MOJOK.CO – Izin tidak masuk kerja karena sakit yang menggunakan keterangan dokter tanpa melampaui 12 bulan secara terus menerus tak boleh membuat karyawan dipecat. Tuh!
Kemarin malam, saya mendadak pingsan setelah berhari-hari cuek setengah mati pada kesehatan tubuh dan pola makan. Pagi harinya saat bangun, badan saya limbung sekaligus berkeringat dingin. Tak punya pilihan, saya langsung menghubungi orang kantor untuk mengajukan izin tidak masuk kerja karena sakit.
Beruntung, saya boleh bekerja dari rumah hari itu.
Sewaktu saya sedang menarik napas lega dan menarik selimut agar badan saya berhenti menggigil, hape saya terlihat menarik. Saya membukanya dan membaca-baca apa yang saya temui di Twitter, lalu berhenti pada sebuah cuitan yang cukup “menampar”.
Smoga ga ada perusahaan yg memperlakukan karyawan seperti ini. Smoga makin banyak perusahaan yg memanusiakan karyawannya. Insha Allah rezeki bisa dicari dimana aja, gaperlu loyal sama perusahaan. Kita sakit/meninggal juga yg ngurus orang terdekat.Perusahaan tinggal cari pengganti pic.twitter.com/fKIh2aJhlq
— Sekyoo (@Fajartriantoro) February 21, 2019
Saya nggak bisa membayangkan apa jadinya pagi itu kalau saya yang bekerja di perusahaan tersebut.
Dari banyak reply yang hadir di cuitan tadi, ada pula sebuah twit yang menarik perhatian saya (lagi).
Kita sama, Mas. Mas nggak sendirian. Saya juga mengalaminya bulan lalu 🙂
Semoga Mas lekas sembuh dan kelak mendapat pekerjaan baru yang lebih baik lagi. Aamiin. pic.twitter.com/pRLM0eK4qA— F n c (@cocacocat) February 21, 2019
Iya, biar saya menyederhanakan twit kedua dulu untukmu: seorang mbak-mbak disuruh berhenti bekerja oleh pihak kantor karena ia minta izin tidak bekerja saat sedang nyeri haid. Padahal, saya amati, belakangan ini kesadaran soal cuti saat haid mulai meningkat.
Di Indonesia, cuti haid ditemukan dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Disebutkan, perusahaan harus memberikan izin cuti pada pekerja/buruh perempuan yang sedang haid hari pertama dan hari kedua. Atau, dengan kata lain, pekerja perempuan ini tidak berkewajiban untuk bekerja.
Bagi sebagian orang, cuti haid mungkin terdengar absurd. Memang, separah apa, sih, haid itu, sampai-sampai harus dikasih cuti segala???
FYI aja, nih, Bapak, Ibu sekalian, menurut penelitian yang dilakukan oleh American Congress of Obstetricians and Gynecologists, lebih dari separuh jumlah perempuan di dunia mengalami nyeri haid setiap bulannya, khususnya di hari pertama dan kedua. Nyeri ini disebut dismenore, dan pada 20% perempuan, hal ini terjadi cukup parah hingga mengganggu aktivitas sehari-hari.
[!!!!!1!!!11!!!!]
Saya, sih, nggak mau bahas detailnya dismenore karena ini bukan rubrik Penjaskes. Yang ingin saya tekankan di sini adalah pertanyaan mendasar yang bikin dahi saya berkerut sejak awal: memangnya kita nggak boleh, ya, izin tidak masuk kerja karena sakit??? Ini kantor saya doang yang kelewat baik atau memang seharusnya saya juga dipecat kayak mas-mas dan mbak-mbak di atas, sih???
Iya, Pembaca yang Budiman—membaca tangkapan layar di atas membuat saya bertanya-tanya apakah seharusnya saya sudah berhenti jadi redaktur per hari ini gara-gara kemarin saya cuma minta izin lewat WhatsApp dan dibolehin untuk tidak datang ke kantor serta memilih bekerja di atas kasur kosan. Lah mau gimana lagi, untuk pergi ke kamar mandi saja badan nggak kuat, apalagi meluncur ke puskesmas yang jaraknya setengah jam dari kosan???
Melalui keprihatinan kisah tragis di atas, saya menemukan data-data yang lain. Nyatanya, masing-masing perusahaan dapat melakukan pengaturan yang bersifat operasional, tapi tidak boleh menetapkan sendiri ketentuan terkait cuti dan izin tidak masuk kerja karena sakit apabila bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.
Lantas, sejauh mana izin tidak masuk kerja karena sakit dapat diterima?
Saya pernah membaca, hal ini sebenarnya tergantung pada kesepakatan perusahaan. Di tempat kerja saya saat ini, misalnya, kami menyadari sakit bukanlah hal yang diinginkan atau direncanakan. Jadi, ketika hari pertama badan tiba-tiba jatuh lemas dan gemetar, kami bisa mendapatkan izin untuk menyelesaikan pekerjaan dari rumah asal komunikasi tanggungan kerja tetap dilakukan.
Lebih ketat lagi, keadaan “sakit” yang semestinya membuat karyawan dapat menggunakan izin adalah sesuai dengan penjelasan pasal 93 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu sakit menurut keterangan dokter. Selanjutnya, tergantung perusahaan: apakah surat ini harus disertakan sejak hari pertama izin atau diberi tenggang waktu hingga tiga atau sekian hari.
Terus, apa kabar dengan bosnya mas-mas yang dipecat tadi???
Entahlah, tapi rasa-rasanya, beliau lupa pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, Pasal 153 Ayat 1. Menurut ayat ini, sakit yang menggunakan keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus menerus tak boleh membuat karyawan dipecat dari pekerjaannya. Dengan kata lain, silakan-silakan aja kita (hah. kita???) sakit, tapi jangan lebih lama dari satu tahun, atau perusahaan bakal memecat kita. Gitu, loh, Gaes-gaesku.
Selesai mengumpulkan informasi-informasi ini kemarin, saya yang sempat terduduk shock di tengah gubetan selimut, sedikit merasa lega. Sungguh, kantor saya baik sekali. Saya harap, kantor-kantor lain bisa memperlakukan karyawannya dengan lebih manusiawi.
Bukan apa-apa, sih, tapi kekhawatiran saya soal “memaksakan diri masuk kantor selagi sakit” ada alasannya. Saya takut merepotkan orang lain karena saya memang aneh kalau lagi sakit, baik secara sadar maupun tidak sadar.
Saat kedinginan sampai menggigil, saya biasanya akan meracau tak jelas. Saat sakit perut, saya bakal jongkok-jongkok sendiri di ujung ruangan. Paling parah, kalau kepala saya berat luar biasa, saya bisa pingsan tiba-tiba.
Saya jadi ingat, dulu sekali, waktu SMA, saya pernah pingsan di tengah pelajaran Sosiologi. Sayup-sayup, saya bisa mendengar suara heboh teman-teman cowok yang langsung tanggap mengambil tandu dan membopong saya ke UKS, sebelum saya benar-benar tak ingat apa yang terjadi.
Lantas, apakah saya cuma takut merepotkan orang lain kalau sampai pingsan di kantor kelak? O, tunggu dulu, cerita saya belum selesai.
Sehari setelah saya pingsan di sekolah, saya langsung merasa sehat. Maka, keesokan paginya, saya berangkat sekolah dengan ceria, dengan tekad mengucapkan terima kasih pada cowok-cowok di kelas.
Tapi sayang, baru saja sampai pintu kelas, salah seorang dari mereka—sebut saja namanya Lampu Taman—langsung terkejut melihat saya dan berseru, “Kamu kok udah masuk? Emang udah sehat?”
Saya sempat GR, mengira dia perhatian pada saya, sebelum akhirnya dia berkata, “Kalau belum sembuh mending jangan masuk dulu. Kalau pingsan lagi, haduuuuh, kamu tu berat, Li. Anak-anak aja pada ngomel, tuh, kemarin!”
Teman-teman cowok saya sontak menyahuti, “Iya, Li, jangan pingsan lagi, lah. Berat!”
Kurang ajar, batin saya sambil cengengesan. Hehe.