MOJOK.CO – “Dua salah paham tentang hoax: (1) Baru muncul di era medsos, (2) bisa diselesaikan dengan memberi informasi akurat.”
Hoax, atau berita bohong, sudah dianggap meracuni kehidupan masyarakat. Gejala ini marak sejak pemilihan presiden 2014 dan semakin gencar pada pemilihan gubernur Jakarta 2017. Tapi, semua itu belum apa-apa. Berbagai pihak khawatir, badai kabar bohong lebih besar akan melanda Indonesia dalam bulan-bulan mendatang, menjelang pemilihan presiden 2019.
Yang pertama bersiap-siap adalah Kemenkominfo. Oktober tahun lalu, kementerian ini telah membeli mesin berharga Rp211 miliar yang selain untuk mengadang pornografi di Internet, juga akan menyensor hoax membangun.
Hoax menjadi alat ampuh untuk mengejar kepentingan politik. Penggunaannya sebagai alat berpolitik jauh lebih berbahaya ketimbangan penggunaan narkoba. Politikus yang menggemari hoax tidak peduli dengan bahaya tindakannya, seperti perusahaan besar yang membuang limbah beracun ke sungai di tengah kota.
Bagaimana mengatasi badai hoax? Sebagian besar pihak hanya memberikan reaksi dangkal, sesaat, dan kasus demi kasus secara sepotong-sepotong. Belum menukik ke pokok akar permasalahannya. Sulit berharap sebuah masalah akan diatasi dengan jitu jika hanya gejala sesaat yang ditangani, sedangkan akar masalahnya diabaikan.
Sebagian besar kabar bohong yang muncul belakangan ini boleh dianggap sebagai hoax-turunan atau hoax-ikutan (dengan huruf kecil). Yang jauh lebih berbahaya dari semua itu adalah Hoax-Induknya (huruf besar) yang memungkinkan suburnya pertumbuhan berbagai hoax-ikutan.
Dalam seluruh sejarah Repubik Indonesia, sulit menemukan kabar bohong, bualan, atau hoax yang lebih dahsyat dan merusak ketimbang cerita tentang “G-30-S/PKI”. Dahsyat tingkat kebohongannya, dahsyat skala atau lingkup korbannya hingga beberapa keturunan. Inilah hoax yang diproduksi dan disebarkan besar-besaran selama lebih dari tiga generasi oleh negara sejak 1966. Berbagai lembaga dan organisasi swasta ikut membantu.
Ada dua kesalahan pemahaman yang lazim diyakini masyarakat tentang hoax.
Pertama, tidak benar bila hoax dianggap menjadi masalah dalam waktu belakangan saja, bersamaan dengan populernya istilah “hoax” itu sendiri. Juga tidak benar anggapan bahwa berita bohong menyebar karena meluasnya pengunaan media sosial. Sensor terhadap media sosial ibarat menggosokkan balsam untuk mengobati sakit kanker.
Kedua, salah bila wabah hoax dianggap bisa diatasi semata-mata dengan menyebarkan sanggahan dan informasi akurat sebagai wacana tandingan, terlepas dari Hoax-Induknya.
Demi jelasnya, berikut ini dua contohnya. Pertama yang dialami Jokowi. Kedua, yang dialami aktivis Heri Budiawan (atau Budi Pego) Pengadilan Negeri Banyuwangi awal tahun ini.
Pengalaman Jokowi
Sejak tampil sebagai calon presiden dalam pemilhan presiden 2014, Jokowi menjadi sasaran tembak hoax lawan politiknya. Misalnya, tuduhan bahwa ia memiliki latar belakang keluarga dengan PKI, atau bersimpati pada PKI.
Secara faktual, itu tuduhan sampah. Tidak sulit untuk mematahkannya berkeping-keping. Tetapi, sebagai serangan politik berbobot takhayul kelas berat, tuduhan itu tidak bisa diabaikan. Tidak bisa dilumpuhkan dengan fakta-fakta seakurat apa pun. Ia harus dihadapi sebagai takhayul politik.
Tidak hanya sekali Jokowi menyanggah tuduhan terhadapnya. Tapi, sanggahan apa pun tidak akan membendung takhayul yang sudah meresap dalam masyarakat lebih dari tiga generasi ini. Pada langkah berikutnya, Jokowi mencoba strategi lain. Bukannya menyanggah tuduhan, dalam dua kesempatan berbeda ia menyatakan akan “menggebuk” jika PKI bangkit kembali.
Mungkin ia ingin tampil seakan-akan tegas dan perkasa. Namun, di hadapan siapa pun yang paham duduk persoalan, dengan membuat pernyataan itu Jokowi tampak takluk pada takhayul yang justru ingin dilawannya. Bersama lawan politiknya, Jokowi ikut mereproduksi takhayul tentang “bahaya PKI” yang merupakan turunan dari Hoax-Induk berjudul “G-30-S/PKI”.
Tidak ada wacana, tuduhan, umpatan, atau pujian yang secara alamiah atau tiba-tiba, punya bobot mengangkat atau membanting martabat seseorang. Bobot itu harus disusun dan dipasarkan dengan modal besar dan kerja keras sebelum diterima atau ditolak masyarakat. Ini berlaku untuk semua kisah: dari kisah mukjizat kencing Onta sampai kisah bahaya PKI.
Pada awalnya Hoax-Induk “G-30-S/PKI” bisa menyebar leluasa berkat kawalan ketat aparat berbekal senapan dan pasukan preman yang dididik tentara. Hoax itu merebak dalam masyarakat dan bergaya sebagai “berita” ketimbang sebagai hoax.
Secara formal dan faktual, Hoax-Induk “G-30-S/PKI” tersebut rapuh. Mudah dikuliti, ditelanjangi, dan ditertawakan. Tapi, selama tiga dekade, hal itu sulit dilaksanakan di depan umum. Tindakan demikian terlarang secara hukum dan subversif secara politik. Menggugat atau menertawakan Hoax-Induk “G-30-S/PKI” bisa diancam hukuman berat lewat pengadilan, atau mendapat balasan yang lebih mengerikan di luar pengadilan.
Setelah beranak pinak lebih dari satu generasi, Hoax-Induk “G-30-S/PKI” telanjur mapan dan berkeliaran santai dalam fantasi dan bahasa gaul sehari-hari. Tidak lagi dibutuhkan senapan atau preman untuk menjaganya 24 jam sehari dari ancaman wacana tandingan.
Lama-kelamaan Hoax-Induk itu hadir seakan-akan sebuah fakta. Seakan-akan PKI itu ancaman terhadap bangsa-negara. Seakan-akan Komunisme identik dengan ateisme dan merupakan musuh agama. Seakan-akan tahun 1965 PKI pernah memberontak kepada negara. Seakan-akan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang dekat dengan PKI pernah menari-nari telanjang di Lubang Buaya dan menyayat bagian tubuh para jendral yang diculik pada 1965.
Di atas lahan Hoax-Induk yang sudah mapan itu dikembangbiakkan berbagai ilalang hoax-ikutan yang bukan-bukan. Tuduhan “PKI” hanya punya bobot dan belum kedaluwarsa sebagai alat berpolitik selama Hoax-Induk “G-30-S/PKI” masih dianggap benar secara faktual dan anggapan itu tidak dipertanyakan publik. Melempar tuduhan PKI tidak perlu repot disertai penjelasan atau fakta di mana jahatnya PKI.
Di situ hoax punya status yang sederajat dengan takhayul. Ditakuti, tanpa dipahami, dan tidak bisa dilawan dengan fakta. Selama Hoax-Induk “G-30-S/PKI” berstatus sebagai takhayul, tuduhan PKI dengan mudah bisa dilemparkan siapa saja, terhadap siapa saja.
Maka, tuduhan “PKI!” mirip dengan tuduhan “Cina!” di masa Orde Baru dan pasca-Orde Baru. Tidak perlu ada penjelasan di mana salahnya atau nistanya ke-Cina-an, karena sudah dianggap jelas. Sama juga dengan umpatan “Jawa!” di sebagian wilayah di luar Jawa kepada mereka yang kurang dihargai atau dihormati. Tidak berbeda dari tuduhan “Islam!” di sebagian warga di Amerika, Eropa atau Australia setelah serangan 9/11 di AS.
Bandingkan juga dengan tuduhan “Perempuan!” di kalangan pria terhadap sesamanya yang dianggap kurang maskulin. Sejak masa kebangkitan hingga kejatuhan rezim Orde Baru, aktivis mahasiswa macho mengejek penguasa yang dianggap takut dengan kiriman gincu atau kutang.
Pengalaman Budi Pego di Banyuwangi
Minggu pertama Januari lalu, aktivis Heri Budiawan alias Budi Pego dituntut 7 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Banyuwangi. Ia dituduh menyebarkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Ini kasus paling belakangan dari ribuan, atau puluhan ribu, kasus serupa di negeri ini. Sangat mungkin ini bukan yang terakhir selama masalahnya tidak ditelanjangi sampai ke akarnya, yakni si Hoax-Induk.
Dakwaan terhadap Heri Budiawan didasarkan pada dugaan adanya spanduk bergambar palu arit saat unjuk rasa menolak pertambangan emas di Gunung Tumpangpitu, Banyuwangi, April 2017. Tapi, dalam persidangan, pihak jaksa tidak berhasil menghadirkan barang bukti berupa spanduk yang konon bergambar palu arit dan konon dibuat di rumah tedakwa. Beberapa pihak sudah mengecam kesalahan teknis pada dakwaan itu. Tetapi, salah besar jika dakwaan itu hanya dikecam karena alasan legal-teknis sesepele itu.
Yang lebih layak dipertanyakan, kalaupun spanduk seperti itu memang ada, lalu apa salahnya? Menyimpulkan pembuatan atau peragaan spanduk bergambar palu-arit di depan umum sebagai penyebaran ajaran Komunisme sama konyolnya dengan menyimpulkan korupsi akan berkurang jika ada lebih banyak spanduk anti-korupsi di depan umum.
Tapi, kita juga masih tidak bisa berhenti di situ. Apa salahnya sebuah ajaran, termasuk Komunisme atau Marxisme-Leninisme, jika dikaji secara kritis dan terbuka? Apakah dengan sendirinya orang yang belajar akan menjadi komunis atau marxis? Kalau begitu, semestinya ilmu kedokteran tidak boleh mempelajari berbagai penyakit, supaya tidak sakit! Kalaupun orang yang belajar Komunisme ingin menjadi komunis, apa salahnya?
Yang layak dipertanyakan bukan apakah Jokowi, Heri Budiawan, atau siapa saja bersimpati komunisme. Yang layak dipertanyakan: apa salahnya Komunisme atau Marxisme? Yang layak dipertanyakan: apa yang sesungguhnya terjadi pada tahun 1965? Takhayul macam apa yang selama ini diproduksi negara dan dijadikan menu rutin oleh tiga generasi bangsa Indonesia? Apa tujuannya dan apa biaya sosial yang harus dibayar bangsa ini?
Kini, sudah saatnya kita bertanya: apa bedanya minum kencing onta dan mendengar kisah tentang bahaya kebangkitan PKI di abad ke-21?