MOJOK.CO – Tolonglah, pahami perilaku belanja perempuan yang memang ditakdirkan galau-galau lucu soal belanja baju, baik di online shop maupun toko fisik!!!
Tersebutlah sebuah baju cantik dari foto baris keempat di akun online shop ternama. Kejadian ini memang tidak berlatar belakang di toko pakaian karena sekarang jauh lebih banyak mbak-mbak yang tiduran, duduk, bahkan jalan-jalan sembari scrolling di Instagram. Ujung-ujungnya, jempol mereka berakhir pada sebuah online shop yang memamerkan produk-produk menarik ibarat menjerit minta dibeli. Hmm, tipikal perilaku belanja perempuan sekali~
Saya tahu rasanya: melihat sebuah baju yang sepertinya akan bagus di lekuk badan saya, atau mungkin cocok dikenakan dengan legging di lemari yang sudah lama tidak dipakai. Lumayan, untuk dipadupadankan, batin saya.
Langkah pertama yang harus saya lakukan (mengingat kalimat pertama dalam artikel ini) adalah menghubungi si admin akun di online shop tadi. Ya, ya, ya, kita-kita ini harus tahu apakah barang incaran tadi ada stock-nya atau nggak.
“Ready stock, Kak. Mau?” Balasan dari pihak toko online sudah tiba. Duh! Pakai ditanya segala, pula. Niat hati cuma mau pura-pura nanya dan ‘menyayangi dari jauh’, tiba-tiba malah jadi tambah ingin memiliki.
Mata saya biasanya melihat lagi posting-an foto baju tadi. Kanan, kiri, slide (kalau ada banyak foto), semua saya lihat di setiap sisi dengan cermat. Bagus banget, ya Allah!!!, lolong saya minta tolong (sama siapa?). Saya scroll ke bawah, tapi masih belum menemukan yang saya cari: harga!
Ya, para pecandu belanja di online shop kayak saya ini pasti tahu betapa banyaknya penjual yang dengan sengaja tidak mencantumkan harga. Sekalinya nanya, wah harganya ratusan ribu. Padahal, jiwa saya mungkin masih ketinggalan di tahun-tahun yang sudah lewat, di mana saya merasa sebuah baju bagus semestinya paling mahal dikenai harga 50 ribu rupiah.
Lalu akhirnya, hati saya tak kuasa menahan perih. Aplikasi Instagram saya close dan saya makan nasi telur di burjoan dulu supaya hati tenang dan lupa pada perasaan menggebu-gebu yang kurang tepat datangnya ini.
Keesokan harinya, bertemulah saya dengan seorang teman laki-laki. Kami bercerita, sampai ia berkata, “Training yang pengin aku beli habis. Aku nggak jadi beli.”
“Kamu nggak sedih?” Saya keheranan waktu dia bercerita dengan santai, padahal training yang dimaksud merupakan celana incarannya sejak 2 bulan lalu. Dia mengernyitkan dahi, lalu mengangkat bahu, “Nggak lah, ngapain? Wong udah dibeli orang lain, ya udah.”
Dasar laki-laki!, pikir saya sambil lalu, kemudian mengambil HP. Baju yang kemarin saya incar masih bertengger di akun yang saya stalk seharian penuh. Menatap teman saya yang sekarang asyik nonton video prank di YouTube, saya pun membulatkan tekad untuk menghindar dari kekecewaan fashion terparah yang mungkin saja akan mengancam saya.
Ya, saya harus bertindak menyelesaikan aksi beli baju di online shop kemarin karena saya sudah kepikiran baju itu selama semalaman penuh!!!
“Kak, saya jadi ambil blouse yang kemarin itu, ya. Yang navy,” ketik saya di kolom chat LINE, lalu menekan Send sebelum berubah pikiran. Nggak sampai 15 detik, HP saya berkedip-kedip dan sebuah pesan pop-up muncul tiba-tiba.
“Maaf, Kak, blouse-nya udah sold. Yang lain aja, mau?”
Sontak, bagi saya, bumi mendadak gelap dan menyebalkan. Kenapa harus dijual ke orang lain, sih??? Kenapa dibeli??? Kapan saya punya kesempatan beli yang 100% terlihat seperti itu??? Saya sudah telanjur menyukai model dan bentuknya!!!
“Dasar, perilaku belanja perempuan itu aneh-aneh banget,” bisik si teman saya tadi, yang ternyata mengintip isi chat saya dan bertanya-tanya kenapa saya mendadak sulky dan menolak menghabiskan jus mangga yang sudah dibeli.
Komentar teman saya mendadak melempar ingatan saya ke beberapa bulan lalu, ketika seorang teman perempuan—sebut saja namanya Melati—berbelanja baju dengan tunangannya (iya, mereka udah tunangan, emangnya kamu—jadian aja belum?!). Melati konon menganut keyakinan bahwa aktivitas beli baju di online shop bukanlah pilihan yang tepat. Maka, dengan penuh keyakinan, ia mengajak Daun, tunangannya tadi, berkeliling ke toko baju di sepanjang Jalan Gejayan.
Satu toko mereka masuki hingga Melati menemukan pakaian yang menarik hatinya. Penjualnya memberi harga 200 ribu, tapi ditolak mentah-mentah oleh Melati. Ia mencoba menawar, tapi gagal meluluhkan hati sang penjual. Dengan sedikit mangkel, Melati pergi ke toko berikutnya. Daun, dengan setia, mengikutinya.
Didatanginya toko kedua, toko ketiga, hingga toko ketujuh belas. Ada banyak pakaian yang menarik hati Melati, bahkan ada yang harganya lebih murah daripada pakaian di toko pertama. Namun anehnya, Melati selalu meletakkan kembali pakaian-pakaian tadi ke rak toko.
“Kayaknya,” kata Melati akhirnya, “kita balik ke toko pertama lagi aja, deh. Baju yang 200 ribu itu aku beli aja.” Daun, yang kakinya udah sengklek karena kelelahan, cuma bisa menghembuskan napas keras-keras, berusaha menenangkan dirinya menghadapi perilaku belanja perempuan yang mumeti maksimal.
Tapi—hey—tolonglah: tolong pahami perilaku belanja perempuan yang memang ditakdirkan galau-galau lucu soal belanja baju, baik di online shop maupun toko fisik. Apalagi, bagi kami, berbelanja baju tidaklah mudah dilakukan karena kami harus menentukan pakaian mana yang bakal terlihat bagus sekaligus sesuai dengan kemampuan dompet.
Plus, sekali saja baju itu membuat kami jatuh cinta, ya selama tiga hari ke depan otak kami bisa saja dipenuhi oleh ingatan soal pakaian itu. Masalahnya, kami juga penasaran pengin tahu ada baju apa di toko berikutnya—siapa tahu di sana ada dress yang lebih cute, atau boyfriend jeans yang warnanya lebih biru, atau cardigan yang menyamarkan lipatan-lipatan lemak di pinggang—jadi yaaa…
…yang sabar aja, ya, Bang. Hehe.