MOJOK.CO – Demi memenuhi tuntutan sosial, target menikah pun dibangun begitu saja; tanpa jatuh cinta, tanpa tekad yang bulat. Esensinya hilang, tapi kok orang-orang nggak keberatan, ya?
“Kalau aku nggak menikah dan adopsi anak aja, boleh?”
Itu pertanyaan saya kepada Ibu beberapa hari setelah seseorang dengan gampangnya menghancurkan hati saya. Membayangkan hubungan yang baik-baik saja antara laki-laki dan perempuan mendadak jadi sangat sulit.
Saya nggak menyangka pertanyaan tadi men-trigger kekesalan Ibu sedemikian rupa. “Tugas orang tua itu,” tambahnya, “termasuk menikahkan anaknya. Ibu, kan, juga mau ngerjain tugas itu.”
Saya diam.
Target menikah bukan lagi soal visi jatuh cinta
Dikutip dari Theconversation.com, tercatat pada tahun 1800, jumlah penduduk Bumi telah mencapai angka 1 miliar jiwa. Tak tanggung-tanggung, pada tahun 2017, jumlah ini berkembang hingga tujuh kali lipat di angka 7,5 miliar jiwa—bahkan lebih. Bahkan, di tahun 2050 mendatang, planet kita diramalkan bakal menampung lebih dari 10 miliar penduduk.
Semua informasi ini membuat kita—atau setidaknya saya—bertanya-tanya: bakal sepenuh dan sesesak apa planet ini dengan 10 miliar manusia? Apakah nanti di jalan raya kemacetan bakal jadi lebih panjang? Apakah kalau Shihlin lagi promo harga seribu lagi, antrenya bakal lebih panjang—kali ini sampai keluar mal?
Maksud saya, dari bermiliar-miliar penduduk ini, seharusnya kan kita bisa mengambil dua pelajaran besar. Pertama, kalau penduduk di Bumi sudah padat, kenapa kita harus repot-repot menambahnya kembali dengan cara punya target menikah dan bereproduksi? Kedua, jangankan berkembang biak—mencari partner beranaknya aja udah bingung duluan!
Kalau dipikir-pikir, pendapat ibu saya soal “menikahkan anak adalah tugas orang tua” ada benarnya juga. Pasalnya, nggak sedikit orang yang akhirnya punya target menikah karena diminta ayahnya, atau dijodohkan dengan anak dari kawan ibunya. Rasa-rasanya, kalau sudah begini, pernikahan nggak ada bedanya dengan deadline pekerjaan.
Lupakan saja kisah cinta dalam FTV yang ceritanya berkutat pada sepasang sejoli yang saling bertatapan setelah nggak sengaja nabrak sampai jatuh, diiringi lagu-lagu cinta murahan yang cuma bakal dikenal khalayak selama jangka waktu tiga bulan.
FTV bisa saja menulis cerita soal orang yang jatuh cinta, lalu pacaran dan menikah, padahal di dunia nyata, itu semua bisa jadi omong kosong. Dengan kejamnya, seseorang yang kamu cinta bakal sangat mungkin merusak target menikah kalian dan lebih memilih orang lain yang ternyata adalah sahabat masa kecilnya atau orang pilihan neneknya.
Dengan kata lain, tidak ada visi dan misi jatuh cinta dan drama romantis dari pernikahan.
Pernikahan bukan akhir perjalanan
Di kisah-kisah dongeng putri kerajaan, cerita selalu diakhiri dengan kalimat “They lived happily ever after”. Dulu sekali, saya mengira permasalahan hidup bisa selesai dengan menikah karena kita toh akan live happily ever after.
Tapi, boro-boro menikah—ha wong belum menikah aja masalah udah numpuk: Uang kosan bulanan, uang makan, deadline kerjaan, manajeman waktu, dan lain sebagainya. Masalah-masalah ini jelas bakal melebar kalau kita akhirnya menenggelamkan diri pada target menikah yang nggak jelas juntrungannya.
Kritikus budaya dan filsuf asal Slovenia, Slavoj Zizek, pernah menyebutkan bahwa 99% orang di dunia ini adalah boring idiot. Sekarang, coba bayangkan kalau kita hidup dengan lempeng dan punya target menikah hanya karena kita dianggap sudah patut menikah, padahal orang yang “dipaksa” menikah dengan kita pun adalah satu dari 99% boring idiot?
Sungguh, buat apa sih ada target menikah di dunia ini?
Maksud saya, alih-alih sibuk membangun target menikah demi memenuhi keinginan orang lain yang merasa memiliki hidupmu—padahal nggak—kenapa kamu nggak memutuskan naik pelaminan kalau kamu benar-benar merasa waktunya sudah tiba dengan orang pilihanmu sendiri saja?