MOJOK.CO – Jangan buat orang yang bukan Islam, orang Islam sendiri saja kadang nggak bisa jawab apa beda ustaz, ulama, dan kiai.
Sore itu saya hampir memanjat pohon belimbing ketika seorang lelaki datang menghampiri dengan sepeda. Setelah mengucapkan salam, Pak Agus—laki-laki tadi—bertanya,
“Kok kemarin nggak masuk ngaji? Nanti masuk, ya.”
Terlepas dari fakta bahwa saat itu saya baru saja bolos mengaji di masjid, saya ingin memperkenalkan Pak Agus dalam cerita ini. Beliau adalah guru ngaji saya semasa SD yang selalu tersenyum, mau bagaimana pun bandelnya saya di masjid.
Bertahun-tahun kemudian, adik saya lahir. Di usia SD, dia ikut mengaji di masjid yang dulu selalu saya datangi. Guru kami sama: Pak Agus. Yang menarik perhatian, adik saya menyapa Pak Agus dengan sebutan Ustaz Agus.
Bukan hanya Pak Agus, tapi semua guru ngaji di sana ternyata disapa sebagai Ustaz/Ustazah.
Kekagetan saya dulu cuma sebatas “Kok dulu aku cuma diajari manggil “Pak, bukan ustaz, ya.” Kalau dibandingkan hari ini, jelas bukan apa-apa. Lah wong zaman sekarang orang muncul di media sosial dengan membagikan tulisan-tulisan agamis saja sudah disapa sebagai ustaz. Ada juga yang menyanyi lagu rohani dan langsung diberi titel ustaz.
Pada batasan ini, saya benar-benar jadi ingin tahu, ustaz itu apa dan siapa? Lantas, apa bedanya dengan ulama dan kiai yang juga berbau-bau agama? Apakah Pak Agus saya itu bisa saya anggap ulama juga? Hmm~
Karena saya orangnya AAK-AAK (“apa-apa KBBI, apa-apa KBBI”), saya langsung merujuk pada kamus untuk membantu mencari definisi. Ditambah dengan skill kepo ke beberapa sumber, data-data ini saya himpun dan salurkan ke Mojok Institute, sebuah lembaga riset yang menjadi tim pemenangan Pilkades Konoha.
Ustaz
Ya, ustaz, tanpa huruf d sebelum huruf z. Menurut KBBI, ustaz atau ustazah adalah guru agama atau guru besar. Artinya, ustaz adalah orang yang mengajarkan agama, baik yang berlevel sekolah dasar, pengajian di masjid, hingga ranah yang lebih luas. Pemahaman ini tentu saja berlaku hanya di Indonesia.
Emang kenapa gitu kalau nggak di Indonesia?
Ternyata, di Timur Tengah, gelar ustaz hanya akan diberikan pada lulusan tingkat kepengajaran universitas. Seseorang hanya akan menjadi ustaz jika sudah menguasai dua belas cabang ilmu, termasuk akhlak, mantiq, fikih, tafsir, dan hadis.
Di Arab pun senada. Ustaz merupakan gelar yang layak disematkan pada para doktor (S-3) di bidang ilmu agama.
Jadi, apakah wajar kalau kita menyebut guru agama dengan sebutan ustaz? Ya nga papa, kan di Indonesia. Sah-sah aja sih, my lov.
Ulama
Di Indonesia, ada yang namanya MUI alias Majelis Ulama Indonesia. Saya dulu sedikit heran, kenapa namanya bukan Majelis Ustaz Indonesia? Kan banyak tuh yang udah disebut ustaz, tinggal diajak gabung aja, pasti seru, deh.
Tapi ternyata, ulama memang berbeda dengan istilah ustaz.
Balik lagi ke KBBI (lagian gampang diakses online juga, nga usah protes, deh), kata ulama bermakna ‘orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam’. Dengan kata lain, ulama pastilah punya pengetahuan agama yang jauh lebih luas dibandingkan ustaz yang dinilai sebatas guru agama saja.
Menjadi ulama yang sesungguhnya ternyata cukup berat dan nga main-main, gaes. Seorang ulama haruslah menguasai ilmu-ilmu tertentu dan dalil hukum dalam Islam, termasuk penguasaan bahasa Arab beserta ilmu-ilmunya.
Terus, terus, apa yang dimaksud dengan alim ulama?
Masih merujuk pada KBBI, alim ulama adalah orang-orang pandai dalam pengetahuan agama Islam. Secara bahasa, kata alim berasal dari ‘aalim yang berarti ‘orang yang memiliki pengetahuan’. Bentuk jamak dari kata ini sendiri adalah ‘ulamaa, yang menjadi asal kata ulama. Dengan pengertian secara bahasa ini, para pakar di ilmu-ilmu lain pun bisa menjadi ulama di bidangnya masing-masing, yha.
Seperti kamu; bagaikan menjadi ulama di bidang “memahamiku”…. #langsungditendang
Kiai
Kiai, dengan huruf i, bukan y. Dalam KBBI, kiai memiliki 6 definisi, sebagai berikut:
- kata sapaan kepada alim ulama,
- alim ulama,
- kata sapaan kepada guru ilmu gaib (dukun dan sebagainya),
- kepala distrik (di Kalimantan Selatan),
- kata sapaan yang mengawali nama benda yang dianggap bertuah (senjata, gamelan, dan sebagainya), atau
- kata samaran untuk harimau (jika orang melewati hutan).
Perlu kita sama-sama tahu, panggilan kiai ini umumnya bersifat sangat lokal, kebanyakan digunakan hanya di Jawa saja. Kata kiai ini bisa kita pecah jadi dua bagian, yaitu ki dan yai. Ki, atau juga menjadi Nyi jika ditujukan pada perempuan, bermakna orang yang dihormati. Sementara itu, yai menunjukkan penghormatan pada apa pun, termasuk benda.
Ya, selain ditujukan kepada manusia, kiai juga bisa merujuk pada benda-benda bertuah. Sayangnya, kayak yang tadi udah saya tulis, julukan ini cuma ada di Jawa (bantu koreksi ya kalau salah).
Padahal, seandainya sebutan ini lebih luas dari sifat lokalnya, mungkin kita akan mengenal seri pertama Harry Potter sebagai “Harry Potter dan Batu Kiai”.
Gimana? Kece nga?
BACA JUGA Kritik untuk Ustaz Adi Hidayat dan Jemaahnya dan tulisan lainnya dari Aprilia Kumala.