkait UU ITE pada masa awal-awal Jokowi jadi presiden mengalami peningkatan. Ada 233 kasus sepanjang 2014-2019. Jumlah itu berlipat-lipat lebih banyak dari masa pemerintahan SBY yang “hanya” 74 kasus selama 2009-2014.
Tahun 2020 kemarin pun jumlahnya bertambah muakin banyak. Catatan SAFEnet, Oktober 2020 mencapai 324 kasus. Ini kok kasus UU ITE udah kayak kejar setoran gini sih kesannya? Dapaniya?
Pertanyaannya, apa yang membuat kasus-kasus yang menyangkut UU ITE semakin banyak dari tahun ke tahun?
Ha yo salah satunya adalah sifat elastis pasal dalam UU ITE. Karet yang semestinya buat ngiket bungkus nasi goreng biar tahu mana pedes mana nggak, kenyataannya juga bisa bikin rakyatnya kepedesan karena risiko dipenjara.
Adalah UU Nomor 19 Tahun 2016 juncto UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pasal 27 ayat 3 yang cukup berhasil bisa digoreng siapapun yang kepengin menjatuhkan siapa.
Begini bunyinya pasalnya kurang lebih:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Bukan itu saja, pada Pasal 28 ayat dua juga dinilai banyak orang sebagai pasal karet. Bunyinya seperti ini:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan asa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Membaca bunyi pasalnya saja boleh jadi bikin kepala saya yang orang awam harus minum puyer sakit kepala. Apalagi setelah tahu pasal yang cakupannya embuh itu digunakan sebagai alat untuk menjerat seseorang.
Dan hebatnya, UU ITE paling sering dimanfaatkan oleh pejabat negara.
Nggak percaya? Data SAFEnet tahun 2018 menunjukkan ada 245 kasus dengan pelapor paling banyak adalah pejabat negara, yaitu 32,92 persen. Angkanya bahkan melebihi sepertiga jumlah pelapor. Wedyaaan.
Itu baru 2018 lho, mau tahu yang baru kejadian di tahun 2021 ini? Oh ada. Indonesia sudah punya kelakuan pejabat yang bikin geleng-geleng kepala. Melaporkan rakyatnya sendiri karena mengkritik lho.
Hal itu kejadian sama warga di Kalimantan Selatan pada Januari silam. Diawali dari sebuah video durasi 11 detik yang mengkritik penanganan banjir, Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor, malah tidak terima dan mengirim somasi ke kepolisian per tanggal 17 Januari 2012 yang ditujukan untuk melaporkan si pembuat konten video.
Bahkan dalam keterangan tertulisnya, disebutkan video itu adalah fitnah dan mengandung unsur kebencian yang ditujukan untuk Pak Gubernur Kalimantan Selatan. Buseeet. Udah lah kena banjir, malah dilaporin sama gubernurnya sendiri lagi. Apes, apes.
Tentu saja, saya ingin sekali menautkan video itu di sini, haaa tapi kan kalau warganya sendiri aja ngritik mau dipolisikan, ya apalagi saya? Ya mending situ cari aja sendiri videonya. Saya belum sekeren Wiji Thukul atau Munir soalnya kalau mau dijadiin martir kebebasan berpendapat.
Belum lagi polisi siber yang nggak lama ini diaktifkan oleh Menkopolhukam, Mahfud MD. Jadi semisal ini, ada rakyat yang kritik pelayanan, dan ndilalah pejabatnya baik hati dan nggak gampang tersinggung. Apakah bakalan sudah aman? Hooo ya belum tentu.
Sebab polisi siber sekarang sudah bisa menafsirkan sendiri tanpa perlu ada delik aduan. Tanpa perlu pihak terkait merasa tersinggung.
Gimana itu maksudnya?
Gini. Jadi misalnya, suatu saat nanti ada seseorang yang mengkritik pejabat. Sebut saja, pejabat A, kebetulan pejabat A nggak masalah dikritik begitu. Hanya saja, karena polisi siber sekarang sudah canggih, kritik itu bisa dan sah saja dianggap hoaks dan penghinaan oleh aparat. Artinya, orang mengkritik pun kini bisa aja kena ancaman UU ITE tanpa perlu ada laporan.
Nah lho? Ngeri banget kan?
Melihat kenyataan pahit itu, saya justru jadi kehilangan sama sosok Jokowi yang saya kenal. Lah iya, beliau beberapa tahun ke belakang ini kayak kurang blusukan. Makin jauh dari kenyataan yang dihadapi rakyatnya di lapangan.
Jokowi kayak nggak tahu ngeh betul sama kasus UU ITE versus everybody. Kok ya sampai pede betul minta rakyatnya mengkritik.
Apalagi apa-apa yang dibicarakan Jokowi kini semakin normatif dan sesuai protokoler. Nggak sama dengan Jokowi zaman dulu yang luwes dan terabas sana-sini.
Denger aja pernyataan-pernyataan blio yang makin jauh panggan daripada api. Dari sesumbar kangen didemo lagi, pandemi dibilang sukses ditangani pemerintah, sampai rakyat disuruh mengkritik pemerintah padahal ada UU ITE.
Woy, Pak Jokowi, sampean yang “dulu” itu ke mana sih?
Hambok plis, sekali aja, jangan percaya sama postingan-postingan buzzer istana yang baik-baikin situasi Indonesia, sekali-kali lihat dong kita-kita di akar rumput juga.
Apa iya rakyat harus nyanyi lagu “Stasiun Balapan”-nya almarhum Didi Kempot di depan muka Bapak, baru Bapak mau sadar?
Ning Stasiun Balapan.
Rasane koyo wong kelangan.
Kowe ninggal aku.
Ra kroso, netes eluh ning pipiku.
BACA JUGA Cara Terjitu Memprediksi Kondisi Negara: Dengarkan Apa yang Dikatakan Jokowi, Lalu Lihat Sebaliknya dan tulisan Muhammad Arsyad lainnya.